Welcome to My Blog.

Welcome to My Blog.
My Blog serves the information and consultation concerning to Law and Infrastructure Development in Indonesia.
Have a nice day.
Regards, Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
Lecturer & Researcher

Jumat, 31 Agustus 2012

Proses kegiatan KPS



            Proses kegiatan KPS ada beberapa tahap utama. Umumnya dibagi dalam dua fase yaitu fase pembangunan dan fase realisasi. Dalam fase pembangunan didahului dengan tahap inisiasi yang kemudian dilanjutkan dengan tahap: the service need, option appraisal, business case, project development, bidding process, project finalization-review, dan final negotiation. Setelah selesai tahap ini dilakukan kesepakatan pembiayaan dengan pihak pemberi pinjaman (financial close). Pada saat financial close, paket pembiayaan telah disetujui. Pemberi pinjaman komit dengan pembiayaan proyek berdasarkan selesainya kerangka kerja kontrak antara Pemerintah dan investor (badan usaha) atau penandatangan kontrak KPS, sebagai syarat untuk mendapatkan financial close.[1]
            Paska tahap financial close, fokus secara khusus diarahkan pada manajemen kontrak. Pada saat kontrak telah ditandatangani maka badan Pemerintah harus mengatur tanggungjawab monitoring pelaksanaan kontrak, yaitu: design stage, construction stage, operating stage, sampai terjadinya proses re-tender. Dalam hal ini investor swasta membentuk special purpose vehicle (SPV) sebagai badan hukum yang terpisah untuk melaksanakan proses kegiatan KPS ini.[2]
            Para pihak berusaha untuk menghindari perselisihan selama proses kegiatan KPS. Namun apabila tidak dapat dihindari, berbagai metode penyelesaian perselisihan tersedia, mulai dari negosiasi-negosiasi informal antara para pihak, intervensi formal pihak ketiga, sampai pada proses hukum (legal proceedings), yaitu:[3]
a.   Negotiation – “the most common form of dispute resolution where the parties themselves attempt to resolve the dispute”;
b.   Mediation – “a private and structured form  of negotiation assisted by a third party that is initially non-binding. If settlement is reached it can become a legally binding contract”;
c.   Conciliation – “as mediation, but a conciliator can propose a solution”;
d.   Neutral evaluation – “a private and non-binding technique whereby a third party, usually legally qualified, gives an opinion on the likely outcome at trial as a basis for settlement discussions”;
e.   Expert determination - “a private process involving an independent expert with inquisitorial powers who gives a binding decision”;
f.    Adjudication – “an expert is instructed to rule on technical issue, primarily used in construction disputes, where awards are binding on the parties at least on an interim basis or until a further process is invoked”;
g.   Arbitration – “a formal, private and binding process where the dispute is resolved by the decision of a nominated third party, the arbitrator or arbitartors”;
h.   Litigation – “the formal process whereby claims are taken through the civil courts and conducted in public. The judgements are binding on parties subject to rights of appeal”.
 
Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn

[1] Grimsey and Lewis, 196.
[2] Ibid.              
[3] Ibid., 198-199.

Senin, 27 Agustus 2012

Model-Model Kontrak KPS: Konsesi, PPA, PFI, Model Alternatif


E.R. Yescombe mengelompokkan secara umum model-model kontrak KPS dalam tiga kategori model kontrak, yaitu:[1]
(a). Model kontrak konsesi
Model kontrak konsesi,[2] awal perkembangannya adalah di Perancis. Meskipun istilah KPS adalah baru, konsep penggunaan modal swasta untuk menyediakan fasilitas-fasilitas publik adalah sudah sangat lama. Pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 grup-grup perusahaan Inggris membentuk ”turnpike trust”[3] yang meminjam uang dari para investor swasta untuk memperbaiki jalan-jalan, dan pinjaman tersebut dibayar kembali dari pungutan uang (tolls). Di Perancis, konstruksi kanal dengan modal sektor swasta dimulai pada abad ke-17. Model kontrak KPS ini dikenal sebagai model kontrak konsesi (concession): yaitu model ”user pays” dimana pihak sektor swasta penerima hak konsesi (”the concessionaire”) diizinkan untuk memungut biaya (fee) jasa layanan umum publik untuk penggunaan fasilitas, sebagai contoh, pembayaran tol untuk penggunaan jembatan, terowongan atau jalan. Tol digunakan untuk membayar kembali sektor swasta dalam pembangunan dan pengoperasian fasilitas, yang biasanya dikembalikan ke sektor publik pada akhir masa konsesi.
Dalam model kontrak KPS ini (model kontrak konsesi), berdasarkan klasifikasi yang dibuat E.R. Yescombe masuk dalam klasifikasi model kontrak KPS berdasarkan pengguna dimana tol dibayar oleh pengguna (usage-based). Dalam hal ini, biaya penggunaan untuk fasilitas seperti jalan-jalan, jembatan-jembatan, terowongan-terowongan, juga fasilitas-fasilitas transportasi lain seperti pelabuhan-pelabuhan, tram dan jaringan kereta ringan, serta risiko penggunaan dialihkan ke swasta.

(b).      Model kontrak penjualan energi (PPA)
Model kontrak penjualan energi atau power purchase agreement (PPA), awal perkembangannya adalah di Amerika Serikat. Pada tahun 1980-an di Amerika Serikat berkembang suatu model kontrak KPS modern yang dikenal sebagai model kontrak penjualan energi (PPA). Dalam hal ini perusahaan yang membangun dan mengoperasikan stasiun pembangkit tidak menanggung risiko atas listrik yang dibangkitkan sesuai yang dibutuhkan, risiko tetap melekat pada utilitas, yang membayar biaya kapasitas, apakah dia menggunakan listrik itu atau tidak. Perusahaan, bagaimanapun, bertanggungjawab untuk pelaksanaan pengoperasian stasiun pembangkit, dan apabila ada alasan-alasan tidak cukup untuk membangkitkan listrik sesuai yang disepakati, pembayaran biaya kapasitas akan dikurangi. Dengan demikian, perusahaan, tidak menanggung risiko penggunaan, akan tetapi hanya risiko penyelesaian pembangunan stasiun pembangkit sesuai waktu dan anggaran. Jadi, risko pengoperasian, tidak seperti konsesi, dimana hanya dibayar apabila masyarakat menggunakan fasilitas.
Dalam model kontrak KPS ini (model kontrak penjualan energi), berdasarkan klasifikasi yang dibuat E.R. Yescombe masuk dalam klasifikasi model kontrak KPS berdasarkan ketersediaan (availability-based). Pemerintah akan melakukan pembayaran langsung ke investor sebagai kompensasi atas peran investor dalam membangun infrastruktur dalam bentuk pembelian.

(c). Model kontrak inisiatif pembiayaan swasta (PFI)
Model kontrak inisiatif pembiayaan swasta (PFI), awal perkembangannya adalah di Inggris. Pada tahun 1992 Pemerintah Inggris mengumumkan PFI dengan tujuan membawa pembiayaan proyek dalam ketentuan-ketentuan peraturan infrastruktur publik. Hal ini merupakan dimulainya dari penemuan kembali (rediscovery) konsesi pada tahun 1980-an, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dan proyek-proyek gelombang pertama, pada tahun 1994, melibatkan konstruksi dan pengoperasian jalan-jalan baru. Namun, sejak lingkup jalan-jalan tol di Inggris terbatas, sebagai ganti dari prinsip “user pays” (dari konsesi sebagaimana tersebut pada butir 1 di atas), model kontrak PFI memperkenalkan konsep pembayaran oleh Pemerintah. Pembayaran awal (initially payments) dari Pemerintah masih berdasarkan penggunaan oleh pengendara (usage by drivers), disebut sebagai shadow toll (yaitu pembayaran-pembayaran dengan skedul yang pasti oleh Pemerintah).
Dalam model kontrak KPS ini (model kontrak inisiatif pembiayaan swasta),[4] berdasarkan klasifikasi yang dibuat E.R. Yescombe masuk dalam klasifikasi model kontrak KPS berdasarkan klasifikasi campuran antara klasifikasi berdasarkan pengguna (usage-based) dan berdasarkan ketersedian (availability-based) yang pembayarannya dilakukan oleh Pemerintah (shadow toll).

(d).      Model alternatif kontrak KPS
Dalam alternatif model-model kontrak KPS ini berdasarkan klasifikasi yang dibuat E.R. Yescombe bisa masuk dalam campuran klasifikasi model kontrak KPS berdasarkan pengguna (usage-based) dan berdasarkan ketersedian (availability-based) yang pembayarannya dilakukan oleh Pemerintah (shadow toll), seperti: (i) model kontrak pengadaan sektor publik (public-sector procurement); (ii) model kontrak pengambilalihan paska konstruksi (post-construction take-out);  (iii) model kontrak pendanaan sektor publik (public-sector debt funding); (iv) model kontrak usaha patungan (joint-venture),[5] dan (v) model kontrak non-profit (not-for-profit structures).        
Model kontrak KPS penjualan energi atau PPA pertama kali membentuk kontrak dengan skema pembiayaan BOO antara pihak-pihak swasta, dimana kepemilikan stasiun pembangkit tetap pada investor-investor-nya, namun kemudian menjadi jelas dimana struktur model yang sama dapat digunakan untuk pembangunan proyek-proyek sektor publik. Konsep kontrak dengan skema pembiayan BOT pertama kali dibuat di Turki, kontrak ini juga ditujukan untuk pembangkit energi (power generation), namun dengan kunci perbedaan bahwa pembeli (off taker atau purchaser) dari energi adalah Pemerintah, utilitas energi Pemerintah, dan pada akhir kontrak kepemilikan stasiun pembangkit dapat berlanjut dari investor kepada pembeli (biasanya dengan harga nominal atau tanpa biaya) dan kemudian ke sektor publik.[6]
            Suatu tahap yang singkat dari model kontrak dengan skema pembiyaan BOT ke model kontrak dengan skema pembiyaan Build-Transfer-Operate (BTO) adalah dialihkannya kepemilikan ke Pemerintah pada saat selesainya konstruksi. Kontrak dengan skema pembiyaan Design-Build-Finance-Operate (DBFO) adalah suatu kepemilikan secara hukum dimana fasilitas tetap ada pada Pemerintah melalui kontrak, dengan mana kepentingan sektor swasta dalam proyek didasarkan semata-mata atas hak-hak kontraktual untuk mengoperasikan fasilitas dan menerima penghasilan (revenue) dari pembeli (offtaker) yang membeli, dari pada kepemilikan aset secara fisik.[7]
            Kontrak dan bahasa kontrak telah digunakan diberbagai area: pengadaan, ketentuan jasa, contracting-out, PFI, perjanjian antara cabang-cabang pemerintahan, perjanjian-perjanjian jasa publik, perjanjian antara departemen dan badan eksekutif, kontrol terhadap penyimpangan, jasa-jasa terhadap pengangguran (unemployment), dan pendidikan. Banyak bentuk (taxonomies) kontrak yang bisa digunakan. Suatu standar bisa menjadi suatu hal, apakah kontrak secara hukum mengikat, dalam arti bisa beberapa kontrak tersebut mengikat secara hukum dan yang lain tidak mengikat. Dalam kerangka hukum administrasi negara hal ini merupakan faktor pembeda yang penting. Standar alternatif yang diusulkan adalah membedakan antara pengadaan publik, perjanjian Pemerintah (government by agreement) dan kontrak publik baru (new public contracting), dimana yang terakhir digunakan untuk mencirikan pendelegasian kekuasaan (delegation of powers) kepada badan-badan publik (public agencies) dalam suatu pengaturan kontrak. Pemerintah pusat memelihara kontrol dan intervensi kekuasaan. Dalam hal ini terlihat adanya perubahan atas pertimbangan umum kontrak sebagai alat kebijakan Pemerintah (contract as a tool of government policy).[8] Bisa terjadi ide kontraktual mempengaruhi hubungan antara badan-badan eksekutif dan para sponsor departemen, meskipun tidak terdapat kontrak yang nyata karena badan-badan tersebut tidak memiliki badan hukum yang terpisah (no separate legal personality).[9]
Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


Gambar Nomor  2.11
Spektrum Publik dan Swasta Infrastruktur.

Public Project    -------------------------------------- PPP ------------------------------ Private Project
 



Contract
Type
Public-sector
procurement
Franchise
(Affermage)
Design- Build- Finance- Operate
(DBFO)*
Build- Transfer- Operate (BTO)**
Build- Operate- Transfer (BOT)***
Build- Own- Operate (BOO)
Construction
Public sector (2)
Public sector (2)
Private sector
Private sector
Private sector
Private sector
Operation
Public sector (3)
Private sector
Private sector
Private sector
Private sector
Private sector
Ownership   (1)
Public sector (4)
Public sector
Public sector
Private sector during construc- tion, then Public sector
Private sector during Contract, then Public sector
Private sector
Who pays?
Public sector
Users
Public sector or Users
Public sector or Users
Public sector or Users
Private sector offtaker public sector (5), or Users
Who is paid
n/a
Private sector
Private sector
Private sector
Private sector
Private sector
*   Also known as Design-Construct-Manage-Finance (DCMF) or Design-Build-Finance Maintain (DBFM);
* *  Also known as Build-Transfer-Lease (BTL), Build-Lease-Operate-Transfer (BLOT) or Build-Lease-Transfer (BLT);
* * * Also known as Build-Own-Operate-Transfer (BOOT);
(1)   In all cases, ownership may be in the form of joint venture between the public and private sectors;
(2)   Public sector normally designs the facility and engages private-sector contractors to carry out construction on its behalf (design-bid-build);
(3)   Public sector may enter into service (outsourcing) contracts (for operation and maintenance) with private-sector contractors;
(4)   Ownership may be through an independent publicly-owned Project Company, i.e. a ‘Public-Public-Partnership’;
(5) The BOO Contract form applies to PPP’s in the minority of cases where ownership of the Facility does not revert to Public Authority at the end of PPP Contract.
(Sumber: Yescombe, E.R., Public Private Partnerships: Principles of Policy and Finance, 1st Edition, Oxford: Elsevier Ltd., 2007, halaman 12)
 
 















[1]  Kessides , 310-326.
[2] Ibid. Perkembangan lebih lanjut dari konsesi adalah franchise, atau (untuk menggunakan istilah Perancis yang kurang jelas, affermage). Franchise adalah hak untuk mengeksploitasi fasilitas yang sudah siap dibangun, sebagai contoh, sama halnya dengan konsesi namun tanpa tahap awal konstruksi. Penerima hak franchise (franchiese) boleh membayar secara lump-sum (penuh) kepada Pemerintah sebagai imbalan hak tersebut. Franchise tidak dipertimbangkan sebagai KPS, karena dia tidak melibatkan ketentuan dan peningkatan infrastruktur, akan tetapi hanya pengoperasian. Meskipun penggunaan konsesi menghilang dibanyak negara setelah abad ke-19, sejak meningkatnya peran Pemerintah, franchise berlanjut dan menjadi penting, seperti sektor pengairan di Perancis. Penggunaan konsesi mulai kembali pada akhir abad ke-20, pada saat kepentingan mulai menumbuhkan model ini dan tipe-tipe KPS lainnya sebagai alternatif model pendanaan. Tahap selanjutnya dalam perkembangan model kontrak PFI penuh (’full’ PFI model) adalah penggunaan kontrak-kontrak untuk ketentuan-ketentuan fasilitas publik dimana risiko penggunaan karena sifatnya melekat tidak dapat dialihkan ke swasta, seperti sekolah-sekolah dan rumah sakit. Dalam kasus ini struktur kontrak masih berdasarkan model kontrak PPA, dimana swasta dibayar oleh Pemerintah untuk ‘ketersediaannya’, seperti, pembangunan fasilitas untuk spesifikasi yang diminta dan membuatnya tersedia untuk periode kontrak PFI, juga untuk ketentuan jasa layanan seperti pemeliharaan, pembersihan dan katering. KPS saat ini dengan demikian didasarkan atas penemuan kembali (rediscovery) atas model kontrak KPS dengan pendekatan konsesi dan perkembangan model kontrak KPS dengan pendekatan PFI. Perlu dicatat bahwa di beberapa negara hanya model kontrak PFI yang disebut sebagai KPS, untuk membedakannya dari model kontrak konsesi.
[3] Grimsey and Lewis, 43.
[4] Craig, 139. PFI merupakan instrumen Pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang efektif dan berkualitas tinggi, namun dalam PFI Pemerintah mengalihkan risiko atas aset, kepemilikan infrastruktur dan pemeliharaannya pada sektor swasta (lihat: Paul Craig, 39).
[5] Yescombe, 97. Ada dua kategori investor dalam badan usaha kerjasama KPS: (a) operational investors – i.e., companies for whom investment is part of strategy for securing other business as Subcontractors to the Project Company; (b) financial investors – i.e., entities only interested in the investment and not in ancillary business as Subcontractors; these may be banks or specialised PPP investment funds.
[6] Ibid., 7-8. 
[7] Ibid., 8, 11-13.  Dalam penyediaan infrastruktur, KPS terletak dalam suatu spektrum antara ”proyek-proyek sektor publik penuh” (dan risiko) dan ”proyek-proyek sektor swasta penuh” (dan risiko). Spektrum publik dan swasta (infrastruktur), lihat Gambar Nomor 2.11.
[8] Craig, 125-126. Kontrak sangat perlu (terkait) dengan dalam berbagai hal dalam hukum administrasi. Penggunaan kerangka kerja kontrak oleh badan eksekutif telah digunakan sementara terdapat kelemahan kontrak terhadap “judicial review” dan dianggap sebagai belenggu dalam pelaksanaan kebijakan administratif.
[9] Ibid., 131.