Arah partisipasi swasta yang
terjadi secara besar-besaran dalam pembangunan infrastruktur terjadi dibanyak
negara-negara sedang berkembang, dan manfaat dari mulainya gelombang
swastanisasi dan investasi baru menjadi jelas. Pergerakan swastanisasi
infrastruktur tersebut, yang diluncurkan pada pertengahan tahun 1980-an,
dimulai pada sektor energi (power sector),
khususnya fasilitas pembangkit tenaga (power
generation) yang proyeknya dilaksanakan secara Build-Own-Operate (BOO) atau secara BOT. Para investor menjadi
lebih aktif dalam berbagai tipe infrastruktur yang ditawarkan Pemerintah pada
swasta dalam sektor-sektor pengairan, transportasi, dan sektor lainnya.[1]
Swastanisasi itu sendiri
adalah suatu kata baru yang secara cepat digunakan secara populer meskipun
memiliki kelemahannya. Kata swastanisasi
pertama muncul dalam kamus pada tahun 1983 dan didefinisikan secara sempit sebagai: ”To make
private, especially to change (as a
business or industry) from public to private control or ownership”.[2]
Kata tersebut kemudian memperoleh arti yang lebih luas, menjadi simbol cara
baru melihat kebutuhan masyarakat, dan suatu pemikiran kembali atas peran
Pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Ini berarti lebih mengandalkan
lembaga-lembaga swasta dari pada Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Untuk itu Emanuel S. Savas mendefinisikan swastanisasi (privatization) sebagai: “… the act of reducing the role of
government, or increasing the role of the private sector, in an activity or in
the ownership of assets”.[3]
Beberapa
tekanan kuat berada disamping pergerakan swastanisasi, yaitu: tekanan
pragmatis, tekanan ideologis, tekanan komersial dan tekanan populis. Tujuan
para pragmatis adalah pemerintahan yang baik, dalam pengertian efektifitas
biaya yang lebih baik. Tujuan dari pendekatan ideologi adalah pengurangan peran
Pemerintah dan meningkatkan peran lembaga-lembaga swasta. Tujuan dari
kepentingan komersial adalah untuk mendapatkan lebih banyak usaha dengan cara
memperoleh belanja Pemerintah yang lebih, untuk dialihkan pada swasta. Tujuan
dari para populis adalah untuk mencapai masyarakat yang lebih baik dengan
memberikan masyarakat kekuasaan yang lebih untuk memperoleh kepuasan atas
kebutuhan pokok mereka, sambil mengurangi birokrasi publik dan memperbesar
peran swasta. Penjelasan tekanan swastanisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:[4]
(a). Tekanan pragmatis, dimana ketika Pemerintah
menghadapi beberapa tekanan fiskal, artinya, pada saat biaya aktifitas
Pemerintah naik namun perlawanan publik atas pajak yang lebih tinggi juga naik,
pejabat publik kemudian mencari solusinya. Swastanisasi adalah pendekatan
strategis untuk memperbaiki produktivitas perwakilan-perwakilan Pemerintah dan
dengan demikian memberikan masyarakat lebih banyak uang.
(b). Tekanan ideologis, dimana alasan dari pandangan
ini adalah berdasarkan pandangan filosofis politik dan ekonomi. Pada saat
banyak penghasilan masyarakat diambil Pemerintah, saat keputusan mengenai
pengaturan uang dibuat dengan cara meningkatkan kesenjangan dan tidak responnya
organ-organ Pemerintah, dan saat kehadiran Pemerintah masuk lebih jauh ke area
aktivitas kemanusiaan, maka ini disebut sebagai suatu kehilangan kebebasan (”a loss of freedom”). Masyarakat modern
mensyaratkan individu-individu untuk menyerahkan kontrol yang substansial
terhadap aspek-aspek vital kehidupan mereka kepada lembaga-lembaga yang tidak
bersifat pribadi.
(c). Tekanan komersial, dimana dukungan lebih jauh
lagi dari swastanisasi datang dari kepentingan komersial. Pemikirannya adalah
langsung pada sasaran. Grup bisnis melakukan advokasi lebih pada swastanisasi
aktivitas interen Pemerintah dan mendukung legislasi yang melarang penggunaan
pegawai pemerintahan untuk melakukan pekerjaan dimana swasta dan pembayar pajak
dapat melakukannya. Tekanan komersial adalah pendukung yang aktif atas
swastanisasi, walaupun kepentingan-kepentingan mereka sangat berbeda dari para
pragmatis dan yang berdasarkan filosofis politik atau ekonomi.
(d). Tekanan populis, dimana kelompok ini menentang, baik terhadap pemerintahan
yang gemuk dan bisnis yang besar dan untuk lainnya. Kebanyakan berasal dari lembaga-lembaga
lokal dan pemberdayaan masyarakat. Pandangan ini telah disimpulkan sebagai
berikut: ”This country’s ‘public’
systems, governmental and private, have become too institutionalized, too
bureaucratized, too protective of their own interests. ......”. Mereka
bahkan percaya, pada suatu tingkat yang lebih besar kepada keluarga, tetangga, tempat
ibadah, dan masyarakat etnik dan asosiasi-asosiasi sukarela. Proses
mem-formulasikan kebutuhan-kebutuhan pokok, dan bekerja melalui lembaga-lembaga
tradisional lokal untuk memuaskan kebutuhan mereka.
Beralihnya peran Pemerintah kepada swasta,
mengharapkan adanya pengalaman dan pembiayaan yang akan menyelesaikan
pertumbuhan yang cepat atas permintaan jasa layanan infrastruktur. Kritik
terhadap swastanisasi adalah terkait dengan pertanyaan akan adanya dampak yang
merugikan atas tujuan-tujuan penting lainnya, seperti akses orang-orang miskin
terhadap jasa layanan infrastruktur modern, dampak lingkungan dari
infrastruktur,[5] dan pengurangan korupsi.[6]
Kajian-kajian yang menyeluruh terhadap
dampak-dampak swastanisasi terlihat bahwa skema-skema perencanaan yang baik
dapat membawa peningkatan yang substansial atas kesejahteraan secara
keseluruhan. Kajian-kajian tersebut terlihat bahwa manfaat-manfaat tersebut
adalah meningkatnya investasi yang memberi jasa layanan kepada pengguna jasa
baru, harga-harga yang lebih rendah, dan perbaikan produktifitas dan efisiensi.
Terhadap faktor-faktor tersebut hanya sedikit yang mempermasalahkan efisiensi
secarta teknis dan operasional swastanisasi. Kritik terhadap swastanisasi
umumnya terkait masalah harga yang meningkat akan berdampak pada tidak mampu
memberikan jasa layanan, dan sektor swasta tidak tertarik mengembangkan jasa
layanannya kepada pengguna jasa yang lebih miskin.[7] Adanya tekanan dan kritikan terhadap
swastanisasi sebagaimana yang dijelakan di atas, dapat digunakan sebagai alat
untuk mengukur tingkat kesimbangan antara publik dan swasta yang lebih fair.
Tabel Nomor 2.3
Tekanan-Tekanan disamping Privatisasi
Force
|
Goal
|
Reasoning
|
Pragmatic
|
Better government
|
Prudent privatization leads to
more cost-effetive public services.
|
Ideological
|
Less government
|
Government is too big, too powerful, to intrusive, in people’s live
and therefore is a danger to democracy. Government’s decisions are political,
thus are inherently less trustworthy than free-market decisions.
|
Commercial
|
More business
|
Government spending is a large part of the economy; more of it can and
should be directed toward private firms. State-owned enterprises and assets
can be put to better use by the private sector.
|
Populist
|
Better society
|
People should have more choice in public service. They should be
empowered to define and address common needs, and to establish a sense of
community by relying more on family, neighborhood, church, and ethnic and
voluntary associations and less on distant bureaucratic structures
|
(Sumber dikutip dari : Savas, Emanuel S., Privatization, The Key To Better Government,
New Jersey: Chatham House Publishers, Inc., 1987, halaman 5.)
Dr. Iwan Erar Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
[1] Gregory
Fischer, Suman Babbar, “Private Financing of Toll Roads”, RMC Discussion Paper
Series 117, (Gregory Fischer, Mercer Management Consulting, Inc., and Suman
Babbar, World Bank, Project Finance and Guarantees Group), vii. Dalam
infrastruktur jalan tol, berbagai tantangan dalam pembangunan dan pembiayaan jalan
tol adalah sama dalam menghadapi proyek infratsruktur lainnya, dimana secara
tipikal adalah bersifat padat modal (capital-intensive) dan
berbagi risiko-risiko tertentu (share
certain risks), termasuk risiko
konstruksi (construction risk), risiko politik (political risk), risiko mata uang (currency risk), dan risiko keadaan kahar (force
majeure risk). Namun jalan tol
menghadapi resiko-resiko lebih besar dalam beberapa area penting, termasuk
pembebasan tanah untuk daerah milik jalan (right-of-way),
kondisi cuaca dan geologi yang tidak terduga (unforeseen geological and weather condition) yang dapat
meningkatkan biaya dan keterlambatan, dan bahkan yang lebih penting, tidak
dapat diprediksinya lalu-lintas (future
traffic) dan tingkat pendapatan (revenue
levels). Proyek pembangkit tenaga listrik, sebagai contoh, bisa menghadapi
resiko-resiko yang lebih sedikit dari jalan tol karena fisik pabriknya (physical plant) adalah dalam satu lokasi
(dengan fasilitas pembebasan tanah) dan pendapatan (future revenues) secara umum terjamin dalam suatu kontrak jangka
panjang (a long-term power purchase agreement).
[2] Savas,
3.
[3] Ibid. Beberapa penentang swastanisasi melihatnya sebagai menyederhanakan
Pemerintah dan kembali kepada Negara yang keras dimana hanya yang kuat yang
berhasil dan yang lemah tertinggal dalam mengatasi masalahnya sendiri. Saat diterapkan dengan tepat, dia
akan lebih menawarkan pada yang tidak
beruntung.
[4] Ibid., 4-5. Lihat Tabel
Nomor 2.3.
[5] Mark
Stallworthy, Sustainability, Land Use and
Environtment: a legal analysis (London:
Cavendish Publishing Limited, 2002), 200. Sebagai contoh kasus dampak
lingkungan dari infrastruktur dalam kritisasi swastanisasi adalah suatu tujuan
regulasi dapat masuk dalam suatu konflik dimana tujuan otoritas jalan bebas
hambatan (highways) melaksanakan
kewenangannya dan dalam pelaksanaannya konflik dengan otoritas perencanaan
terkait masalah keselamatan dan kepentingan publik. Konflik kedua rezim
tersebut membutuhkan penyelesaian yudisial. Dalam penyelesaian sampai suatu
tingkat pengadilan tinggi, permasalahan hubungan antara rencana penggunaan
tanah dan kontrol terhadap polusi dapat digambarkan tidak jelas. Walaupun
permasalahannya terkait kontrol terhadap polusi namun konflik yang timbul
adalah konflik antar kedua otoritas tersebut. Penyelesaian kepentingan publik
atas masalah lingkungan menjadi masalah karena adanya dua kepentingan otoritas
yang terpisah.
[6] Clive
Harris, Private Participation in
Infrastructure in Developing Countris – Trends, Impact, and Policy Lessons, World
Bank Working Paper No. 5 (Washington,
D.C.: The International Bank for
Reconstruction and Development/ World Bank, 2003), 17.
[7] Ibid.. Di Buenos Aires,
partisipasi swasta dalam pengairan dan sanitasi meningkatkan kesejahteraan
domestik secara keseluruhan menjadi $ 1.4 billion
sedangkan di Guiena $ 23 billion.
Enam kasus partisipasi swasta secara rinci dibidang telekomunikasi, energi dan
pelabuhan terlihat juga secara substansial memberikan keuntungan kesejahteraan
(welfare gains) kepada Pemerintah,
pengguna jasa, investor dan, juga para pekerja. Dengan demikian swastanisasi
dalam hal ini memberi dampak terhadap (impacts
on): (1) service expansion, (2) efficiency, (3) the quality of service, dan (4) prices.