(Dimuat di Harian Kontan tanggal 20 Agustus 2015)
Dalam
70 tahun kemerdekaan, perekonomian Indonesia masih banyak menghadapi kendala.
Pada tanggal 12 Agustus 2015 Presdien Jokowi telah mengganti menteri-menteri
terkait masalah perekonomian. Pemerintah berharap pergantian kabinet yang
menyangkut masalah perekonomian akan mendongkrak laju perekonomian Indonesia.
Namun peningkatan laju perekonomian apabila berhadapan dengan kurangnya serapan
anggaran untuk pembangunan akan menjadi sia-sia dan tidak menyentuh masyarakat
golongan bawah dan mungkin perekonomian hanya dinikmati segelintir masyarakat
golongan atas.
Presiden juga mengungkapkan dalam
Sidang Kabinet Paripurna yang membahas penyerapan anggaran tahun 2015 bahwa sampai
Juni 2015, serapan anggaran baru mencapai 33%. Kurangnya serapan anggaran yang
telah disediakan pemerintah jelas akan memberikan dampak dalam percepatan
pembangunan yang telah dicanangkan Pemerintah dalam program Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada tahun 2011.
Kenyataan sekarang banyak
institusi pemerintah yang takut dan ragu dalam menjalankan penyerapan anggaran.
khususnya dalam hal pengadaan barang dan jasa. Ketakutan ini tampaknya lebih
ditengarai oleh maraknya kasus-kasus korupsi dalam bidang penggunaan anggaran
yang berhasil diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pihak Kejaksaan
Agung sendiri telah bersedia memberikan bantuan teknis terkait masalah
pengadaan barang dan jasa Pemerintah.
Pemerintah akan mengeluarkan
dua peraturan Percepatan Pembangunan berupa Perpres dan Inpres mengenai
kewenangan penegak hukum dalam menindak dugaan pelanggaran oleh pelaksana
proyek dan kuasa anggaran. Ironis sekali, disatu sisi pemerintah telah
membentuk peraturan agar anggaran pemerintah dapat digunakan secara efektif dan
tepat guna, disisi lain peraturan tersebut justru banyak membawa kasus-kasus
korupsi yang menyeret banyak pejabat birokrasi sampai ketingkat menteri. Menjadi
pertanyaan kita disini, apakah peraturan hukum pengadaan barang dan jasa
pemerintah yang bermasalah atau para birokrat pelaksana pengadaan yang belum
memahami secara mendalam peraturan hukum pengadaan barang dan jasa.
Pertama adalah yang
menyangkut peraturan hukum pengadaan barang dan jasa milik pemerintah yaitu
Perpres No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang
sudah ada perubahan keempat yaitu Perpres No. 4 Tahun 2015. Peraturan-peraturan
hukum dalam kegiatan ekonomi tersebut dibuat selain untuk memberikan kepastian
hukum, kemanfaatan dan keadilan kepada masyarakat juga esensinya adalah
memberikan efisiensi. Pendekatan ini dikembangkan oleh para ahli hukum di
Universitas Chicago, Amerika Serikat era tahun 1960-an sebagai pendekatan hukum
dan ekonomi (economic analysis of law)
yang menjawab kegagalan kapitalisme.
Pada saat peraturan
pengadaan tersebut dibuat ternyata tidak memberikan efisiensi bahkan banyak
terjadi kebocoran dan banyak birokrasi yang terseret KPK, maka peraturan tersebut
yang bermasalah, baik dari regulatornya atau substansinya. Diperlukan sumber
daya manusia (SDM) yang berkualitas yang harus memiliki latar belakang akademis
dan pengalaman praktik yang kuat. Pertanyaannya apakah kita cukup memiliki
kualitas SDM sebagai regulator yang memiliki kedua kualitas tersebut.
Kemudian diperlukan juga
sinkronisasi dan harmonisasi dari substansi peraturan dengan peraturan terkait
lainnya seperti peraturan terkait KPK, Kepolisian, Kejaksaan, Keuangan Negara
maupun juga peraturan terkait aparatur Negara. Sebagai contoh mengenai definisi
keuangan Negara yang masih menimbulkan perdebatan jelas akan membuat pejabat
pelaksana pengadaan barang dan jasa pemerintah menjadi ragu-ragu dan khawatir
terkait dengan kewenangan KPK. Belum lagi masalah-masalah yang menyangkut
penegakan hukum, maka permasalahan akan semakin rumit.
Kedua adalah masalah pejabat
pelaksana yang belum memahami secara mendalam khususnya aspek hukum pengadaan
barang dan jasa pemerintah. Masalah ini cukup fatal. Faktanya kita bisa lihat
banyaknya pejabat-pejabat pemerintah yang terseret KPK terlepas dari apakah itu
disebabkan karena kurang pahamnya pejabat pelaksana atas peraturan pengadaan
barang dan jasa pemerintah atau karena faktor politis atau memang ada indikasi
dari pejabat tersebut untuk korupsi.
Terkait
permasalahan ini, dalam tahap pembangunan seperti yang sedang pemerintah
laksanakan, dibutuhkan 5 kualitas hukum sebagaimana yang disampaikan oleh Max
Weber, yaitu: Stability, Predictability,
Fairness, Education dan The special
development abilities of the lawyer. Khususnya untuk menghasilkan ahli-ahli
hukum yang memiliki kualifikasi khusus seperti untuk pengadaan barang dan jasa
pemerintah memang perlu waktu. Namun untuk jangka pendeknya, pemerintah dapat
mengadakan kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan, atau mengirimkan pejabat-pejabat
pelaksana birokrasi ke luar negeri untuk belajar, atau melakukan rekrutmen tenaga-tenaga
profesional yang ada.
MP3EI
telah bergulir, pembangunan harus berjalan cepat, namun harus dengan suatu
paradigma hukum dan ekonomi yang ujungnya harus menghasilkan efisiensi selain
tepat sasaran dan juga memberikan kepastian hukum, bermanfaat dan adil. Sehingga
target pembangunan menjadi optimal dan berjalan sesuai rencana pembangunan.
Kita
berharap dengan melakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan pengadaan
barang dan jasa pemerintah dengan regulasi terkait lainnya khususnya yang
menyangkut penegakan hukum, serta meningkatkan profesionalisme pejabat
pelaksananya, target realisasi investasi MP3EI sebesar Rp 2000 triliun akan
terserap optimal dengan tepat sasaran, efektif dan efisien. Pejabat-pejabat
pelaksana proyek dan kuasa anggaran akan melaksanakan tugasnya dengan rasa aman
tanpa ragu. Tidak akan lagi kita lihat pejabat-pejabat pemerintah yang terseret
KPK.
Dr. Iwan Erar Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn