Konstitusi Indonesia dalam Pasal 33 ayat
(2) UUD 1945 menyebutkan: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara”. Dalam
penjelasannya dijelaskan bahwa: ”Perekonomian berdasar atas demokrasi,
kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ketangan orang-orang yang berkuasa dan
rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat
hidup orang banyak boleh ditangan orang-seorang”.[1]
Konstitusi Indonesia tidak merinci
infrastruktur mana yang masuk kategori cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara.
Perpres 67/ 2005 kemudian merinci infrastruktur-infrastruktur yang dapat
dikerjasamakan dengan sektor swasta, yaitu:[2]
- Infrastruktur transportasi, meliputi pelayanan jasa kebandarudaraan, penyediaan dan/ atau pelayanan jasa kepelabuhanan, sarana dan prasarana perkeretaapian;
- Infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol;
- Infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku;
- Infrastruktur air minum, meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengelolaan air minum;
- Infrastruktur air limbah, meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan;
- Infrastruktur telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan telekomunikasi dan infrastruktur e-governemnt;
- Infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk pengembangan tenaga listrik yang berasal dari panas bumi, transmisi, atau distribusi tenaga listrik; dan
- Infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi transmisi dan/ atau distribusi minyak dan gas bumi.
Dimungkinkannya dalam kesepakatan
universal bahwa negara harus memainkan peran dalam infrastruktur publik, dengan
alasan:[3]
(a). Sektor swasta tidak dapat terlibat dalam
masalah eksternalitas yaitu manfaat sosial dan ekonomi secara umum, dan dengan
demikian intervensi sektor publik dibutuhkan.
(b). Tanpa intervensi tersebut, infrastruktur yang harus
secara bebas tersedia untuk semua sebagai barang dan jasa umum (public goods) tidak dapat dibangun,
khususnya dalam hal melibatkan jaringan, antara lain jalan dan jasa-jasa
layanan jalan.
(c). Ketentuan persaingan infrastruktur bisa menjadi
tidak efisien, dan ketentuan monopoli memerlukan beberapa bentuk kontrol
publik.
(d). Meskipun persaingan dimungkinkan, sektor
publik harus tetap menyediakan barang dan jasa yang berguna (merit goods) yaitu infrastruktur yang
kurang tersedia (seperti sekolah-sekolah swasta dimana yang kaya dapat membayar
biaya yang diperlukan, sedangkan yang miskin menjadi tidak mendapatkan kesempatan
pendidikan).
(e). Infrastruktur mensyaratkan investasi awal yang
tinggi dengan demikian hanya mendapatkan hasil dari pendapatan jangka panjang.
Hal ini ada kesulitan untuk mendapatkan modal swasta untuk investasi tersebut
tanpa dukungan beberapa sektor publik.
Infrastruktur publik dapat didefinisikan
sebagai fasilitas yang diperlukan untuk fungsi sosial dan ekonomi. Hal ini
bukanlah suatu akhir namun merupakan dukungan aktivitas sosial dan ekonomi
suatu bangsa, dan termasuk fasilitas-fasilitas pendukung fungsi tersebut,
seperti kantor-kantor sektor publik atau akomodasi. Secara umum, infrastruktur
publik dapat dibagi dalam: (a) infrastruktur ekonomi: seperti
fasilitas-fasilitas transportasi dan jaringan utilitas (air, limbah, listrik,
dll), dalam hal ini infrastruktur dipertimbangkan sebagai hal yang penting
untuk kegiatan ekonomi sehari-hari, dan, (b) infrastruktur sosial: seperti
sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, perpustakaan, penjara, dan lainnya,
dalam hal ini infrastruktur dipertimbangkan sebagai hal yang penting untuk
struktur sosial.[4] Darrin
Grimsey dan Mervyn K. Lewis kemudian merincinya lagi dalam kategori infrastruktur hard dan infrastruktur soft.[5]
Pemerintah dan sektor swasta melaksanakan
penyediaan jasa-jasa pelayanan kesejahteraan sosial secara terpisah dan
bersama-sama dalam banyak cara. Negara bisa memiliki hak istimewa (preempt) atas semua bidang, mendominasi,
atau secara damai berdampingan dengan pelaku-pelaku lainnya, bekerja secara
aktif dalam suatu model kerjasama (collaborative
atau competitive), atau berganti
administrasi dan inisiatif kebijakan. Apakah negara dominan atau pasif, peran
regulasinya memperbolehkan secara potensial untuk selalu menjadi faktor utama.
Kesejahteraan sosial oleh swasta tentu dapat saja terjadi tanpa Pemerintah,
akan tetapi alat-alat Pemerintah mempengaruhi ukuran dan bentuk keseluruhan
bangunan kesejahteraan sosialnya.[6]
Menghargai
pentingnya infrastruktur dan kurangnya pendanaan yang cukup, maka kebanyakan
negara-negara sedang berkembang (developing
countries) menoleh kembali pada sektor swasta untuk berperan serta
membiayai dan mengoperasikan jasa-jasa infrastruktur, mencari investasi dan
pengetahuan untuk mempercepat perbaikan tingkat dan kualitas pelayanan.
Partisipasi swasta selalu didahului oleh restrukturisasi dan dengan hukum dan
peraturan yang baru. Usaha-usaha tersebut ditujukan untuk melindungi investor
dari motivasi politik intervensi Pemerintah, melindungi pengguna jasa (users) dari kejahatan monopoli atau
posisi dominan oleh operator-operator swasta yang baru (karena banyak jasa-jasa
infrastruktur memiliki komponen-komponen monopoli alamiah), dan untuk menjamin bila
terjadi persaingan operator antara pemain baru (new entrants) dan pemain lama yang dominan (dominant incumbent). Investasi-investasi yang diperlukan seringkali
highly specific sunk costs (yaitu,
biaya-biaya yang tidak dengan mudah diganti bila suasana ekonomi yang buruk
atau bila operator tidak melanjutkan pengoperasiannya dan tidak dapat digunakan
untuk aktivitas lainnya).[7]
Gambar Nomor 2.1
Klasifikasi Infrastruktur berdasarkan
tipe.
Hard
|
Soft
|
|
Economic
|
roads
motorways
bridges
ports
railways
airports
telecomunications
power
|
vocational training
financial institutions
R & D facilitation
technology transfer
export assistance
|
Social
|
hospitals
schools
water supply
housing
sewerage
child care
prisons
aged care homes
|
social security
community services
environmental agencies
|
Sumber: Darrin Grimsey and Mervyn K. Lewis, Public Private Partnerships: The Worldwide Revolution in Infrastructure
Provision and Project Finance, Cheltenham, UK – Northampton, MA, USA:
Edward Elgar Publishing Limited, 2007, halaman 21.
Dr. Iwan Erar Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
[1] UUD 1945 ayat (2) dan Penjelasannya.
[2] Perpres No. 67/2005, Pasal 4 ayat (1).
[3] Yescombe, 2. Dengan
demikian dapat menjadi perdebatan bahwa infrastruktur seharusnya disediakan
oleh sektor publik karena persaingan harga pasar akan mengganggu perilaku atau
mengarah pada kerugian manfaat sosial dan ekonomi. Dalam hal ini, dapat
dikatakan bahwa peran swasta dalam proporsi besar infrastruktur publik memiliki
norma secara historis sampai kini, namun pengertian perlunya infrastruktur
publik secara jelas telah meluas pada akhir abad ini. KPS dengan demikian bisa
dipertimbangkan sebagai cara modern untuk memfasilitasi swasta untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan infrastruktur publik.
[4] Ibid., 1. Penulis lain
mencoba memahami konsep infrastruktur publik sebagai public goods seperti Anatole Anton yang mengatakan: “the concept of public goods is that they
take the concept of an unregulated market for granted and with it the
legitimacy of the institutional framework of private property (lihat:
Anton, Anatole., 8).
[5] Darrin Grimsey and
Mervyn K. Lewis, Public Private
Partnerships: The Worldwide Revolution in Infrastructure Provision and Project
Finance (Cheltenham, UK – Northampton,
MA, USA:
Edward Elgar Publishing Limited, 2007), 20-23. Perbedaan juga bisa dibuat
antara “hard infrastructure” (apakah sosial atau ekonomi, terutama menyangkut
masalah bangunan-bangunan dan fasilitas fisik), dan “soft infrastructure” (yang
melibatkan masalah jasa pelayanan baik untuk infrastruktur ekonomi seperti
pembersihan jalan atau infrastruktur sosial seperti pendidikan dan latihan,
pelayanan sosial). Mengutip Jochimsen (1966), juga membedakan tipe infrastruktur
menjadi 3 kategori, yaitu: material infrastructure
(social over head capital dalam
pembangunan ekonomi seperti struktur dan perlengkapan dalam telekomunikasi,
transportasi, energi, dan air), personal infrastructure
(yang terdiri dari enterpreunership,
mental dan keterampilan-keterampilan masyarakat lainnya yang memberikan
kontribusi untuk produksi ekonomi), dan institutional
infrastructure (yang berhubungan dengan lembaga-lembaga baru ekonomi yang
membentuk perilaku ekonomi dan proses-proses pengambilan keputusan. Dalam melihat proyek-proyek infrastruktur, perlu dibedakan
“infrastructure financing” dan “infrastructure investment”. Dalam
“infrastructure financing” dapat diadakan dari swastanisasi dari
fasilitas-fasilitas yang sudah ada, sedangkan “infrastructure investment” melibatkan pembangunan, pengoperasian dan
pemilikan baik oleh sektor swasta sendiri atau kerjasama (joint venture) antara Pemerintah dan badan hukum sektor swasta (19). Lihat Gambar
Nomor 2.1.
[6] Kamerman, Sheila B. Kahn, and
Alfred J. ed., Privatization and the
Welfare State (New Jersey:
Princeton University Press, 1989), 67-68. Dalam tulisan Martin Rein, “The Social Structure of Institutions:
Neither Public nor Private”.
[7] Ibid., 6-7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar