Welcome to My Blog.

Welcome to My Blog.
My Blog serves the information and consultation concerning to Law and Infrastructure Development in Indonesia.
Have a nice day.
Regards, Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
Lecturer & Researcher

Senin, 10 September 2012

Infrastructure Development in Indonesia: Do Regulation Matter for Infrastructure Performance?



       The question of this topic is “Do Regulation Matter for Infrastructure Performance in Indonesia?” After economic crisis in 1998, Indonesian Government since 2005 seriously invites the private sector to participate in development of the public infrastructure by implementing the concept of Public Private Partnership (PPP).  Many regulations have issued to support PPP since, but in the implementing of such regulations so many obstacles faced by the government and private sector at the beginning of perform the development of infrastructure such as the problem of land acquisition for infrastructure development. The answer of such question before mentioned is, it needs the better quality of regulations, and the better quality of regulations needs the best quality law-makers (human resources) which have many experiences as law-makers with strong academic background.
        On 7th August 2012, Indonesian Government has issued Presidential Decree No. 71 Year 2012 concerning to Land Acquisition for Public Interest, in order to implement Law No. 2 Year 2012 as to Land Acquisition for Public Interest. This new regulations withdrew the previous regulations Presidential Decree No. 36/ 2005 and its amendment Presidential Decree No. 65/ 2006.
        Such Presidential Decree gives the time certainty and assurance regarding to land acquisition process and procedure. Under the new regulations, the duration of all process and procedure of land acquisition is about 583 days as máximum days. This new regulations is to response the constraints and the obstacles of the implementation of Indonesian Government program in order to accelerate and to extent Indonesian economic development (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia or MP3EI), ofwhich there are many infrastructure project in some region areas. The constraints and the obstacles of such Government Masterplan are about regulations concerning to space arrangement and land acquisition (http://www.pikiran-rakyat.com/node/201194 dated 10th September 2012).
       As well as, in order to response the constraints and the obstacles of the implementation of Indonesian Government program in order to accelerate and to extent Indonesian economic development (MP3EI), Indonesian Government has issued Presidential Decree No. 56 Year 2011 concerning to the amendment of Presidential Decree No. 67 Year 2005 as to Public Private Partnership for Infrastructure Procurement.
       Regarding to these facts, government takes about 5 years to review the previous regulations in order to give response concerning to the implementation of previous regulations. Its means that its about 5 years, the government face the constraints and the obstacles for infrastructure development in Indonesia. From these facts, however, we have to learn from success countries how to issue and set up the better quality of regulations specifically for infrastructure development. The better quality of regulations needs the best quality law-makers (human resources) which have many experiences as law-makers with strong academic background.
       As conclusion, one country could not running well as stated in its Constitution as a philosophical idea to give prosperous and wealthy (wellfare state) to their peoples if not supported by the better quality of regulations.

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn.

Kelahiran dan perkembangan KPS model kontrak BOT



Dengan mengutip Adam Smith (1727-1790) “Society gains when men compete to better their position”, kelahiran dan perkembangan kontrak konsesi dengan model skema pembiayaan BOT (kontrak konsesi BOT) dicoba dijelaskan oleh C. Walker dan A. J. Smith sebagai berikut:[1]
(a). Sejarah, dalam tahun 1709 mencatat revolusi industri mulai saat Abraham Darby pertama kali melebur iron dengan coke. Urbanisasi dan kebutuhan infrastruktur mengalir dan kemudian secara individu dibiayai dan dibangun infrastruktur seperti the canals, turnpikes dan railroads di Eropa kemudian di Amerika, Cina dan Jepang.
(b). Akhir tahun 1700-an, pendapatan pajak untuk kesejahteraan terbangkit dari revolusi industri sehingga Pemerintah mulai mampu secara langsung mendanai infrastruktur, namun pada hal-hal yang khusus dan besar digunakan konsesi atau franchise.
(c). Konsep konsesi tersebut kemudian dikembangkan di Perancis (kemudian melebar ke Spanyol, Itali, Belgia dan Jerman) pada pertengahan tahun 1800-an, hasilnya seperti, terusan Suez (Suez Canal) sepanjang 195 kilometer yang dibuka untuk navigasi internasional pada tanggal 17 November 1869 dengan konsesi selama 99 tahun.
(d). Antara akhir tahun 1800-an dan 1970-an negara-negara industri mendanai infrastruktur baru dengan sumber keuangan negara dan pinjaman negara.
(e). Dalam tahun 1970-an menjadi jelas dimana banyak Pemerintah secara global memiliki sumber keuangan yang kurang dalam pendanaan pekerjaan-pekerjaan publik. Total swastanisasi dapat dan masih sebagai jawaban untuk proyek-proyek tertentu di negara-negara tertentu, selain pembiayaan non-recourse.[2]

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N.,M.Kn
 

[1] C. Walker  and A. J. Smith, ed., Privatized Infrastructure: the Build Operate Transfer approach (London: Thomas Telford Publications, 1999), pendahuluan dan 1-11.
[2] Walker and Smith, ed., 5. Pendekatan non-recourse hanya digunakan dalam hal proyek benar-benar dapat membayar hutang.

Selasa, 04 September 2012

Perbedaan KPS, Swastanisasi dan Konsesi



        Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana KPS dibedakan dari swastanisasi dan konsesi. Satu alasan adalah, didalam KPS, sektor publik mendapat dan membayar jasa layanan dari sektor swasta untuk dan atas nama komunitas dan tetap mengontrol tanggungjawab terakhir untuk penyerahan jasa-jasa layanan, walaupun KPS tersebut disediakan oleh swasta dalam periode tertentu (yaitu 25 tahun atau lebih lama).  Sebaliknya, saat badan usaha Pemerintah di-swastanisasi, perusahaan swasta mengambilalih usaha dan juga menanggung tanggungjawab penyerahan jasa layanan.[1]
Dalam KPS terdapat ruang industri yang disebut sebagai ”the hybrid entities” yang merupakan spektrum sektor publik dan sektor swasta. Sehingga ada doktrin-doktrin yang berbeda apakah mengikuti atau menolak KPS sebagai “hybrid entities”: ”Each public private partnership (P3) is sui generis, and consequently ... no body of law or regulations ... apllies to all (P3) contractual arrangements”. KPS merupakan suatu hal yang didasarkan perjanjian kontraktual, sehingga badan usaha kerjasama harus memperhatikan rancangan, kemungkinan, dan standarisasi kontrak sebagai alat untuk menjaga transparansi antara Pemerintah dan swasta. KPS dikatakan berhasil bila dia berhasil dalam waktu yang cukup panjang untuk menghasilkan pendapatan. Ada enam prinsip dasar sebagai petunjuk untuk keberalangsungan KPS yang berhasil, yaitu: (a) design the project to deliver a balanced risk profile between the public and private partners; (b) win the commitment of critical stakeholders and operators; (c) develop a strong contract setting forth the rules of the game and clearly defining roles and responsibilities; (d) drive the bidding program allowing buy-in at all levels and stages of the process; (e) demonstrate improve service delivery; dan (f) sustain change. [2]
Dalam kerangka hukum administrasi negara, Paul Craig yang mengutip pendapat Freedland, dijelaskan bahwa Freedland telah melakukan identifikasi KPS dalam tiga jenis utama (salah satu jenis merupakan hak konsesi – butir b), yaitu:[3]
a.   Dimana sektor swasta menyediakan aset modal yang digunakan dan kemudian dibayar oleh sektor publik. Hal ini dicontohkan oleh pendanaan sektor swasta dalam pembangunan penjara, kantor-kantor, ruang kelas dan sejenisnya yang kemudian disewakan oleh badan publik yang terkait.
b.   Dimana pelayanan jasa publik seperti jembatan atau jalan dibangun oleh sektor swasta, yang kemudian diberikan hak untuk memungut uang (tolls) dari pengguna jasa. Banyak infrastruktur publik pada abad ke-19 menjalankan bentuk ini.
c.   Dimana aset disediakan oleh sektor swasta yang akan dibayarkan sebagian dari sewa secara langsung dari badan publik, dan sebagian dibayarkan dari pembayaran langsung dari publik (masyarakat pengguna).
Administrasi KPS dan PFI adalah berbagi (shared). Apabila proyek KPS gagal maka kemitraan mengalami kerugian dan bila berhasil, kemitraan dan badan publik berbagi keuntungan. Dalam perjanjian PFI adalah jelas merupakan suatu kontrak yang nyata, ada bentuk standar kontrak PFI. Dalam kontrak tersebut terdapat ketentuan yang meberikan badan publik pilihan (opsi) untuk menjual (to purchase) aset modal pada akhir masa kontrak.[4] 
            Pemerintah dan badan publik mengeluarkan pembelanjaan yang sangat besar melalui kontrak yang diberikan, dan telah menggunakan kekuasaannya untuk mempertahankan tujuan kebijakannya dari pada memperhatikan ketentuan barang dan jasa. Tawar menawar (bargaining) juga telah menjadi ciri-ciri yang biasa dalam konteks perencanaan, dan kontrak yang diberikan telah digunakan sebagai alat untuk menjamin kepatuhan terhadap kebijakan anti inflasi. Pada kebijakan masa kini, kekuasaan pengadaan tidak digunakan, namun penting untuk mempertimbangkan masalah hukum yang terkait. Legalitas dalam hal ini selalu menjadi perdebatan, dan kontrol hukum bisa didesak dengan berbagai cara. ”judicial review” bisa diterapkan dalam situasi tertentu pada pelaksanaan kekuasaan kontraktual publik.[5]
            Adanya pembagian publik dan swasta menjadi tidak jelas (kabur) sebagai akibat dari inisiatif baru dalam ketentuan jasa pelayanan. Garis antara formasi kebijakan dan pelaksanaan kebijakan selalu rentan (rapuh), dan menjadi rentan meskipun dari suatu metode pembiayaan yang secara sadar meletakkan tekanan pada KPS dan sejenisnya. Secara pasti telah menjadi perkembangan dimana telah memaksa penggunaan ”dominium” (hak kepemilikan) sebagai teknik dari kebijakan Pemerintah (as a technique of government policy). Dalam hal ini Pemerintah sering menggunakan kekuasaannya (power) untuk menandatangani (conclude) kontrak dengan suatu undang-undang (a statute), namun di negara common law Pemerintah (the Crown) memiliki kekuasaan berdasarkan hukum (a common law power) untuk melakukan kontrak.[6]
Di sisi lain, pendekatan kontraktual yang digunakan di negara-negara common-law telah mendapatkan manfaat-manfaat keuntungan fleksibilitas yang lebih besar untuk membuat perubahan-perubahan dalam program KPS. Berdasarkan pengalaman, dan karena banyak aspek-aspek kontrak KPS adalah umum untuk semua proyek, kebanyakan dapat juga dicapai dengan standarisasi klausula-klausula kontrak KPS berdasarkan pengalaman ini, seperti yang terkait dengan hal-hal:[7]
(a)  Persyaratan untuk menyelesiakan fasilitas sesuai spesifikasi yang disepakati sampai suatu tanggal tertentu (requirement to complete the facility to the agreed specification by a certain date);
(b)  Kemampuan otoritas publik untuk monitor rancangan dan konstruksi (ability of the public authority to monitor design and construction);
(c)  Kewajiban-kewajiban otoritas publik terkait konstruksi (obligations of the public authority in relation to construction);
(d) Ketentuan-ketentuan untuk otoritas publik untuk mengubah spesifikasi (provisions for the public authority to vary the specification);
(e)  Pembatasan-pembatasan atas perubahan-perubahan kepemilikan badan usaha kerjasama, atau dalam ketentuan-ketentuan pembiayaan pinjaman (restrictions on changes in ownership of the project company, or in the terms of the debt financing);
(f)  Ketentuan-ketentuan untuk asuransi, dan penerapan pelaksanaan asuransi untuk penggantian fasilitas (provisions for insurance, and application of insurance proceeds to reinstatement of the facility);
(g)  Ketentuan-ketentuan untuk otoritas publik untuk melakukan intervensi dan mengambilalih fasilitas yang sedang berjalan dalam hal keadaan darurat (provisions for the public authority to intervene and take over running of the facility in case of emergency);
(h)  Kewajiban-kewajiban pemeliharaan jangka panjang, termasuk ketentuan-ketentuan untuk mengembalikan fasilitas ke otoritas publik pada akhir kontrak KPS (long-term maintenance obligations, including provisions for return of the facility to the public authority at the end of the PPP Contract);
(i)   Ketentuan-ketentuan pengakhiran lebih awal atas kontrak KPS, termasuk pembayaran-pembayaran kompensasi bagi badan usaha kerjasama (provisions of early termintaion of the PPP Contract, including compensation payments to the project company).
            Dalam swastanisasi, memiliki beberapa bentuk monopoli alamiah, kemudian Pemerintah biasanya akan mendorong beberapa tipe rezim regulasi, cirinya adalah terhadap harga dan tingkat pengembalian (rate of return). Regulasi yang ditekankan pada perusahaan swasta (swastanisasi) sangat berbeda dari KPS, dan perbedaan inilah sebagai dasar bedanya KPS dan swastanisasi. Regulasi KPS tidak datang dari beberapa badan pengatur peraturan perundang-undangan atau dari tekanan pasar yang tidak terduga (seperti swastanisasi), tetapi langsung hasil dari kontrak yang tergantung dari indikator kinerja dan standar kualitas.[8]
            Dalam konsesi, pelaksanaannya yang efektif dikendalikan oleh rancangan regulasi dan rancangan konsesi yang sesuai. Rancangan konsesi (concession design) terdiri dari: the award process, the award criteria, prequalification requirements, ownership restrictions, labor force adjustment issues, investment obligation versus output targets, guarantees, concession length, termination clauses and compensation rules, contingency clauses, performance bonds, conflict resolution mechanisms and appeals structure, allocation of risks, dan lainnya. Sedangkan rancangan regulasi terdiri dari: pilihan rezim regulasi (rate of return versus price cap), tariff structure, adjustment of tariff procedures and triggers, ordinary and extraordinary tarif reviews, valuation of assets, cost allocation, asset base, quality of service standars, informational requirements, regulatory accounting, regulatory instruments, penalties and fees, consumer rights, services to be regulated, yang semua itu harus dilakukan dengan struktur, organisasi dan prosedur dari badan pengatur. Keduanya baik rancangan konsesi maupun rancangan regulasi adalah terkait, dan hal-hal yang merupakan area abu-abu (tidak jelas) dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari rancangan konsesi atau sebagai bagian dari rancangan regulasi.[9]
            Melihat tujuannya, konsesi dan swastanisasi cenderung mencapai tujuan yang sama yaitu untuk memperoleh managerial sektor swasta dan pengalaman operasional serta investasi.[10] Namun konsesi dan swastanisasi berbeda dalam tiga hal. Pertama, konsesi tidak terkait dengan penjualan atau pengalihan hak milik aset secara fisik, kecuali hanya hak untuk menggunakan aset dan mengoperasikan usaha. Kedua, kontrak konsesi terbatas dengan periode waktu biasanya 15-30 tahun tergantung sektor dan konteks infrastruktur. Terakhir, Pemerintah sebagai pemilik aset terlalu terlibat dan keliru dalam hal memahami konsesi. Implikasi dari konsesi adalah bahwa hak atas penghasilan selama konsesi (cash flow) dari pengguna, sifatnya tergantung dari permintaan dan tarif serta implikasi lain adalah kemungkinan pengakhiran kontrak oleh Pemerintah. Aset yang dapat diagunkan atau digadaikan hanya penghasilan selama konsesi, sedangkan aset tanah, pabrik, mesin tidak dapat diagunkan karena semua aset fisik adalah milik Pemerintah.[11]

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


Gambar Nomor  2.12
Rentang skala model usaha publik – swasta.

-
Public provision of collective goods
-
Service provision contracts
-
Outsourcing/ contracting
-
Design and construct (D & C)
-
Sale and leaseback
-
Operate and maintain (O & M)
-
Operate maintanin and manage (OM & M)
-
Build transfer operate (BTO)
-
Build operate transfer (BOT)
-
Build lease transfer (BLT)
-
Build lease transfer maintain (BLTM)
-
Build own operate transfer (BOOT)
-
Lease renovate operate transfer (LROT)
-
Design build finance operate (DBFO)
-
Design construct manage finance
-
Design build finance operate manage (DBFOM)
-
Build own operate (BOO)
-
Franchise
-
Concession
-
Joint venture (JV)
-
Regeneration partnership
-
Outright privatization

(Sumber: Darrin Grimsey and Mervyn K. Lewis, Public Private Partnerships: The Worldwide Revolution in Infrastructure Provision and Project Finance, Cheltenham, UK – Northampton, MA, USA: Edward Elgar Publishing Limited, 2007, halaman 54)






[1] Grimsey and Lewis, 53-56. Dalam hal ini bisa dilihat suatu perbandingan dalam bentuk skala mulai dari model publik penuh disatu sisi skala dan swastanisasi penuh di sisi skala yang lain. Lihat Gambar Nomor 2.12.
[2] Howard, “Public-Private Partnership”, 755-756. Dalam hal ini independent advisors telah diakui sangat berguna dalam transaksi-transaksi KPS untuk menjamin keseimbangan antara kepentingan-kepentingan publik dan swasta.
[3] Paul Craig, Administrative Law, Sixth Edition (London: Sweet & Maxwell, 2008), 139. Ada dua alasan yang mendasari KPS dan PFI. Dalam konteks mikro-ekonomi, Pemerintah antusias melakukan ”swastanisasi” dan ”liberalisasi” jasa layanan publik. Dalam konteks makro-ekonomi, Pemerintah juga melihat kontrak pembiayaan swasta adalah cara untuk mengurangi atau menangguhkan pengeluaran (belanja) publik yang ada atau syarat-syarat pinjaman. Kebanyakan dalam cara yang sama pihak swasta akan lebih suka melakukan penjaminan (a mortgage) dari pada membayar secara tunai (cash). PFI kemudian menjadi instrumen utama Pemerintah yang efektif dalam jasa layanan publik, dimana meletakkan risiko-risiko aset dan kepemilikan infrastruktur dan pemeliharaannya pada sektor swasta.
[4]  Ibid., 140. Freedland menyebut ada dua hal penting strategi Pemerintah, di satu sisi Pemerintah telah mengalihkan menjadi sikap yang lebih pro-aktif terkait PFI, disisi lain, pengalihan risiko dapat menghasilkan dalam suatu pendelegasian kontraktor swasta dari kekuasaan pembuat keputusan publik yang mempengaruhi kepentingan-kepentingan dan kesejahteraan warga negara. Dalam hal ini bisa terjadi kontraktor swasta memperoleh kepentingan komersial yang besar dalam pelaksanaan kekuasaan pembuatan keputusan, meskipun masih adanya kekuasaan, paling tidak dalam tangan otoritas publik.
[5] Ibid., 154-155. Daintith membedakan dua cara dimana Pemerintah dapat mencari untuk mempertahankan tujuannya. Pertama, Pemerintah dapat melakukan melalui suatu yang disebut ”imperium” (hak untuk melaksanakan undang-undang) yang secara nyata dalam perintah undang-undang. Kedua,  Pemerintah juga bisa melakukan melalui suatu yang disebut ”dominium” (hak kepemilikan) dimana penggunaan dibuat oleh Pemerintah dengan kekuasaannya untuk membayar manfaat kepada yang mematuhi tujuan-tujuan pemerintahan.
[6] Ibid., 156.
[7] Yescombe, 31-33. Hasil akhir dari standarisasi kontrak dengan demikian bisa menjadi sangat sama dengan kerangka regulasi, dan kembali hal ini adalah bermanfaat dalam pembuatan hal-hal tertentu yang lebih besar untuk para penawar (bidders) dan para pemberi pinjaman (lenders),  dan mempercepat proses pengadaan. Beberapa aspek kontrak-kontrak KPS banyak yang bersifat lebih spesifik untuk tipe-tipe kontrak (seperti model kontrak konsesi atau model kontrak PFI, dan bila yang belakangan, sifat dari pengalihan risiko) dan suatu sektor dimana badan usaha kerjasama sedang beroperasi (persyaratan-persyaratan untuk sebuah jalan sangat berbeda dari bangunan sekolah). Dengan demikian, lebih sedikit dari kerangka umum aturan atau suatu bentuk standar kontrak dapat ditarik dari masalah-masalah khusus sektor seperti mekanisme biaya (fee) jasa layanan, termasuk persyaratan-persyaratan jasa layanan. Bagaimanapun juga, apabila alur proyek KPS cukup panjang, adalah sangat berguna untuk mengambil bentuk-bentuk kontrak standar sektoral yang spesifik yang melingkupi masalah-masalah tersebut.
[8] Guasch, 30.
[9] Ibid.
[10] Irnanda Laksanawan memasukkan konsesi sebagai salah satu metode swastanisasi sebagaimana halnya “public offering”, “private sales (direct placement)”, “employee and management buy outs”, “management contracts and leases”, “merger and consolidations”, “joint ventures”, dan  “voucher” (lihat Disertasi Irnanda Laksanawan, Design and Implementation of Privatisation in Indonesia, Disertasi untuk Doctor of Philosophy pada The School of Commerce – Division of Business University of South Australia, Adelaide, 2008, 34-44).
[11] Guasch, 30.