Pada pertengahan tahun 1980-an
banyak negara-negara sedang berkembang (developing
countries), dimulai dari Amerika Latin dan Karibia, memulai reformasi
ekonomi yang signifikan. Komponen yang besar dari reformasi tersebut melibatkan
partisipasi swasta dalam jasa-jasa infrastruktur, pemindahan dari Pemerintah ke
perusahaan-perusahaan swasta atas bagian-bagian siginifikan dari manajemen dan
kontrol terhadap pengoperasian utilitas. Perusahaan-perusahaan swasta tersebut
baik badan usaha yang sudah ada atau konsorsium dari badan-badan usaha (asing
dan domestik) dibentuk untuk memberikan jasa-jasa pelayanan. Arah yang membawa
partisipasi swasta dimotivasi oleh keinginan dan kebutuhan memperbaiki kinerja
dan untuk menjamin kebutuhan-kebutuhan investasi yang banyak dimana sektor
publik tidak dapat menyediakannya karena keterbatasan dana publik dan kebutuhan
persaingan investasi di sektor-sektor dalam masyarakat. Banyak tipe-tipe
partisipasi swasta terjadi dalam ketentuan infrastruktur. [1]
Tiap-tiap tipe partisipasi swasta
berbeda dalam tingkat partisipasi Pemerintah, alokasi risiko, tanggungjawab
investasi, persyaratan operasional, dan insentif untuk para operator. Tipe-tipe
umum yang kebanyakan adalah swastanisasi dan konsesi, dan yang lebih sedikit
adalah kontrak manajemen. Pengalihan jasa-jasa infrastruktur publik ke sektor
swasta, apakah melalui swastanisasi atau konsesi, melibatkan ciri khas sebagai
berikut: [2]
(a). Sector
restructuring and bundling, dimana perusahaan-perusahaan milik negara
diurai (unbundled) untuk
memfasilitasikan persaingan dan mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan
monopoli atau posisi dominan. Batasan-batasan vertikal dan horisontal sering
dipaksa untuk penyalahgunan posisi-posisi dominan dan mempromosikan strategi
penggunaan fasiltas-fasilitas yang esensial.
(b). Regulatory
reform, dimana regulasi diimplementasikan dan badan regulator (regulatory agency) dibentuk untuk
membatasi keuntungan monopoli alamiah dan untuk melindungi para pengguna (users) dari perilaku monopoli dan
melindungi investor dari tindakan Pemerintah yang sewenang-wenang.
(c). Prequalification,
dimana ditetapkan kondisi-kondisi teknis dan ekonomi (atau keduanya) bahwa
persaingan operator-operator swasta harus memenuhi persyaratan untuk pengadaan
investasi (bidding) dan proses
seleksi.
(d). Competitive
bidding or an auction mechanism, dimana dibuat mekanisme untuk
menghilangkan biaya-biaya monopoli dan menyeleksi operator yang paling efisien
diantara para operator swasta yang berminat.
(e). Award of
the concession contract, dimana disiapkan kontrak konsesi kepada satu dari
beberapa operator swasta yang berhak berdasarkan kriteria seleksi.
(f). Concession
contract components, dimana disiapkan komponen-komponen kontrak konsesi
termasuk penetapan untuk lamanya kontrak, persyaratan investasi, parameter
kualitas dan jasa, sumber penghasilan (revenue
sources), ketentuan-ketentuan pengaturan (regulatory provisions), frekuensi penyesuaian tarif dan proses review, dan pengalihan aset-aset atas
pengakhiran kontrak atau penutupan.
(g). Concession
contract enforcement and regulatory oversight, dimana diberikan pada badan
pengatur (regulatory agency) bila
ada, bila tidak ada, oleh kementerian suatu departemen Pemerintah, atas
pelaksanaan kontrak konsesi dan kekeliruan regulasi.
Partisipasi swasta dalam konsep KPS
dapat ditunjukkan dengan suatu gambar yang dapat menunjukkan tingkat
partisipasi swasta secara rendah atau penuh.[3] Berbagai bentuk konsep KPS telah diuji-cobakan
dan dilaksanakan dengan catatan keberhasilan yang berbeda.
Partisipasi swasta khususnya dalam
infrastruktur jalan tol dibeberapa negara, dalam suatu penelitian dengan
menghadirkan empat indikator pembangunan jalan tol (panjang jalan tol,
pertumbuhan domestik bruto per kapita atau gross
domestic product per capita, pemilikan kendaraan atau auto ownership, dan keterlibatan sektor swasta) telah diteliti
tingkat partisipasi swasta tersebut yang dibagi dalam kategori rendah (low), sedang (moderate) dan tinggi (high).[4]
Persentase partisipasi swasta per
sektor infrastruktur, maka untuk infrastruktur transportasi jalan adalah 8
persen. Persentase yang tertinggi adalah disektor infrastruktur tenaga listrik
(power) yaitu 30 persen.[5]
Infrastruktur jalan bebas hambatan
(highway) secara tradisional telah
didanai melalui anggaran umum Pemerintah (general
government budgets), pajak dan fees
ketimbang toll itu sendiri. Di
kebanyakan negara-negara industrial, 90 persen atau lebih jalan bebas hambatan
didanai oleh anggaran publik (public
funded), di negara-negara sedang berkembang (developing countries) Pemerintah selalu memikul keseluruhan biaya.
Beberapa faktor tambahan telah memberikan kontribusi peningkatan kepentingan
swasta untuk mendapatkan hasil jalan tol swasta, termasuk kecenderungan global
terhadap komersialisasi dan swastanisasi BUMN, keberhasilan jalan tol publik
dalam perolehan dana, dan perkembangan teknologi tol yang membuat lebih efisien
dan aman.[6]
Industri-industri infrastruktur dan
jasa sangat penting untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi
kemiskinan, dan meningkatkan daya saing internasional. Pentingnya
infrastruktur, membuat banyak negara telah meng-implementasikan reformasi
dengan pencapaian yang jauh dalam dua dekade lalu, yaitu dengan melakukan
restrukturisasi, mendorong partisipasi swasta, dan membentuk pendekatan baru
untuk pengaturan. Dengan
demikian hubungan antara reformasi infrastruktur dan kinerja infrastruktur
tersebut selanjutnya adalah sangat kompleks.[7]
Penilaian akademis dan persepsi
publik atas swastanisasi ternyata tidak sesuai. Dugaan kegagalan swastanisi
telah terjadi dan meningkatkan kritisisasi dari lembaga-lembaga keuangan
internasional. Ada pengalaman yang cukup untuk memandu reformasi
lembaga-lembaga. Mereka tidak diikuti secara buta di negara tertentu tanpa
penilaian yang hati-hati terhadap persyaratan struktural dan kelembagaan dan
tanpa perhatian yang tegas terhadap yang mereka capai. Pada abad ke-20 dibanyak
negara, jaringan utilitas secara vertikal dan horisontal terintegrasi monopoli
negara dibawah kontrol kementerian negara. Pada akhir dekade terlihat perubahan
dramatis dalam pandangan bagaimana jaringan utilitas seharusnya dimiliki,
diorganisir, dan diregulasi. Model baru adalah meningkatkan kepercayaan pada
infrastruktur swasta untuk memperbaiki efisiensi, inovasi, dan meningkatkan
jasa-jasa layanan.[8]
Gelombang swastanisasi
infrastruktur global dan liberalisasi[9]
pada tahun 1990-an adalah awal penting dalam perkembangan konsensus ekonomi.
Gelombang tersebut selain mempertanyakan kebutuhan kepemilikan negara atas
jaringan utilitas juga mempertimbangkan kembali ide-ide monopoli alamiah dan
intervensi-intervensi regulasi terkait. Diterima secara luas bahwa model
utilitas monopoli tidak lagi diterapkan. Apabila industri-industri tersebut
di-restrukturisasi secara benar, kompetisi yang substansial dapat muncul di
banyak aktifitas. Negara-negara industri masih mengandalkan model lama (model
monopoli), sedangkan negara-negara sedang berkembang dan negara-negara yang
ekonominya dalam transisi mengambil pendekatan baru (model baru), yaitu model
yang dengan pendekatan vertikal terintegrasi untuk membangun infrastruktur yang
baik dan saat ini mengikuti unbundling
(melepas perusahaan-perusahaan milik negara untuk memfasilitasi persaingan dan
mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan monopoli atau posisi dominan).
Model baru ini menghadapi risiko-risiko yang signifikan apabila tidak disertai
dengan perlindungan struktur dan regulasi.[10]
Untuk memperoleh manfaat unbundling,[11]
kebijakan-kebijakan memerlukan harmonisasi atas kekeliruan regulasi dari
aktifitas monopoli dengan meningkatkan kompetisi (persaingan usaha). Bila tidak
ada harmonisasi atas regulasi, maka akan terjadi beberapa distorsi dalam
hubungan antara komponen-komponen yang merupakan biaya tinggi atas jasa layanan
dan segmen-segmen yang kompetitif. Sistem campuran (mixed system) adalah yang terburuk untuk kedua model tersebut. Dengan demikian model unbundling membuat tugas regulasi lebih kompleks, seperti akan
menjadi suatu masalah dalam lingkungan-lingkungan dengan kapasitas lembaga yang
lemah, yang banyak terjadi di negara-negara sedang berkembang (developing countries) dan negara-negara
dengan ekonomi transisi (developing and
transition economies).[12]
Di Indonesia, swastanisasi[13]
merupakan salah satu alat dan cara selain restrukturisasi[14]
dalam membenahi BUMN untuk mencapai cita-citanya serta hal-hal penting lainnya
yang mendukung dan dapat menjadi landasan bagi upaya-upaya penyehatan BUMN.
Swastanisasi hanya dapat dilakukan terhadap BUMN yang berbentuk Persero
sepanjang dimungkinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan disektor
kegiatan yang dilakukan Persero tersebut. BUMN Persero dapat diswastanisasi
karena selain dimungkinkan oleh ketentuan dibidang pasar modal juga karena pada
umumnya hanya BUMN Persero yang telah bergerak dalam sektor-sektor yang
kompetitif. Swastanisasi senantiasa meperhatikan manfaat bagi rakyat.
Memperhatikan sifat BUMN,
untuk memupuk keuntungan dan melaksanakan kemanfaatan umum, BUMN disederhanakan
menjadi dua bentuk yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) yang bertujuan memupuk
keuntungan dan sepenuhnya tunduk pada ketentuan undang-undang Perseroan
Terbatas,[15]
dan Perusahaan Umum (Perum) yang dibentuk oleh Pemerintah untuk melaksanakan
usaha sebagai implementasi kewajiban Pemerintah guna menyediakan barang dan
jasa tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk bentuk usaha Perum,
walaupun keberadaannya untuk melaksanakan kemanfaatan umum, namun demikian
sebagai badan usaha diupayakan untuk tetap mandiri dan untuk itu Perum harus
diupayakan juga untuk mendapatkan laba agar bisa hidup berkelanjutan.[16]
Gambar Nomor 2.3
Wilayah-wilayah dan tanggungjawab berdasarkan tipe-tipe partisipasi
Swasta yang berbeda.
VARIABLE
|
MANAGEMENT
CONTRACTS
|
CONCESSIONS
|
PRIVATIZATIONS
|
Ownership of physical and land assets
|
Government
|
Government
|
Private operator
|
Ownership of vehicles
|
Government
|
Government/ Private operator
|
Private operator
|
Investment responsibilities
|
Government
|
Private operator
|
Private operator
|
Service control
|
Government
|
Government/ Private operator
|
Government/
Private operator
|
Tariff control
|
Government
|
Government/ Private operator
|
Government/
Private operator
|
Revenue risk
|
Government
|
Private operator
|
Private operator
|
Cost risk
|
Government
|
Private operator
|
Private operator
|
Labor risk
|
Government
|
Private operator
|
Private operator
|
Management cost risk
|
Private operator
|
Private operator
|
Private operator
|
(Sumber: Guasch, J. Luis, Granting and Renegotiating
Infrastructure Concessions – Doing It Right, World Bank Institute, Washington, D.C.:
The International Bank for Reconstruction and Development/ World Bank, 2004,
halaman 25)
Tabel Nomor 2.1
Daftar Tingkat Partisipasi Swasta Dalam KPS dalam 4 indikator pembangunan
Jalan Tol dibeberapa negara (panjang Jalan Tol, pendapatan domestik bruto per
kapita, jumlah kepemilikan kendaraan dan tingkat partisipasi Swasta).
Negara
|
Panjang
Jalan Tol
(Km)
|
PDB
(US $)
1997
|
Pemilik
Kendaraan
Per 1000 populasi
1997
|
Tingkat Partisipasi Swasta
|
Argentina
|
197
|
9,700
|
151
|
Moderate
|
Brazil
|
856
|
6,300
|
67
|
High
|
Chile
|
2.5
|
11,600
|
109
|
Moderate
|
China
|
4,735
|
3,460
|
8
|
High
|
Columbia
|
1,330
|
6,200
|
38
|
High
|
France
|
6,716
|
22,700
|
521
|
Moderate
|
Hong Kong
|
67.8
|
26,800
|
74
|
High
|
Hungary
|
254
|
7,400
|
272
|
Moderate
|
Indonesia
|
472
|
4,600
|
21
|
High
|
Italy
|
6,440
|
21,500
|
679
|
High
|
Japan
|
9,219
|
24,500
|
551
|
Low
|
Malaysia
|
1,127
|
11,100
|
152
|
High
|
Mexico
|
6,061
|
7,700
|
133
|
High
|
Philppines
|
168
|
3,200
|
12
|
High
|
Spain
|
2,255
|
16,400
|
457
|
High
|
Thailand
|
91
|
8,800
|
105
|
Moderate
|
United Kindom
|
8
|
21,200
|
406
|
High
|
United Sates
|
7,363
|
30,200
|
760
|
Low
|
Sumber: The World Bank, Ministry of
Construction, Japan,
May 1999.
(Dikutip dari: The World Bank, Ministry of Construction, Japan, Asian
Toll Road Development Program, Review of Recent Toll Road Experience in
Selected Countries and Preliminary Tool Kit for Toll Road Development, Draft
Final Report, May 1999, Padeco Co. LTD, in association with Highway Planning
Inc., and Value Management Institute, Inc.)
Note:
-
PDB : Pendapatan Domestik Bruto
-
US $
: Mata uang Dollar Amerika Serikat
-
Km :
Kilo meter
Tabel Nomor 2.2
Daftar Persentase Partisipasi Swasta per
Sektor Infrastruktur
Sektor Infrastruktur
|
Persentase Partisipasi Swasta
|
Water and sanitation
|
18%
|
Road transport
|
8%
|
Power
|
30%
|
Telecommunications
|
28%
|
Rail transport
|
2%
|
Water transport
|
5%
|
Air transport
|
3%
|
Gas
|
6%
|
Sumber: World Bank, Private
Infrastructure Project Database (Study 1995).
(Dikutip dari: RMC Discussion Paper Series 117, Gregory Fisher and Suman
Babbar, Private Financing of Toll Roads, Sponsored by the World Bank’s Project Finance
and Guarantees Group and produced in collaboration with Mercer Management
Consulting, Inc., was guided by an Advisory Committee that was formed in
December 1995 and chaired by Ram Chopra, Director of the Bank’s Cofinancing and
Project Finance Departement, halaman 1.)
Dr. Iwan Erar Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
[1] Guasch,
23-24.
[2] Ibid.,
25. Lihat Gambar Nomor 2.3. Partisipasi
swasta secara umum telah dicapai melalui swastanisasi yang ada yaitu
pengurangan modal investasi (divestiture)
yang digabungkan dengan reformasi struktur dan regulasi. Tetapi sektor-sektor
yang lain seperti pelabuhan, bandara, jalan, rel kereta, air dan sanitasi, dan
segmen-segmen sektor listrik, hambatan-hambatan hukum, politik dan konstitusi
telah mengganggu penjualan utilitas publik kepada pihak-pihak swasta. Beberapa
negara yang tidak memiliki kesulitan hukum atau konstitusi untuk memenuhi
swastanisasi memberi perhatian pada kinerja yang membawa Pemerintah untuk
menahan beberapa kontrol diberbagai sektor. Negara-negara yang tidak dapat atau
tidak ingin mengalihkan kepemilikan aset publik ke sektor swasta, strategi
inovatif telah digunakan untuk memperkenalkan partisipasi swasta. Diantara
alternatif swastanisasi yang ada, konsesi telah muncul sebagai suatu pendekatan
yang terbaik. Di Amerika Latin dan Karibia, konsesi secara khusus telah menjadi
umum untuk jasa-jasa penyediaan air bersih, sanitasi dan transportasi (lihat: 23-27).
[3] http://rru.worldbank.org/Documents/Toolkits/Highways/start.HTM
Toolkit for Public Private Partnership in
Highways.
[4] The World Bank, Ministry of Construction, Japan, May (1999), “Asian
Toll Road Development Program, Review of Recent Toll Road Experience in
Selected Countries and Preliminary Tool Kit for Toll Road Development”, Draft
Final Report, Padeco Co. LTD, in association with Highway Planning Inc., and
Value Management Institute, Inc. Lihat Tabel Nomor 2.1.
[5] Gregory Fischer, Suman Babbar, “Private Financing of Toll Roads”,
RMC Discussion Paper Series 117, (Gregory Fischer, Mercer Management
Consulting, Inc., and Suman Babbar, World Bank, Project Finance and Guarantees
Group), 1. (Lihat Tabel Nomor 2.2). Kebutuhan jalan bebas hambatan (highway) bagi negara-negara berkembang (developing countries) semakin parah.
Berdasarkan data World Bank,
negara-negara tersebut memiliki 1,000 kilometer jalan per sejuta penduduk (per million people) dibandingkan dengan
lebih dari 10,000 kilometer per sejuta penduduk (per million people) di negara-negara industri (industrial countries), dan banyak jalan-jalan tersebut memerlukan
investasi yang substansial. Sebagai contoh, di Argentina, Chilie, dan Kolombia
kurang dari setengah dari jalan tersebut yang dalam kondisi baik. Indonesia
sampai tahun 2004 memerlukan untuk membangun 28,000 kilometer jalan nasional
dan provinsi untuk terlepas dari kemacetan lalu lintas. Cina, dalam rencana
pembangunan jalan bebas hambatan menargetkan 92,000 kilometer untuk konstruksi
jalan bebas hambatan yang baru (halaman 2).
[6] Ibid. Jalan tol swasta
memiliki sejarah yang panjang di Amerika Serikat dan Eropa. Di pertengahan pertama abad ke-19 jalan tol
swasta melebihi jalan umum di Amerika. Sektor publik memberikan dukungan
melalui hibah tanah (land grants) dan
subsidi, dan jalan publik dibangun terutama untuk mendukung jaringan
jalan-jalan swasta. Pembiayaan jalan tol berkembang di Eropa setelah Perang
Dunia ke-2, ketika hambatan anggaran dan pertumbuhan lalu-lintas yang cepat
membuat pembiayaan tol swasta menjadi menarik. Di Perancis pembiayaan jalan tol
publik digunakan pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, dan
pembiayaan jalan tol swasta diperkenalkan pada akhir tahun 1960-an dan awal
tahun 1970-an. Di Spanyol pembiayaan tol digunakan untuk ”intercity autopistas” pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun
1970-an. Di Italia lebih dari 5,000 kilometer jalan tol telah dibangun oleh lebih
dari duapuluh pemegang konsesi, meskipun Pemerintah pusat dan regional memegang
kepemilikan mayoritas. Negara-negara sedang berkembang menjadi tertarik pada
pembiayaan jalan tol pada tahun 1980-an, ketika pertumbuhan ekonomi dan
populasi membawa pertumbuhan permintaan akan infrastruktur. Di Meksiko, Presiden Salinas membentuk ”a National
Highway Building
Program” yang mengundang pembiayaan jalan tol swasta. Di Indonesia, harapan
pertumbuhan lalu-lintas dan proyeksi biaya konstruksi yang tinggi membawa Pemerintah
membentuk program “joint venture” pembiayaan jalan tol swasta untuk mendanai dan
mengatur proyek jalan tol.
[7] Ionnis N. Kessides, Reforming
Infrastructure: Privatization, Regulation, and Competition (Washington: A
Copublication of the World Bank and Oxford University Press, 2004), xi-xii.
Dikebanyakan negara-negara berkembang dan yang ekonominya dalam masa transisi,
partisipasi swasta dalam infrastruktur dan restrukturisasi telah dijalankan
dengan biaya tinggi dan kinerja yang buruk dari jaringan utilitas milik Negara.
Dibawah kepemilikan Negara, jasa pelayanan masyarakat biasanya dibawah harga (underpriced). Tidak ada model reformasi
yang universal. Setiap restrukturisasi dan partisipasi swasta harus terlibat
dengan sektor-sektor yang utama dan karakteristik-karakteristik ekonomi,
lembaga, sosial dan politik Negara. Seperti telekomunikasi misalnya, mungkin
banyak menawarkan dorongan swastanisasi, sedangkan segmen-segmen transportasi
kompetisi antar moda-nya selalu cenderung mengarah pada liberalisasi. Walaupun
hubungan antara reformasi infrastruktur dan kinerja infrastruktur selanjutnya
sangat kompleks, namun dari hubungan yang kompleks tersebut beberapa kesimpulan
dapat ditarik:
1.
Reformasi secara signifikan
memperbaiki kinerja, membawa investasi, produktifitas, dan cakupan layanan dan
kualitas yang lebih tinggi.
2.
Regulasi yang efektif – termasuk menetapkan
tingkat tarif yang sesuai – adalah kondisi yang sangat penting untuk reformasi
infrastruktur.
3.
Swastanisasi yang membangkitkan
manfaat sosial yang luas, maka industri infrastruktur harus secara keseluruhan
di-restrukturisasi dan harus dapat menjaga kompetisi. Manfaat dari swastanisasi
monopoli infrastruktur adalah lebih kecil dari memperkenalkan kompetisi. Selalu
sulit dan biaya tinggi untuk mengubah pilihan-pilihan struktural – seperti
tingkat integritas secara vertikal dan horisontal setelah swastanisasi. Dengan
demikian, restrukturisasi untuk memperkenalkan kompetisi harus dilakukan
sebelum swastanisasi, dan regulasi harus sesuai dengan pembeli potensial baik
dari elemen yang kompetitif maupun monopoli.
[8] Ibid., xiii. Kritisasi-kritisasi tersebut adalah benar dalam hal
menilai kasus-kasus dimana swastanisasi dilakukan tanpa perlindungan dan arahan
lembaga dimana secara luas dinyatakan
sebagai tidak sah (illegitimate).
Informasi ekstensif dibutuhkan untuk menganalisa hubungan antara reformasi
kebijakan khusus dan yang dihasilkan oleh infrastruktur, termasuk dimensi
distribusinya. Pentingnya ekonomi besar dari infrastruktur, adalah suatu
keinginan untuk melindungi kepentingan publik pada industri-industri yang
memberikan jasa-jasa layanan pokok, dan perhatian mengenai kekuatan monopoli
swasta membawa Pemerintah untuk menyimpulkan bahwa kontrol terhadap jasa-jasa
layanan tersebut tidak dapat dipercaya untuk motivasi dan sanksi pasar bebas.
Pemerintah juga yakin bahwa keterlibatan investasi besar, sumber-sumber publik
diperlukan untuk meningkatkan cakupan infrastruktur. Dengan demikian, entitas
publik tunggal biasanya mengkontrol setiap aspek utilitas yaitu
fasilitas-fasilitas, pengoperasian, dan administrasi, dan menetapkan jasa-jasa
layanan pokok mana bagi konsumen. Prinsip-prinsip apa yang seharusnya memandu
usaha-usaha yang akan datang untuk restrukturisasi, regulasi, dan mengembangkan infrastruktur?, (halaman 1).
Kinerja monopoli infrastruktur yang dimiliki Negara juga bervariasi ditiap-tiap
negara. Harga-harga bervariasi ditiap sektor. Masalah ini tertunda selama
Pemerintah dapat menyediakan subsidi dan lembaga-lembaga keuangan internasional
mau memberi jaminan. Namun, tahun-tahun kurang pendanaan (underfunding) dan kegagalan mengarahkan masalah-masalah yang
sistematis telah membawa defisit infrastruktur yang signifikan dinegara-negara sedang berkembang,
membangkitkan kehilangan kesejahteraan yang substansial. Tidak efisiennya
infrastruktur menghambat pertumbuhan ekonomi domestik, merusak kompetitif
internasional, dan menurunkan investasi asing (halaman 2).
[9] Kamerman and Kahn, ed., 25.
[10] Kessides, 4. Mengapa negara-negara sedang berkembang dan negara-negara
ekonomi dalam transisi mengambil pendekatan baru (model baru). Jawaban
sederhana adalah bahwa model yang baru, apabila terimplementasi secara benar
(adanya perlindungan struktur dan regulasi yang sesuai), menawarkan manfaat
yang terlalu besar untuk diabaikan, bagi Pemerintah, operator dan konsumen. Ada
cukup pengalaman untuk memandu implemantasinya. Bagaimanapun juga, model baru
tersebut tidak seharusnya diteruskan atau diikuti dinegara-negara atau industri
tertentu tanpa secara hati-hati menilai persyaratan-persyaratan kelembagaan dan
struktural, dan tanpa perhatian yang jelas pada permasalahan yang mucul.
Kebaikan utama dari model baru (unbundling)
adalah bahwa dia mempromosikan kompetisi, menjamin bahwa perusahaan memberikan
jasa-jasa layanannya pada harga yang efisien. Unbundling sepertinya secara khusus menjadi menarik ketika ukuran
dan kejenuhan pasar membolehkan operator melakukan fungsi, memberikan kompetisi
yang aktif dan potensial. Unbundling
dapat mengurangi kebutuhan untuk regulasi dengan cara mengisolasi segmen-segmen
yang monopoli, memuat konsekuensi-konsekuensi yang merugikan, dan mengganti regulasi
dengan kompetisi. Kelemahan dari unbundling,
yaitu meskipun aktifitas yang lebih sedikit, memaksa terjadinya kekeliruan regulasi
dalam sistem unbundling, kinerja
menjadi lebih sensitif untuk keampuhan regulasi. Faktanya, praktek-praktek yang
tidak efisien (seperti internal
cross-subsidies) yang dapat ditolerir dalam lingkungan monopoli dapat
menyebabkan kerugian yang lebih banyak dalam pembentukan regulasi yang baru.
[11] Sebelum Pemerintah memberikan konsesi
dalam sektor infrastruktur, maka Pemerintah harus mempertimbangkan struktur apa
yang terbaik bagi industri yang akan diberi konsesi. Apa masuk akal untuk memilah (unbundle) industri secara vertikal? (separating an upstream segment, such as
generation, from downstream segment, such as transmission). Atau apa masuk
akal untuk memilah (unbundle)
industri secara horisontal? (creating,
for example, several generation companies out of one). Lihat: Michel Kerf,
et. al., Concession for Infrastructure,
4.
[12] Kessides, 5-7. Beberapa tahun lalu,
swastanisasi digembar-gemborkan sebagai obat mujarab (panacea) untuk memulihkan kelesuan industri-industri infrastruktur
yang boros dan mengembalikan stagnasi ekonomi. Namun saat ini, swastanisasi
dipandang secara berbeda dan sering secara kritis. Skeptisisme dan permusuhan
terhadap swastanisasi tidak terbatas pada sekelompok kecil pemerotes yang
radikal. Poling pendapat dibeberapa negara sedang berkembang dan negara-negara
dengan ekonomi transisi, khususnya di Amerika Latin, memperlihatkan pertumbuhan
ketidakpuasan publik dengan adanya swastanisasi. Ketidakpuasan publik telah
dibakar juga dengan kenaikan harga, pengurangan pekerjaan, keuntungan
perusahaan yang digunakan untuk memperbaiki kinerja operasional, juga oleh
krisis politik dan ekonomi yang kebijakan pemerintahannya tidak banyak
melakukan sesuatu untuk infrastruktur. Namun, penyesuaian-penyesuaian ini
menjadi diperlukan bagi swastanisasi untuk mencapai tujuan-tujuan kepentingan
publik.
[13] Pasal 1 butir 12 Undang-undang Nomor 19 Tahun
2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (UU No. 19/2003), menyebutkan swastanisasi
(privatisasi) sebagai: “penjualan saham Persero, baik sebagian maupun
seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai
perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas
pemilikan saham oleh masyarakat”.
[14] Pasal 1 butir 11 UU No. 19/2003, menyebutkan
Restrukturisasi sebagai: ”upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN
yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal
perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan”.
[15] Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, diundangkan tanggal 16 Agustus 2007,
Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 106 Tambahan Lembaran RI Nomor 4756.
[16] Penjelasan Umum UU No.
19/2003. Jasa Marga merupakan salah satu BUMN di Indonesia yang telah melakukan
swastanisasi, dimana pada tanggal 12 November 2007, Jasa Marga telah
mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia untuk menjadi perusahaan terbuka,
dimana Pemerintah melepaskan 30% sahamnya kepada masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar