Dalam
hal ini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana KPS dibedakan dari
swastanisasi dan konsesi. Satu alasan adalah, didalam KPS, sektor publik
mendapat dan membayar jasa layanan dari sektor swasta untuk dan atas nama
komunitas dan tetap mengontrol tanggungjawab terakhir untuk penyerahan
jasa-jasa layanan, walaupun KPS tersebut disediakan oleh swasta dalam periode tertentu
(yaitu 25 tahun atau lebih lama).
Sebaliknya, saat badan usaha Pemerintah di-swastanisasi, perusahaan
swasta mengambilalih usaha dan juga menanggung tanggungjawab penyerahan jasa
layanan.[1]
Dalam KPS terdapat ruang industri yang disebut
sebagai ”the hybrid entities” yang merupakan spektrum sektor publik dan sektor
swasta. Sehingga ada doktrin-doktrin yang berbeda apakah mengikuti atau menolak
KPS sebagai “hybrid entities”: ”Each
public private partnership (P3) is sui generis, and consequently ... no body of
law or regulations ... apllies to all (P3) contractual arrangements”. KPS
merupakan suatu hal yang didasarkan perjanjian kontraktual, sehingga badan
usaha kerjasama harus memperhatikan rancangan, kemungkinan, dan standarisasi
kontrak sebagai alat untuk menjaga transparansi antara Pemerintah dan swasta.
KPS dikatakan berhasil bila dia berhasil dalam waktu yang cukup panjang untuk
menghasilkan pendapatan. Ada
enam prinsip dasar sebagai petunjuk untuk keberalangsungan KPS yang berhasil,
yaitu: (a) design the project to deliver
a balanced risk profile between the public and private partners; (b) win the commitment of critical stakeholders
and operators; (c) develop a strong
contract setting forth the rules of the game and clearly defining roles and
responsibilities; (d) drive the
bidding program allowing buy-in at all levels and stages of the process;
(e) demonstrate improve service delivery;
dan (f) sustain change. [2]
Dalam kerangka hukum administrasi negara, Paul
Craig yang mengutip pendapat Freedland, dijelaskan bahwa Freedland telah
melakukan identifikasi KPS dalam tiga jenis utama (salah satu jenis merupakan
hak konsesi – butir b), yaitu:[3]
a. Dimana sektor swasta menyediakan aset modal
yang digunakan dan kemudian dibayar oleh sektor publik. Hal ini dicontohkan
oleh pendanaan sektor swasta dalam pembangunan penjara, kantor-kantor, ruang
kelas dan sejenisnya yang kemudian disewakan oleh badan publik yang terkait.
b. Dimana pelayanan jasa publik seperti jembatan
atau jalan dibangun oleh sektor swasta, yang kemudian diberikan hak untuk
memungut uang (tolls) dari pengguna
jasa. Banyak infrastruktur publik pada abad ke-19 menjalankan bentuk ini.
c. Dimana aset disediakan oleh sektor swasta
yang akan dibayarkan sebagian dari sewa secara langsung dari badan publik, dan
sebagian dibayarkan dari pembayaran langsung dari publik (masyarakat pengguna).
Administrasi KPS dan PFI adalah berbagi (shared). Apabila proyek KPS gagal maka
kemitraan mengalami kerugian dan bila berhasil, kemitraan dan badan publik
berbagi keuntungan. Dalam perjanjian PFI adalah jelas merupakan suatu kontrak
yang nyata, ada bentuk standar kontrak PFI. Dalam kontrak tersebut terdapat
ketentuan yang meberikan badan publik pilihan (opsi) untuk menjual (to purchase) aset modal pada akhir masa
kontrak.[4]
Pemerintah
dan badan publik mengeluarkan pembelanjaan yang sangat besar melalui kontrak
yang diberikan, dan telah menggunakan kekuasaannya untuk mempertahankan tujuan
kebijakannya dari pada memperhatikan ketentuan barang dan jasa. Tawar menawar (bargaining) juga telah menjadi ciri-ciri
yang biasa dalam konteks perencanaan, dan kontrak yang diberikan telah
digunakan sebagai alat untuk menjamin kepatuhan terhadap kebijakan anti
inflasi. Pada kebijakan masa kini, kekuasaan pengadaan tidak digunakan, namun
penting untuk mempertimbangkan masalah hukum yang terkait. Legalitas dalam hal
ini selalu menjadi perdebatan, dan kontrol hukum bisa didesak dengan berbagai
cara. ”judicial review” bisa diterapkan dalam situasi tertentu pada pelaksanaan
kekuasaan kontraktual publik.[5]
Adanya
pembagian publik dan swasta menjadi tidak jelas (kabur) sebagai akibat dari
inisiatif baru dalam ketentuan jasa pelayanan. Garis antara formasi kebijakan
dan pelaksanaan kebijakan selalu rentan (rapuh), dan menjadi rentan meskipun
dari suatu metode pembiayaan yang secara sadar meletakkan tekanan pada KPS dan
sejenisnya. Secara pasti telah menjadi perkembangan dimana telah memaksa
penggunaan ”dominium” (hak kepemilikan) sebagai teknik dari kebijakan
Pemerintah (as a technique of government
policy). Dalam hal ini Pemerintah sering menggunakan kekuasaannya (power) untuk menandatangani (conclude) kontrak dengan suatu
undang-undang (a statute), namun di
negara common law Pemerintah (the Crown) memiliki kekuasaan
berdasarkan hukum (a common law power)
untuk melakukan kontrak.[6]
Di sisi lain, pendekatan kontraktual yang
digunakan di negara-negara common-law
telah mendapatkan manfaat-manfaat keuntungan fleksibilitas yang lebih besar
untuk membuat perubahan-perubahan dalam program KPS. Berdasarkan pengalaman,
dan karena banyak aspek-aspek kontrak KPS adalah umum untuk semua proyek,
kebanyakan dapat juga dicapai dengan standarisasi klausula-klausula kontrak KPS
berdasarkan pengalaman ini, seperti yang terkait dengan hal-hal:[7]
(a) Persyaratan untuk menyelesiakan fasilitas
sesuai spesifikasi yang disepakati sampai suatu tanggal tertentu (requirement to complete the facility to the
agreed specification by a certain date);
(b) Kemampuan otoritas publik untuk monitor rancangan
dan konstruksi (ability of the public authority
to monitor design and construction);
(c) Kewajiban-kewajiban otoritas publik terkait
konstruksi (obligations of the public authority
in relation to construction);
(d) Ketentuan-ketentuan untuk otoritas publik untuk
mengubah spesifikasi (provisions for the public
authority to vary the specification);
(e) Pembatasan-pembatasan atas perubahan-perubahan
kepemilikan badan usaha kerjasama, atau dalam ketentuan-ketentuan pembiayaan
pinjaman (restrictions on changes in
ownership of the project company, or in the terms of the debt financing);
(f) Ketentuan-ketentuan untuk asuransi, dan
penerapan pelaksanaan asuransi untuk penggantian fasilitas (provisions for insurance, and application of
insurance proceeds to reinstatement of the facility);
(g) Ketentuan-ketentuan untuk otoritas publik
untuk melakukan intervensi dan mengambilalih fasilitas yang sedang berjalan
dalam hal keadaan darurat (provisions for
the public authority to intervene and take over running of the facility in case
of emergency);
(h) Kewajiban-kewajiban pemeliharaan jangka
panjang, termasuk ketentuan-ketentuan untuk mengembalikan fasilitas ke otoritas
publik pada akhir kontrak KPS (long-term maintenance
obligations, including provisions for return of the facility to the public authority
at the end of the PPP Contract);
(i) Ketentuan-ketentuan pengakhiran lebih awal
atas kontrak KPS, termasuk pembayaran-pembayaran kompensasi bagi badan usaha kerjasama
(provisions of early termintaion of the
PPP Contract, including compensation payments to the project company).
Dalam
swastanisasi, memiliki beberapa bentuk monopoli alamiah, kemudian Pemerintah
biasanya akan mendorong beberapa tipe rezim regulasi, cirinya adalah terhadap
harga dan tingkat pengembalian (rate of
return). Regulasi yang ditekankan pada perusahaan swasta (swastanisasi)
sangat berbeda dari KPS, dan perbedaan inilah sebagai dasar bedanya KPS dan
swastanisasi. Regulasi KPS tidak datang dari beberapa badan pengatur peraturan
perundang-undangan atau dari tekanan pasar yang tidak terduga (seperti
swastanisasi), tetapi langsung hasil dari kontrak yang tergantung dari
indikator kinerja dan standar kualitas.[8]
Dalam
konsesi, pelaksanaannya yang efektif dikendalikan oleh rancangan regulasi dan
rancangan konsesi yang sesuai. Rancangan konsesi (concession design) terdiri dari: the award process, the award criteria, prequalification requirements,
ownership restrictions, labor force adjustment issues, investment obligation
versus output targets, guarantees, concession length, termination clauses and
compensation rules, contingency clauses, performance bonds, conflict resolution
mechanisms and appeals structure, allocation of risks, dan lainnya.
Sedangkan rancangan regulasi terdiri dari: pilihan rezim regulasi (rate of return versus price cap), tariff structure, adjustment of tariff procedures and triggers, ordinary and extraordinary tarif reviews, valuation of assets, cost
allocation, asset base, quality of service standars, informational requirements, regulatory accounting, regulatory instruments, penalties and fees, consumer rights, services to
be regulated, yang semua itu harus dilakukan dengan struktur, organisasi
dan prosedur dari badan pengatur. Keduanya baik rancangan konsesi maupun
rancangan regulasi adalah terkait, dan hal-hal yang merupakan area abu-abu
(tidak jelas) dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari rancangan konsesi atau
sebagai bagian dari rancangan regulasi.[9]
Melihat
tujuannya, konsesi dan swastanisasi cenderung mencapai tujuan yang sama yaitu
untuk memperoleh managerial sektor swasta dan pengalaman operasional serta
investasi.[10] Namun
konsesi dan swastanisasi berbeda dalam tiga hal. Pertama, konsesi tidak terkait dengan penjualan atau pengalihan hak
milik aset secara fisik, kecuali hanya hak untuk menggunakan aset dan
mengoperasikan usaha. Kedua, kontrak
konsesi terbatas dengan periode waktu biasanya 15-30 tahun tergantung sektor
dan konteks infrastruktur. Terakhir,
Pemerintah sebagai pemilik aset terlalu terlibat dan keliru dalam hal memahami konsesi.
Implikasi dari konsesi adalah bahwa hak atas penghasilan selama konsesi (cash flow) dari pengguna, sifatnya
tergantung dari permintaan dan tarif serta implikasi lain adalah kemungkinan pengakhiran
kontrak oleh Pemerintah. Aset yang dapat diagunkan atau digadaikan hanya
penghasilan selama konsesi, sedangkan aset tanah, pabrik, mesin tidak dapat
diagunkan karena semua aset fisik adalah milik Pemerintah.[11]
Dr.
Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
Gambar Nomor 2.12
Rentang skala model usaha publik – swasta.
-
|
Public provision of
collective goods
|
-
|
Service
provision contracts
|
-
|
Outsourcing/
contracting
|
-
|
Design and construct
(D & C)
|
-
|
Sale and
leaseback
|
-
|
Operate and maintain
(O & M)
|
-
|
Operate maintanin
and manage (OM & M)
|
-
|
Build transfer
operate (BTO)
|
-
|
Build operate
transfer (BOT)
|
-
|
Build lease
transfer (BLT)
|
-
|
Build lease transfer
maintain (BLTM)
|
-
|
Build own operate
transfer (BOOT)
|
-
|
Lease renovate
operate transfer (LROT)
|
-
|
Design build finance
operate (DBFO)
|
-
|
Design construct
manage finance
|
-
|
Design build finance
operate manage (DBFOM)
|
-
|
Build own operate
(BOO)
|
-
|
Franchise
|
-
|
Concession
|
-
|
Joint venture (JV)
|
-
|
Regeneration
partnership
|
-
|
Outright
privatization
|
(Sumber:
Darrin Grimsey and Mervyn K. Lewis, Public
Private Partnerships: The Worldwide Revolution in Infrastructure Provision and
Project Finance, Cheltenham, UK – Northampton, MA, USA: Edward Elgar
Publishing Limited, 2007, halaman 54)
[1] Grimsey and Lewis, 53-56. Dalam hal ini bisa dilihat suatu perbandingan dalam bentuk
skala mulai dari model publik penuh disatu sisi skala dan swastanisasi penuh di
sisi skala yang lain. Lihat Gambar Nomor 2.12.
[2] Howard, “Public-Private Partnership”, 755-756. Dalam hal ini independent advisors telah diakui sangat
berguna dalam transaksi-transaksi KPS untuk menjamin keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan publik dan swasta.
[3] Paul Craig, Administrative
Law, Sixth Edition (London:
Sweet & Maxwell, 2008), 139. Ada dua alasan yang mendasari KPS dan PFI. Dalam konteks mikro-ekonomi,
Pemerintah antusias melakukan ”swastanisasi” dan ”liberalisasi” jasa layanan
publik. Dalam konteks makro-ekonomi, Pemerintah juga melihat kontrak pembiayaan
swasta adalah cara untuk mengurangi atau menangguhkan pengeluaran (belanja)
publik yang ada atau syarat-syarat pinjaman. Kebanyakan dalam cara yang sama
pihak swasta akan lebih suka melakukan penjaminan (a mortgage) dari pada membayar secara tunai (cash). PFI kemudian menjadi instrumen utama Pemerintah yang efektif
dalam jasa layanan publik, dimana meletakkan risiko-risiko aset dan kepemilikan
infrastruktur dan pemeliharaannya pada sektor swasta.
[4] Ibid.,
140. Freedland menyebut ada dua hal penting strategi Pemerintah, di satu sisi
Pemerintah telah mengalihkan menjadi sikap yang lebih pro-aktif terkait PFI,
disisi lain, pengalihan risiko dapat menghasilkan dalam suatu pendelegasian kontraktor
swasta dari kekuasaan pembuat keputusan publik yang mempengaruhi
kepentingan-kepentingan dan kesejahteraan warga negara. Dalam hal ini bisa
terjadi kontraktor swasta memperoleh kepentingan komersial yang besar dalam
pelaksanaan kekuasaan pembuatan keputusan, meskipun masih adanya kekuasaan,
paling tidak dalam tangan otoritas publik.
[5] Ibid., 154-155. Daintith membedakan dua cara dimana Pemerintah dapat
mencari untuk mempertahankan tujuannya. Pertama,
Pemerintah dapat melakukan melalui suatu yang disebut ”imperium” (hak untuk
melaksanakan undang-undang) yang secara nyata dalam perintah undang-undang. Kedua,
Pemerintah juga bisa melakukan melalui suatu yang disebut ”dominium”
(hak kepemilikan) dimana penggunaan dibuat oleh Pemerintah dengan kekuasaannya
untuk membayar manfaat kepada yang mematuhi tujuan-tujuan pemerintahan.
[6] Ibid., 156.
[7] Yescombe, 31-33. Hasil akhir dari standarisasi kontrak dengan
demikian bisa menjadi sangat sama dengan kerangka regulasi, dan kembali hal ini
adalah bermanfaat dalam pembuatan hal-hal tertentu yang lebih besar untuk para
penawar (bidders) dan para pemberi pinjaman
(lenders), dan mempercepat proses pengadaan. Beberapa
aspek kontrak-kontrak KPS banyak yang bersifat lebih spesifik untuk tipe-tipe
kontrak (seperti model kontrak konsesi atau model kontrak PFI, dan bila yang
belakangan, sifat dari pengalihan risiko) dan suatu sektor dimana badan usaha kerjasama
sedang beroperasi (persyaratan-persyaratan untuk sebuah jalan sangat berbeda
dari bangunan sekolah). Dengan demikian, lebih sedikit dari kerangka umum
aturan atau suatu bentuk standar kontrak dapat ditarik dari masalah-masalah
khusus sektor seperti mekanisme biaya (fee) jasa layanan, termasuk persyaratan-persyaratan
jasa layanan. Bagaimanapun juga, apabila alur proyek KPS cukup panjang, adalah
sangat berguna untuk mengambil bentuk-bentuk kontrak standar sektoral yang
spesifik yang melingkupi masalah-masalah tersebut.
[8] Guasch, 30.
[9] Ibid.
[10] Irnanda Laksanawan memasukkan konsesi sebagai salah satu metode
swastanisasi sebagaimana halnya “public offering”, “private sales (direct
placement)”, “employee and management buy outs”, “management contracts and
leases”, “merger and consolidations”, “joint ventures”, dan “voucher” (lihat Disertasi Irnanda
Laksanawan, Design and Implementation of
Privatisation in Indonesia, Disertasi untuk Doctor of Philosophy pada The
School of Commerce – Division of Business University of South Australia,
Adelaide, 2008, 34-44).
[11] Guasch, 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar