Dalam paradigma hukum dan ekonomi, pembangunan jalan tol sebagai suatu investasi, banyak dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan ekonomi. Dalam orasi ilmiahnya, Hikmahanto Juwana menyebutkan hasil penelitian Asian Development Bank (ADB), dimana hukum dan lembaga-lembaga hukum di Asia berubah dalam merespon kebijakan ekonomi.[1]
Dalam pembangunan infrastruktur jalan tol di Indonesia, Pemerintah dalam Undang-Undang No.
38/2004, telah menerapkan konsep hukum baru yaitu konsep kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS).[2]
Perubahan hukum dan lembaga-lembaga hukum tersebut banyak dikaitkan dengan
fenomena transplantasi hukum (legal
transplant).[3]
Transplantasi hukum digunakan untuk menentukan mengenai kesesuaian
konsep-konsep hukum dari luar (compatibility
foreign legal concepts) atau kualitas sistem-sistem hukum luar negeri (the merits of foreign legal systems) dan
untuk memberikan serangkaian ide-ide hukum dari luar negeri. Metode
perbandingan hukum modern berhubungan dengan transplantasi hukum dan penerimaan
hukum luar negeri.[4]
Dalam
transplantasi hukum ada beberapa teori yang dapat digunakan sebagai dasar untuk
menggunakan dan menerapkan hukum atau sistem hukum asing di suatu negara. Salah
satunya adalah teori kekuasaan (power)
yang diajukan oleh Alan Watson dalam transplantasi hukum. Dalam teori kekuasaan
tersebut, dijelaskan oleh Alan Watson dalam contoh penaklukan wilayah oleh
Napoleon. Penaklukan wilayah oleh Napoleon tersebut membantu penyebaran hukum
Perancis. Selain penaklukan wilayah, pengaruh dominan dari hukum Perancis di
abad ke-19 adalah lebih karena kekuatan dari “Code Civil” dan juga ketiadaan saingan.[5]
Beberapa
ahli hukum menafsirkan secara salah atas teori Watson sebagaimana cara pandang
Piere Legrand:[6] “At best, what can be displaced from one
jurisdiction to another is, literally, a meaningless form of words”. Namun
banyak yang mendukung teori Watson seperti Roger Cotterrell, kemudian Hei Wei
Guo dari Cina yang menguji transplantasi prinsip hukum “Piercing the Corporate Veil” di Cina. Pandangan Watson
mengenai transplantasi hukum tersebut lebih didasarkan pada bukti sejarah,
khususnya yang terkait dengan resepsi (penerimaan) hukum Romawi dan common law Inggris oleh sebagian besar
negara di dunia.[7]
Dalam
konteks kekuasaan (power), konstitusi
Indonesia
dalam perubahan UUD 1945, Indonesia
tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan (seperation
of power atau scheiding van machten),[8]
sebagaimana ajaran “trias politica” dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara
Republik Indonesia.[9] Berdasarkan
ketentuan dalam UUD 1945 Perubahan,
ketiga kekuasaan Negara tersebut saat ini dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
Negara sebagai berikut:[10]
(a) Kekuasaan eksekutif,
dipegang oleh Presiden.
(b) Kekuasaan legislatif,
dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden.
(c) Kekuasaan yudikatif
dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Badan-badan
Peradilan lainnya.
Teori kekuasaan (power) dalam
transplantasi hukum yang diajukan
oleh Alan Watson, digunakan sebagai alat untuk menganalisa penerapan konsep KPS
dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Khususnya dalam status tanah
terkait transplantasi konsep KPS model kontrak BOT pembangunan jalan tol dimana
biaya pengadaan tanah sebagai bagian dari investasi (modal) bagi badan usaha
swasta di Indonesia sedangkan kepemilikan tanah secara hukum dimiliki oleh Bina
Marga Kementerian PU..
Kebenaran umum yang akan dijelaskan dan diuji dalam transplantasi hukum adalah konsep KPS dari
negara asal (negara donor) yang akan diterapkan pada negara penerima sangat
ditentukan oleh kekuasaan dari Pemerintah. Untuk itu yang akan diuji adalah bagaimana
kekuasaan Pemerintah dilaksanakan khususnya dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dan juga status hukum tanah tersebut. Dalam kasus konkret adalah
tidak berjalannya pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol sebagai sarana
publik dalam lingkungan investasi infrastruktur di Indonesia dan masalah status
hukum tanah (penggunaan tanah) serta Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) yang belum mengakomodir permasalahan
KPS model kontrak BOT yang cukup rumit, memberi dampak pada lambatnya
pertumbuhan pembangunan jalan tol di Indonesia.
Dalam perkembangan KPS dalam membangun jalan
tol, mulai dari UU No. 13/ 1980, kemudian direvisi dengan UU No. 38/ 2004, banyak
hal-hal yang menimbulkan masalah-masalah yang memberatkan investasi dari pihak investor
swasta. Masalah-masalah tersebut secara umum dapat disimpulkan: pertama, Pemerintah melepaskan kewajiban
pembiayaan pendanaan pengadaan tanah menjadi beban investor, kedua, lambatnya kinerja panitia pengadaan
tanah yang dibentuk Pemerintah, ketiga,
adalah timbulnya sengketa tanah yang berlarut-larut yang menyebabkan
terbengkalainya skedul pembangunan infrastruktur jalan tol yang telah
disepakati antara Pemerintah dan investor swasta, dan keempat, kurangnya dukungan Pemerintah dalam pembangunan
infrastruktur jalan tol oleh badan usaha swasta yang berkarakteristik jangka
panjang dan relatif rumit.
Konsep KPS model kontrak BOT secara filosofis dapat ditransplantasikan
dan dilaksanakan di Indonesia, apabila Pemerintah mempergunakan kekuasaan (power) dalam hal:
a. Membentuk
struktur badan-badan organisasi yang sesuai bagi investor swasta untuk
membangun infrastruktur jalan tol, apakah bersifat sentralistis atau
desentralistis, dan apakah membentuk struktur organisasi yang bersifat tunggal
atau multi fungsi, serta merancang PPJT yang memberikan keseimbangan ekonomis (economic equilibrium) bagi para pihak.
b. Melaksanakan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang secara substantif telah diberikan
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah (UU
No. 20/ 1961), dan dilaksanakan
dalam suatu sistem hukum dengan suatu
keadilan yang fair,[11]
serta memberikan status hukum tanah yang jelas yang memberikan kepastian hukum.
c. Membentuk persepsi masyarakat dalam hal
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dimana dalam kegiatan membangun
infrastruktur jalan tol adalah untuk kepentingan masyarakat walaupun dikelola
oleh investor swasta.
Dr. Iwan Erar Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
[1] Hikmahanto Juwana, Penegakan
Hukum Dalam Kajian Law & Development, disampaikan dalam orasi ilmiah,
dalam peringatan Dies Natalis ke-56 UI. Dalam orasinya, disebutkan hasil
penelitian Asian Deveopment Bank atas 6 negara Asia sehubungan dengan peran
dari hukum dan institusi hukum pada pembangunan ekonomi, yang menyimpulkan
bahwa, “Law and legal institutions in
Asia changed in response to economic policies. When economic policies were
introduced….., the law and its role in Asia
economic development became increasingly similar to the West. Not only
substantive laws, but also legal process and institutions responded to these
changes…..”. Dalam konteks Indonesia,
meskipun peraturan perundang-undangan (substantive
laws) dan institusi hukum (legal
institutions) telah merespons pada kebijakan ekonomi, namun mengapa
peraturan perundang-undangan dan institusi hukum yang sudah dibentuk tidak
dapat merespon sebagaimana yang diharapkan?”.
[2] Daniel Berkowitz, Katharina Pistor, and Jean-Francois Richard (February
2000), “Economic Development, Legality, and the Transplant Effect”. Working Paper Number 308, William
Davidson Institute, 1. Semakin diakui bahwa hukum memainkan peran penting dalam
pembangunan ekonomi. Transplantasi tidak saja merupakan suatu pendekatan untuk
mengukur kualitas hukum namun juga efektivitas pelaksanaan aturan hukum (judiciary, rule of law, the absence of
corruption, low risk of contract repudiation and low risk of government
expropriation). Kerjasama yang kuat antara hukum dan pembangunan ekonomi
secara sederhana dapat diartikan bahwa negara-negara kaya dapat memberikan
lembaga-lembaga yang lebih baik.
[3] Steven J. Heim, “Predicting Legal
Transplants: The Case of Servitudes in The Russian Federation”, Symposium: Social Justice and
Development: Critical Issues Facing the Bretton Wood System, Transnational Law
& Contemporary Problems, (Spring 1996): 189. Dalam hal ini, dijelaskan oleh Steven J.
Heim, kalimat “legal transplants”
mengacu pada pergerakan (movement)
dari aturan-aturan hukum (legal norms)
atau hukum khusus (specific laws)
dari suatu negara (state) ke negara
lain selama proses penciptaan hukum (law-making)
atau reformasi hukum (legal reform).
[4] http://www.cisg.law.pace.edu/cisg/biblio/mistelis.html#68.
Loukas A. Mistelis, “Regulatory Aspects: Globalization, Harmonization, Legal
Transplants, and Law Reform – Some Fundamental Observations”, Reproduced with
permission of 34 International Lawyer, (2000): 1065.
[6] Widjaya, 28. Mengutip He Wei Guo, yang mengutip Piere Legrand,
“What Legal Transplants?” dalam David Nelken & Johaness Fees, ed., Adopting Legal Cultures (Oxford: Hart
Publishing Co., 2001), 55.
[7] Ibid., 29. Tidaklah mungkin hukum yang telah ditransplantasikan dan
tumbuh pada negara yang berbeda persis sama dengan hukum tersebut pada negara
asalnya. Orang
tidak dapat mengabaikan adanya perbedaan-perbedaan yang terjadi setelah itu.
Namun demikian, bukan perbedaan yang penting di sini, melainkan
persamaan-persaman yang terwujud dan ada di antara kedua sistem hukum tersebut,
khususnya terhadap aturan-aturan yang ditransplantasikan tersebut (31-32). Mengutip Kanda
& Milhaupt, transplantasi hukum terjadi dimana-mana karena: (1) dilakukan
dengan murah, cepat, dan merupakan suatu sumber hukum baru yang potensial, (2)
seringkali mengikuti suatu masa penjajahan, (3) tidak lepas dari peran serta
kalangan ahli hukum yang cenderung mencontoh hukum-hukum yang dianggap baik.
Proses transplantasi hukum itu sendiri dapat terjadi dalam bentuk adopsi seluruh
aturan yang ada atau hanya sekedar menyalin satu ketentuan atau aturan hukum
tertentu (33-34).
[8] Montesquieu. The Spirit of Laws: Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Dan Ilmu Politik, diterjemahkan dari Jeremy Bentham, The Spirit of Laws (University of California Press, 1977), Cetakan
I (Bandung:
Nusamedia, 2007), 186-187. Montesquieu menolak
kebebasan politik dan memandang perlu untuk memisahkan kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, atau kalau tidak bisa, setidaknya mempertahankan
agar kekuasaan yudikatif tetap independen.
[9] Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan-1, 129-130.
[10] Ibid. Namun dalam proses pembentukan di
DPR, rancangan undang-undang (RUU) atau rancangan peraturan daerah (Raperda),
yang telah disetujui bersama, apabila dalam waktu 30 hari setelah persetujuan
bersama pihak eksekutif (Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota) dan legislatif
(DPR/DPRD), rancangan tersebut tidak ditandatangani pihak eksekutif, maka
rancangan tersebut (RUU atau Raperda) sah menjadi UU atau Perda. Dalam hal ini
terlihat kekuasaan legislatif lebih kuat dari kekuasaan eksekutif. Lihat: I
Gede Pantja Astwa dan Suprin Na’a, Dinamika
Hukum Dan Ilmu Perundang-undangan Di Indonesia, cetakan kesatu (Bandung: Alumni,
2008), 110-116.
[11] John Rawls, Teori Keadilan – Dasar-Dasar Filsafat
Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (Judul Asli: A
Theory of Justice, Cambridge: Harvard University Press, 1995), diterjemahkan
oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Cetakan I (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar