Public goods memiliki dua kata kunci. Pertama, dia adalah non-rival yang berarti pemakaian oleh seseorang pengguna tidak
mengurangi pasokan yang tersedia bagi yang lainnya. Kedua, dia adalah non-excludable,
artinya para pengguna public goods
tidak dapat dikecualikan dari penggunaan public
goods tersebut. Public goods baik
yang bersifat lokal atau nasional adalah termasuk: pertahanan negara,
penegakkan hukum (law and order),
kesehatan masyarakat, manajemen makro-ekonomi, jalan-jalan, taman-taman dan
ruang-ruang terbuka. Public goods
sering menghadapi bahaya ganda, yaitu kegagalan pasar (market failure) dan kegagalan Pemerintah (government failure). Dalam hal kegagalan tersebut diperlukan
tindakan pemulihan oleh masyarakat (civil
society).[1]
Banyak public
goods, jasa-jasa layanan dan kegiatan-kegiatan publik, secara teoritis,
dapat disediakan swasta, namun bukannya tanpa biaya-biaya sosial, subsidi,
meningkatnya ketidakmerataan, kontrol yang ketat dan juga meningkatnya kolusi
dan korupsi. Keputusan suatu negara sangat bervariasi dalam mengidentifikasi
jasa layanan sebagai public goods
untuk alasan-alasan kepentingan publik (public
interest), keamanan (security),
politik (political), sosial (social) dan ekonomi (economic), dan juga karena adanya
pembatasan-pembatasan, dan dalam beberapa kasus, seperti kegagalan pasar dan
swasta dalam memenuhi kebutuhan sosial dan publik.[2]
Kebanyakan properti di negara-negara
modern adalah milik publik atau masyarakat. Dalam konteks public property dalam hal ini adalah tanah, bangunan, atau
benda-benda bergerak yang dimiliki negara. Public
property tersedia secara cuma-cuma (available
for free use) apabila seseorang masuk dan menggunakannya tanpa hambatan
yang nyata. Lebih jelasnya, kebanyakan public
property yang tersedia secara cuma-cuma adalah: jalan-jalan, trotoar-trotoar, taman-taman dan
danau-danau, ruang udara, sekolah-sekolah, dan perpustakaan-perpustakaan adalah
selalu terbuka untuk semua. Beberapa public
property, bagaimanapun juga tersedia untuk digunakan dengan suatu
pembayaran (available for use for a fee).
Seseorang bisa dikenakan ongkos untuk mengendarai kendaraan di jalan tol (turnpike), menebang kayu dari tanah
Negara (public lands), atau memasuki
suatu musium. Public property lainnya tersedia untuk digunakan hanya oleh
pihak-pihak yang mendapat otoritas (available
for use only by authorized parties). Contoh public property ini adalah: basis militer dan pemadam kebakaran (fire station).[3]
Dalam
konteks public utility, public goods sebagai public utility mencakup industri-industri dengan
rentang yang luas, seperti listrik, air, telekomunikasi, TV kabel, rel kereta. Industri-industri
tersebut memiliki karakteristik yang sama. Public
utility secara historis telah diatur (regulated)
atau dimiliki Pemerintah (government
owned). Industri-industri tersebut berbagi dalam struktur jaringan umum,
sehingga mereka memiliki sistem jaringan distribusi, pipa, rute yang memerlukan
penggunaan daerah milik jalan (publics
rights of way) yang luas, sering juga dengan sambungan fisik antara bagian
komponen. Dalam kasus
tertentu, seperti perusahaan penerbangan, Pemerintah memiliki sebagian dari
infrastruktur. Public utility ciri
khasnya memiliki “substantial sunk costs”[4] karena kebutuhan perluasan infrastruktur.
Secara historis, utilitas yang dimiliki swasta, memiliki regulasi untuk
“rate-of-return”. Dibeberapa wilayah, utilitas adalah milik Pemerintah. Dalam
hampir semua kasus, utilitas diberi hak monopoli secara legal atas jasanya.
Akibat pengaruh liberal, utilitas kemudian diatur (regulatory reform) dengan tujuan untuk meningkatkan kompetisi dan
efektifitas.[5]
[1] Whitfield, Dexter. Public Services or Corporate Welfare –
Rethinking the Nation State in the Global Economy (London: Pluto Press, 2001), 19. Dexter
menjelaskan bahwa ketentuan-ketentuan public
goods adalah kunci bagi landasan sosial dan ekonomi bagi Negara. Namun hal
ini selalu digambarkan dalam pengertian yang sempit dari kegagalan pasar,
sebagai contoh adalah Negara menjalankan fungsi-fungsinya (dalam penyediaan public goods) dimana pasar tidak dapat
atau tidak akan menyediakan.
[2] Ibid., 21. Dexter menjelaskan pandangan birokrasi dalam melihat public goods yang dipengaruhi oleh
“Public Choice Theory” yang berakar di Amerika serikat dan didefinisikan
sebagai: … the economic study of
non-market decision-making, or simply the application of economic to political
science: the theory of the state, voting rules, voter behaviour, party
politics, the bureaucracy, and so on. The methodology of public choice is that
of economics, however. The basic behavioural postulate of public choice, as for
economics, is that man is an egoistic, rational, utility maximiser (Mueller,
1989, 1-2).
[3] Shavell, Steven. Foundation
of Economic Analysis of Law (Cambridge: The
Belknap Press of Harvard
University Press, 2004),
110-111. Shavell menjelaskan dasar mengapa public property disediakan secara cuma-cuma adalah bahwa
sektor swasta tidak dapat mengambil keuntungan secara cukup dalam menyediakan
properti tertentu dimana secara sosial diinginkan, atau sektor swasta akan
memasang harga yang terlalu tinggi dan tidak ingin mengecilkan penggunaannya.
[4] Swerdlow, Irving. The Public Administration Of Economic
Development (New York:
Praeger Publishers, Inc., 1975), 267.
Menurut Swerdlow: “Sunk Costs are
costs that have already been incurred for future benefits. In a sense, all
expenditures on capital formation are sunk costs, as are expenditures for
training of personnel and for the development of institutions”.
[5] Geddes, Rick. “Public
Utilities”, dalam Bouckaert, Boudewijn and De Geest, Gerrit, eds. Encyclopedia of Law and Economics,
Volume III. The Regulation of Contracts (Cheltenham:
Edward Elgar, 2000), 1162-1163.
sangat bermanfaat dan membantu saya membuat karya tuluis...terima kasih
BalasHapusSama-sama, semoga sukses dalam memahami infrastruktur di Indonesia.
Hapus