Di banyak negara-negara sedang sedang
berkembang (developing countries) dan
negara industri (industrialized countries),
jasa-jasa infrastruktur secara tradisional telah disediakan oleh badan-badan
usaha milik Pemerintah (government
enterprises) yang dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
disebutkan sebagai BUMN, akan tetapi di negara-negara sedang berkembang, paling
tidak, badan-badan usaha milik Pemerintah tersebut terbukti tidak efisien,
tidak dapat menyediakan kebutuhan-kebutuhan investasi yang banyak, dan
melakukan manipulasi untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Kenyataanya, banyak
kajian telah memperlihatkan dalam 30 tahun, perusahaan-perusahaan swasta di
negara-negara sedang berkembang telah, dengan rata-rata, memberikan kinerja
yang lebih baik dan kebutuhan-kebutuhan investasi.[1]
Badan-badan usaha milik Pemerintah
merupakan suatu perusahaan publik (public
enterprise).[2] Perusahaan
publik tersebut dimiliki Negara, yang merupakan wakil rakyat (on behalf of the citizenry). Dapat
disamakan dengan perusahaan-perusahaan swasta dalam setiap hal, selain dari hal
para pemegang saham swasta. Dia menggunakan inputs
untuk menghasilkan outputs, dan dia
menjaga secara keseluruhan akan akun biaya-biaya, pendapatan-pendapatan, dan
keuntungan. Namun meskipun
keduanya berjalan secara paralel, perusahaan publik tidak
perlu memaksimalkan keuntungannya sebagaimana perusahaan
swasta. Ada
tujuan-tujuan lain yang harus dikejar, dengan demikian kinerja ekonominya
sangat berbeda dengan perusahaan swasta.[3]
Ciri khas suatu perusahaan publik adalah adanya
elemen sosial dalam memberikan jasa layanan dalam bentuk barang atau jasa (goods) kepada masyarakat. Dia terlepas
dari tujuan komersial dalam menghasilkan jasa layanan secara efisien dan
menjual jasa layanan tersebut pada harga yang sesuai dengan kondisi-kondisi
biaya dan permintaan. Sebagai contoh sebuah bis angkutan lokal diharuskan
menyediakan jasa layanan yang dapat diandalkan di seluruh wilayah kota, namun pada suatu
perencanaan yang lebih luas, jalur bis komersial secara seksama dapat juga
memberikan jasa layanannya.[4]
Dalam
konteks organisasi industrial, perusahaan
publik yang merupakan badan-badan usaha milik Pemerintah merupakan suatu perusahaan
yang secara konvensional menjadi memonopoli pasar (natural monopoly) atas public
goods. Dalam pasar, monopoli dan kompetisi adalah dua kondisi pasar yang
bertentangan. Namun kompetisi dan monopoli tidak secara sederhana bertolak
belakang. Dalam pasar ada tingkat dan variasi-variasi pasar.[5]
Pada saat kompetisi berjalan efektif, dia akan membawa kegiatan usaha menjadi
efisien, inovatif, dan kaya akan peluang-peluang. Kekuasaan monopoli biasanya
mengurangi efisiensi, mengurangi inovasi, mengurangi pengalihan kesejahteraan
dari masyarakat biasa kepada masyarakat yang lebih sejahtera, dan mengurangi
kebebasan memilih.[6]
Listrik
(yang termasuk public goods) adalah
kasus klasik natural monopoly yang
berada dibawah regulasi publik (public
regulation). Jasa Pos Amerika serikat adalah public enterprise yang juga diatur (regulated). Dalam kasus-kasus regulasi tersebut, kompetisi tidak
efisien. Sebagai gantinya, masyarakat membiarkan pemasok memiliki monopoli dan
kemudian diatur harganya (regulates its
prices). Pemasok boleh juga berada dalam pemilikan publik. Kebaikan
regulasi adalah menerapkan kontrol, secara cepat dan tajam dan secara fair. Terdapat
dua tugas ekonomi dalam konteks regulasi, pertama,
menetapkan tingkat harga sehingga perusahaan tidak menghasilkan ekses
keuntungan dan mengeksploitasi pelanggan. Kedua,
menetapkan struktur harga diantara berbagai variasi pelanggan sehingga adil dan
masuk akal (just and reasonable).[7]
Tahun
1975-1985 dapat disebut sebagai dekade deregulasi (terhadap public goods). Kontrol dipindahkan dari
industri-industri, termasuk perusahaan penerbangan, bank-bank, perusahaan truk,
rel kereta, bis-bis, penyiaran, sistem telepon, dan stockbrokers. Berbagai perubahan yang tajam telah dibuat untuk
kekacauan mengenai apa yang telah dilakukan dan seberapa besar manfaatnya. Pada
kenyataannya, deregulasi telah digunakan untuk menunjukkan betapa banyaknya
perubahan-perubahan yang dalam arti sebenarnya adalah tidak pasti. Definisi
yang paling jelas dari deregulasi adalah mengganti kontrol Pemerintah dengan
kompetisi yang efektif. Apabila pergerakan deregulasi ini berlanjut, maka dapat
berakibat melucuti kontrol terhadap harga.[8]
Public goods tidak terlepas dari
subsidi, yang merupakan pembayaran oleh publik atas public goods yang berasal dari pendapatan pajak Pemerintah. Subsidi
dapat beragam jumlahnya, berkisar dari 100 persen sampai zero. Sekolah umum
disubsidi secara total dari pajak, sementara pasokan air dibayar oleh pengguna.
Kebanyakan universitas umum adalah diantara keduanya, didukung sebagian oleh subsidi Pemerintah dan sebagian oleh
pembayaran dari mahasiswa. Subsidi seharusnya disesuaikan secara tepat kepada
elemen sosial dari perusahaan publik. Sebagian kecil masyarakat memerlukan
sedikit atau tidak perlu subsidi, sementara elemen sosial yang besar memerlukan
subsidi total. Total subsidi berarti bahwa pengguna langsung public goods tidak perlu bayar, pembayar
pajaklah yang membayarnya.[9]
[1] Guasch,
1-2. Dijelaskan juga oleh Guasch mengapa masalah tersebut terjadi: pertama, perusahaan-perusahaan swasta
dikendalikan oleh keingan akan keuntungan dan mendapatkan pengetahuan manajemen
profesional, prosedur pengoperasian, dan penggunaan teknologi yang sesuai yang
lebih banyak, kedua, partisipasi
swasta dalam infrastruktur juga telah dikendalikan oleh kebutuhan mendesak
untuk investasi yang lebih besar. Reformasi untuk memperbaiki dan memperluas
jasa-jasa infrastruktur telah juga didorong oleh realisasi di negara-negara
sedang berkembang dimana tingkat dan
kualitasnya memiliki dampak yang besar dalam pertumbuhan ekonomi dan
pengurangan kemiskinan, dan, tingkat dan kualitas tersebut saat ini adalah
tidak cukup. Jasa-jasa infrastruktur secara kritis adalah untuk menghasilkan
dan menentukan barang dan jasa dan secara signifikan mempengaruhi produktifitas
ekonomi, biaya-biaya, dan persaingan. Kebijakan-kebijakan atas ketentuan
jasa-jasa infrastruktur bergema keseluruh ekonomi, dan jasa-jasa yang sangat
jelek selalu membatasi persaingan di pasar-pasar yang lain.
[2] Kesari, U.P.D., and Kesari, Aditya. Lectures On Administrative Law, seventeenth edition (Allahabad: Central Law
Publication, 2008), 498-499. Prof
Wade menyebutkan: “The public corporation is a hybrid organism,
showing some of the features of a Government department and some of the
features of a business company, and standing outside the ordinary framework of
Central or Local Government”. Sedangkan
Garner menyebutkan: “The modern public corporation
is a compromise between nationalization and private enterprise; the institution
is essentially an instrument devised of administering some particular
enterprise in the public interest”.
[3] Shepherd, William G. The
Economics of Industrial Organization.
Third Edition (New Jersey:
Prentice Hall, 1990), 512-513.
[4] Ibid. Disebutkan juga oleh Shepherd, istilah elemen sosial masih
menjadi perdebatan baik dalam konteks sifat maupun cakupannya. Sebagai contoh
apa yang merupakan elemen sosial dari jasa pos, apakah harus adanya pengiriman
pos setiap hari termasuk hari Sabtu (Shepard, 513).
[5] Ibid. , 14. Tingkat dan variasi pasar:
1. Pure monopoly: one firm has
100 percent of the market (electric, telephone, water, bus, and other
utilities).
2. Dominant firm: one firm has
50-100 percent of the market and no close rival (soup-Campbell, razor
blades-Gillette, newspapers-most local markets, film-Eastman Kodak,
aircraft-Boing).
3. Tight oligopoly: the
leading four firms, combined, have 60-100 percent of the market; collusion
among them to fix prices is relatively easy (cooper, aluminium, local banking,
lightbulbs, soaps, textbook stores, breakfast cereals).
4. Loose oligopoly: the
leading four firms, combined, have 40 percent or less of the market; collusion
among them to fix prices is virtually impossible (lumber, furniture, small
machinery, hardware, magazines).
5. Monopolistic competition:
there are many effective competitors, none has more 10 percent of the market
(most retailing, clothing).
6. Pure competition: there are
over 50 percent competitors, all with negligible market shares (wheat, corn,
cattle, hogs, poultry).
[6] Ibid., 1.
[7] Ibid., 491-492. Tradisi awal hanya public utilities yang harus diregulasi seperti “economic
infrastructure”: rel kereta, tenaga listrik, air, dan limbah. Standar ini
kemudian berkembang lebih luas (in 1877 by the Munn v. Illinois decision, 94 U.S. 113) dimana setiap usaha yang berdampak pada kepentingan publik
(“affected with the public interest”) dapat diregulasi. Bahkan regulasi dapat
diterapkan pada setiap pasar yang sebenarnya (in 1934, Nebbia v. New York,
291 U.S.
502)
[8] Ibid., 505.
[9] Ibid., 513.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar