Di Indonesia, konsep kerjasama Pemerintah dan swasta (KPS), dalam
pembangunan infrastruktur, dipilih sebagai alternatif oleh Pemerintah sejak
pembangunan infrastruktur mulai agak tersendat karena datangnya krisis moneter.
Kondisi moneter dalam negeri yang saat itu tidak stabil mengakibatkan terjadi
larinya modal ke luar negeri (capital
flight). Pada saat kondisi Indonesia semakin terpuruk karena krisis,
Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998 Tentang
Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan/atau
Pengelolaan Infrastruktur (Keppres No.7/1998). Namun, upaya ini tidak
membuahkan hasil.[1]
Pada tahun 1998 perekonomian Indonesia
terperosok ke titik terdalam. Pengalaman dunia internasional menunjukkan bahwa
ketika suatu negara terkena krisis ekonomi maka alokasi untuk infrastruktur
merupakan hal pertama yang dikorbankan. Kebijakan Pemerintah yang dibidani oleh
International Monetary Fund (IMF)
menjadikan pengembangan infrastruktur seakan jalan di tempat (stagnan). Perhatian utama terfokus pada pembenahan kebijakan
moneter melalui restrukturisasi perbankan.[2]
Pada tahun 2005, Pemerintah, mulai serius
untuk menerapkan konsep KPS. Diawali dengan diselenggarakannya Indonesia Infrastructure Summit I pada
pertengahan Januari 2005 (IIS I 2005). Saat itu, ada 91 proyek yang ditawarkan
Pemerintah kepada investor untuk menjadi proyek KPS.[3] Namun, dalam penerapan konsep KPS
tersebut, banyak kendala-kendala dalam pelaksanaannya. Sebagai salah satu
contoh adalah kendala dalam pengadaan tanah.[4]
Untuk mengawal proyek-proyek tersebut
supaya layak dikerjasamakan membutuhkan kerja yang sangat keras Pemerintah.
Banyak hal yang harus diperbaiki atau dibentuk. Untuk lebih memfasilitasi
partisipasi swasta dalam infrastruktur sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 5
Tahun 2008 Tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009 (Inpres No. 5/2008),
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengumumkan daftar
proyek-proyek yang akan dibangun dengan skema KPS. Usaha ini adalah bagian dari
komitmen Pemerintah untuk transparansi dan partisipasi aktif terhadap para
pemangku kepentingan (stakeholders)
dalam rangka implemantasi rencana pembangunan.[5]
Dalam sektor infrastruktur jalan tol,[6] dengan telah diselesaikannya
penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait pembangunan jalan tol pada
kurun waktu 2004-2009, percepatan pembangunan jalan tol ke depan akan lebih
memiliki landasan peraturan dan kelembagaan yang jelas dan kuat. Proses
memenuhi target politik untuk membangun jalan tol sepanjang sekitar 1.600 Km
yang tidak terpenuhi telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi
pembangunan jalan tol ke depan. Beberapa faktor yang menjadi kendala antara
lain: ketersediaan tanah, kelembagaan dan prosedur Badan Layanan Umum (BLU),
hambatan pelaksanaan di lapangan, kemampuan pendanaan badan usaha terutama
dikaitkan dengan melambungnya harga pengadaan tanah, dan sebagian ruas jalan
tol ternyata dijumpai layak secara ekonomi namun belum layak secara finansial.[7]
Secara makro, Bank Dunia dalam
laporan ”Prospek Ekonomi Global 2010”
masih mengingatkan bahwa krisis ekonomi dunia belum berakhir dan pemulihannya
pun masih terlihat rentan. Negara-negara miskin akan merasakan pertumbuhan
ekonomi yang jauh lebih rendah selama lebih dari lima tahun. Negara-negara
sedang berkembang akan menghadapi lemahnya ekspansi ekonomi dan menderita
akibat kesulitan mendapatkan dana. Oleh karena itu, negara-negara sedang berkembang
sangat rentan dalam ketidakstabilan pada lima hingga tujuh tahun ke depan.[8]
Di negara-negara Asia-Pasific, dalam
konteks KPS, pemerintahan menghadapi sejumlah hambatan yang merintangi progres
KPS dalam pembangunan infrastruktur. Ada 6 hambatan secara umum yang dihadapi
negara-negara Asia-Pasific dalam KPS sebagaimana yang digambarkan Noeleen
Heyzer, yaitu:[9]
a. Kurangnya perhatian dan pemahaman diantara
para pejabat Pemerintah mengenai KPS (lack
of awareness about PPPs among government officials).
b. Kurangnya usaha yang langsung terhadap
kapasitas membangun baik disektor publik dan sektor swasta (it is essential that more efforts are
directed towards addressing capacity building in both the public and private
sector).
c. Kurangnya kerangka kerja regulasi dan administratif
untuk menjamin lingkungan kondusif KPS (lack
of administrative and regulatory frameworks to ensure an environtment condicive
to PPPs).
d. Kontrak-kontrak KPS kebanyakan dirancang
berdasarkan kerja tim atau pantia (PPP
contracts are mostly draftted on an ad hoc basis).
e. Proses dan prosedur identifikasi, pembanguan,
pengadaan, pelaksanaan, pengoperasian, dan manajemen kontrak tidak jelas
didefinisikan dan tidak memiliki skedul yang pasti bagi pihak-pihak terkait (the processes and procedures for project
identification, development, procurement, implementation, operation, and
contract management need to be clearly defined and have timelines that are
adhere to by the relevant parties).
f. Pada tingkat kebijakan, kerjasama antara
Pemerintah dan swasta masih belum saling asuh atau memelihara (at the policy level, partnership between
government and private inverstor still needs to be nurtured).
Pada sekitar tahun 2006, penambahan ruas jalan
tol di Indonesia
telah menjadi kebutuhan yang mendesak. Pemerintah berkeinginan untuk
mempercepat pembangunan jalan tol untuk mewujudkan sistem trasnportasi yang
efisien dan mempercepat pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan menurunkan
tingkat kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah merencanakan
untuk membangun 1.600 Km jalan tol baru dalam periode sampai dengan tahun 2009,
dimana sepanjang 763 Km merupakan jalan tol “Trans Jawa”.[10]
Jalan tol Trans Jawa merupakan suatu jaringan jalan tol yang direncanakan
Pemerintah sampai tahun 2014 di koridor pembangunan ekonomi bagian utara Jawa
yang secara ekonomi sangat signifikan. Sebagai wilayah ekonomi yang sangat
berkembang, sektor swasta diharapkan memberikan kontribusi untuk membangun
infrastruktur di koridor pembangunan bagian utara Jawa. Koridor tersebut menghubungkan
pusat-pusat manufaktur utama di Jawa yang akan meningkatkan efisiensi melalui
hubungan jaringan jalan tol. Ruas-ruas baru jalan tol Trans Jawa akan
melanjutkan ruas jalan tol Merak – Cikampek, 7 ruas dari 10 ruas menghubungkan
Cikampek ke Surabaya telah memiliki pemegang konsesi, satu ruas baru mulai
dioperasikan, 2 ruas telah selesai ditenderkan dan akan menandatangani
Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT), sebagian pemegang konsesi telah mulai
membangun sedangkan sebagian lainnya belum mulai membangun.[11]
Pembangunan jalan tol sebagai bagian dari
jaringan jalan nasional dimaksudkan untuk mempercepat perwujudan jaringan jalan
bebas hambatan. Pemerintah setiap 5 tahun sekali menetapkan kebijakan dan
program pembanguan jalan tol dengan mengacu kepada pembangunan ekonomi dan
pengembangan wilayah, sistem transportasi nasional dan kebijakan nasional
sektor lain.[12]
Pemerintah menetapkan pengembangan jaringan
jalan tol sebagai bagian yang terintegrasi dari rencana pengembangan jaringan
jalan nasional secara umum. Meskipun demikian, Pemerintah memberikan kesempatan
lebih luas lagi bagi badan usaha untuk mengajukan proyek prakarsa, yaitu proyek
diluar yang diprogramkan Pemerintah.[13]
(Dr. Iwan Erar Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn)
[1] http://www.fiscal.depkeu.go.id/webbkf/kajian/artikel_PPP_prap.pdf.
12/06/2008 11:47. Praptono Djunaedi, “Implementasi Public-Private Partnership dan Dampaknya ke APBN”. Dalam tulisannya,
Praptono Djunaedi mencoba memberikan pengertian dari KPS atau yang merupakan
terjemahan dari Public Private
Partnership (PPP)dengan mengutip pendapat William J. Parente dari USAID Environmental Services Program, yang
mendefinisikan PPP tersebut sebagai:“an
agreement or contract, between a public entity and a private party, under
which: (a) private party undertakes government function for specified period of
time, (b) the private party receives compensation for performing the function,
directly or indirectly, (c) the private party is liable for the risks arising
from performing the function and, (d) the public facilities, land or other
resources may be transferred or made available to the private party”. Keppres
No.7/1998 ini telah beberapa kali direvisi, pertama dengan Peraturan Presiden
Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dan Badan Usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur, tanggal 9 November 2005 (Perpres No. 67/2005), dan
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha
Swasta Dalam Penyediaan Infrastruktur, tanggal 28 Januari 2010 (Perpres No.
13/2010).
[2] Suyono Dikun, ed., Infrastruktur Indonesia – Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis
(Jakarta:
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, 2003), 7-10. Pada awal terjadinya krisis, Pemerintah
mengambil kebijakan stabilisasi dan reformasi ekonomi yang dituangkan dalam Memorandum of Economic and Financial
Policies (MEFP) bersama International Monetary Fund
(IMF), 5. Krisis ekonomi kemudian menempatkan infrastruktur pada posisi
dilematis. Di satu sisi, infrastruktur dituntut untuk mampu menunjang dinamika
ekonomi yang efisien sehingga tidak terjadi economic
losses, namun di sisi lain infrastruktur tersisih dari kebijakan alur utama
(the mainstream of macro sectors)
yaitu prioritas tertinggi diletakkan pada sektor moneter dan perbankan,
sementara sektor riil dan sektor infrastruktur dianggap sebagai derivasi kedua
dan ketiga dari ekonomi makro. Infrastruktur merupakan roda penggerak
pertumbuhan ekonomi. Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan
infrastruktur dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) ternyata mempunyai
hubungan yang erat. Elastisitas PDB terhadap infrastruktur – perubahan
persentase pertumbuhan PDB per kapita sebagai akibat dari naiknya satu persen
ketersediaan infrastruktur – diberbagai negara bervariasi antara 0.07 sampai
0.44 mengutip World Bank, 1994.
[3] Iwan Erar Joesoef, Perjanjian
Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) Sebagai Kontrak Bisnis Berdimensi Publik Antara
Pemerintah Dengan Swasta (Investor) Dalam Proyek Infrastruktur (Jakarta: BP-FHUI, 2006),
84. Pada Indonesia Infrastructure Summit
II (Indonesia Infrastructure
Conference & Exhibition 2006) di Jakarta, 1-3 November 2006, Pemerintah menawarkan 10 model proyek
senilai US$ 4,4 miliar dan mempersiapkan 101 proyek potensial lain senilai US$
14,7 miliar, lihat Berita Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, Rabu, 1
November 2006 di website http:www.pu.go.id.
[4] Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia.
”Memori Akhir Tugas Menteri Pekerjaan Umum – Kabinet Indonesia Bersatu
2004-2009”, (tanpa tahun), 146-149. Dalam buku laporan
Menteri tersebut disebutkan bahwa dalam era reformasi membuat masyarakat
semakin terbuka dalam berbagai segi kehidupan, maka dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan infrastruktur tidak dapat lagi didekati semata-mata
oleh pendekatan kekuasaan. Kendala pengadaan tanah terhambat oleh pelaksanaan
di lapangan seperti kenaikan harga tanah yang melebihi perkiaraan biaya tanah
yang telah ditetapkan Pemerintah yang mempengaruhi kelayakan investasi dan juga
dihambat oleh pendanaan untuk pengadaan tanah.
[5] State Ministry of National
Development Planning/ National Development Planning Agency – Bappenas. “PPP Book: Public – Private Partnerships,
Infrastructure Projects in Indonesia,
Republic of Indonesia”. (Jakarta: Bappenas 2009). Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Rencana Pembangunan Nasional
(UU No. 25/ 2004), PPP Book tersebut
adalah rencana pemerintah. Dia merupakan signal bagi pasar (market) mengenai dukungan finansial yang
dibutuhkan dari sektor swasta untuk melaksanakan rencana pembangunan
infrastruktur. PPP Book adalah
sebagai dasar untuk meningkatkan KPS di Indonesia bagi pemerintahan yang baik
dan percepatan hasil-hasil pembangunan. Pemerintah kemudian melakukan terobosan
baru pada tahun 2011 dengan melakukan
peluruncuran Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia
(MP3EI) 2011-2025 di JHCC, Senayan Jakarta oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, pada Jum’at, 27 Mei 2011. MP3EI dirumuskan dengan semangat “Business
as Not Usual” dan telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden
Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan Dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025
(http://www.ekon.go.id/news/2011/05/27/peluncuran-masterplan-percepatan-dan-perluasan-pembangunan-ekonomi-indonesia,
tanggal
11 Juni 2011).
[6] Manfaat pembangunan jalan tol, adalah: (a)
bagi Pemerintah: menghemat APBN, mengurangi biaya pemeliharaan, meningkatkan
aksebilitas, mendorong pengembangan wilayah, mendorong pertumbuhan ekonomi,
efek multiplier, (b) bagi perbankan: menyerap pinjaman perbankan, pinjaman
dapat dimanfaatkan untuk sektor produktif, (c) bagi badan usaha: pengembalian
investasi, peluang usaha bagi badan usaha lain (kontraktor, supplier, industri,
dll), (d) bagi pengguna masyarakat: waktu dan biaya transportasi lebih rendah,
pelayanan lebih baik, lapangan kerja meningkat (Lihat: Manurung, Nurdin. “Pengaturan/ Pengelolaan
Program Jalan Tol di Indonesia”, disampaikan pada Learning & Sharing
Session IAMPI ke XXVIII, 23 Juli 2009, Jakarta.
[7] Departemen Pekerjaan Umum, ”Memori Akhir Tugas
Menteri”, 155.
[8] Kompas, Sabtu tanggal 13 Februari 2010,
“Ekonomi 2010 Versi Bank Dunia”, halaman 10, kolom 1-3. Dalam kondisi yang
disebut Bank Dunia, Pemerintah Indonesia menyelenggarakan Asia Pasific Ministrial Conference on Public Private Partnership for
Infrastructure yang dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di JI-EXPO
Kemayoran Jakarta pada tanggal 15 April 2010 (lihat Koran Kontan, Jumat 16
April 2010, 2 kolom 4-7 ”Sepuluh Investor Tertarik Proyek PPP”) dimana
Pemerintah menawarkan 100 proyek bernilai total US $ 500 miliar yang masuk
dalam PPP Book 2010-2014 yang
dikeluarkan oleh Bappenas.
[9] Noeleen Heyzer, under-Secretary-General
of the United Nations and Executive Secretary of the Economic and Social
Commission for Asia and the Pacific, “Breaking down the barriers to PPPs in
infrastructure development”, (dalam pidato pembukaan Asia Pacific Ministerial Conference (APMC) on Public Private Partnership (PPP) for Infrastructure Development 2010), Jakarta, 14-17 April 2010.
Kesimpulan yang coba Penulis sampaikan dari pandangan Noeleen Heyzer tersebut
adalah: (1) kurangnya pemahaman para pejabat Pemerintahan atas manajemen
risiko, perjanjian konsesi dan berbagi kewajiban, (2) atas kurangnya pemahaman
tersebut diperlukan program pelatihan dari publik dan swasta, (3) diperlukan
juga struktur pengaturan yang baik dan panduan operasioal yang rinci, (4)
diperlukan juga model standar kontrak konsesi dan model dokumen yang memberi pemahaman
yang sama bagi para pihak dalam merancang kontrak, (5) diperlukan kejelasan
standarisasi elemen-elemen disemua proses, dan (6) perlu dialog antara
Pemerintah dan swasta.
[10] Departemen Pekerjaan
Umum, Badan Pengatur Jalan Tol (2006). ”Peluang Investasi Jalan Tol di
Indonesia”, 6 dan 13.
-
(A) Trans Java Toll Road:
13 Toll Roads Links – 763,24 Km – Rp43,31 triliun.
-
(B) Trans Java Toll Road:
19 Toll Roads Links – 335,84 Km – Rp37,32 triliun.
-
Total (A) + (B) = 32 Toll Roads Links – 1.099,08 Km – Rp80,63 triliun.
[11] Dardak, Hermanto. Vice Minister of Public Works, “Trans Java Toll Road – PPP Project
Addressing Bottlenecks in the Economic Corridor of Northern Java to Expedite
National Economic Growth”, (dalam Asia Pacific Ministerial Conference 2010, Infrastructure Asia 2010, Jakarta
14-17 April 2010).
[12] Departemen Pekerjaan
Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga (tanpa tahun). ”Jaringan Jalan Nasional di
Indonesia 2008”, 117.
[13] Ibid. Pemerintah merencanakan pengembangan
jaringan jalan tol sepanjang 2.411,61 Km yang tersebar di pulau Sumatera, pulau
Batam, pulau Jawa, pulau Bali, dan pulau Sulawesi.
Pak Iwan Yth, bisakah saya mendapatkan makalah berkaitan dengan tulisan Bapak di atas?
BalasHapusPerlu di tambahkan succes story dan unsucces story terkait denga PPP/ KPBU , di beberapa negara ,, supaya sebagai pengingat karena di Indonesia sedang gencar2 nya menerapkan pola pola PPP/KPBU...
BalasHapus