Di Indonesia, jenis proyek infrastruktur yang
akan dan dapat dikerjasamakan dengan investor diatur dalam Perpres No. 67/2005,
meliputi:[1]
1.
Infrastruktur
transportasi, meliputi pelayanan jasa kebandarudaraan, penyediaan dan/ atau
pelayanan jasa kepelabuhanan, sarana dan prasarana perkeretaapian;
2.
Infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol;
3.
Infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air
baku;
4. Infrastruktur
air minum, meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan
distribusi, instalasi pengelolaan air minum;
5.
Infrastruktur
air limbah, meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan
jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat
pembuangan;
6. Infrastruktur
telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan telekomunikasi dan
infrastruktur e-governemnt;
7. Infrastruktur
ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk pengembangan tenaga listrik
yang berasal dari panas bumi, transmisi, atau distribusi tenaga listrik; dan
8.
Infrastruktur
minyak dan gas bumi, meliputi transmisi dan/ atau distribusi minyak dan gas
bumi.
Kondisi infrastruktur di Indonesia
menempati peringkat ke-86 dari 143 negara. Pada tahun sebelumnya, peringkat
Indonesia hanya nomor 91 dari 131 negara. Kendati agak membaik, Indonesia masih
merupakan negara yang paling tertinggal dibandingkan negara-negara lain di Asia
Tenggara dalam hal ketersediaan infrastruktur. Infrastruktur penting dibangun
karena kehidupan masyarakat tidak dapat terlepas dari kebutuhan infrastruktur
yang memadai.[2]
Infrastruktur merupakan fasilitas fisik
beserta layanannya, yang diadakan untuk mendukung bekerjanya sistem
sosial-ekonomi, agar menjadi lebih berfungsi bagi usaha memenuhi kebutuhan
dasar dan memecahkan berbagai masalah. Dari dimensi ekonomi, infrastruktur
mencakup infrastruktur transportasi (jalan, rel, pelabuhan, bandara);
infrastruktur ekonomi (bank, pasar, mal, pertokoan); infrastruktur pertanian
(irigasi, bendungan, pintu-pintu pengambilan, dan distribusi air irigasi);
serta infrastruktur sosial (bangunan ibadah, balai pertemuan, dan pelayanan
masyarakat); infrastruktur kesehatan (pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit,
balai pengobatan); infrastruktur energi (pembangkit listrik, jaringan listrik);
dan infrastruktur telekomunikasi (jaringan telepon).[3]
Secara tradisional, infrastruktur ekonomi
direncanakan, dibangun, dioperasikan, dan dipelihara oleh Pemerintah. Persepsi
ini didorong oleh konsep bahwa infrastruktur ekonomi merupakan barang publik (public goods),[4] yaitu adanya konsumsi oleh satu pihak
tidak mengurangi konsumsi pihak lainnya, serta semua orang mempunyai akses dan
hak yang sama untuk menggunakan infrastruktur, tanpa harus membayar. Oleh
karena itu, Pemerintah menjamin pengadaannya dalam tugasnya melancarkan
perekonomian negara, memudahkan pergerakan masyarakat, serta melindungi
kepentingan dan keselamatan rakyat banyak. Contoh dari barang publik yang
dibangun oleh Pemerintah adalah jaringan jalan dan jembatan, jaringan jalan
kereta api, serta jaringan primer dan sekunder. Dengan karakteristik seperti
itu, penyelenggaraan infrastruktur secara alamiah dimonopoli oleh sektor publik
(natural monopoly).[5]
Di sisi lain, teori ekonomi juga
menyimpulkan bahwa pasar dimana transaksi terjadi merupakan mekanisme yang
efisien untuk melakukan alokasi sumber daya. Pemahaman tentang konsep pasar dan
harga ini membawa pada perdebatan tentang peran Pemerintah dalam
penyelenggaraan, dan pelayanan infrastruktur di masa kini dan mendatang.
Sebagian sektor infrastruktur seperti telekomunikasi, jalan tol, dermaga
pelabuhan komersial, dan fasilitas sisi darat bandar udara sudah bergerak
menjadi komoditi ekonomi yang komersial dan berubah menjadi barang dan jasa
swasta (private goods).[6] Dalam hal ini jasa infrastruktur sudah
dapat dianggap sebagai komoditi, dan pendekatan pasar dapat ditempuh untuk
meningkatkan efisiensi dan manfaat untuk penggunaannya. Contoh menarik dalam
hal infrastruktur sebagai komoditi adalah swastanisasi sektor jalan sering
diasosiasikan dengan jalan tol.[7]
Kontribusi investor swasta dalam pendanaan
proyek infrastruktur selama 5 tahun terakhir masih belum memuaskan karena dari
total kebutuhan dana US$40 Miliar, hanya 10 % (sepuluh persen) yang dapat
dipenuhi. Dedy S. Priatna, mengungkapkan selama periode 2005-2009, Indonesia
sebenarnya membutuhkan US$65 Miliar untuk mendanai proyek infrastruktur.[8]
Pendanaan pembangunan proyek-proyek
infrastruktur merupakan tanggungjawab Pemerintah. Pengalokasian dana diupayakan
menyesuaikan penyeimbangan pemenuhan kebutuhan fasilitas infrastruktur dengan
laju pertumbuhan penduduk. Akan tetapi, karena Pemerintah tidak mampu memenuhi
seluruh kebutuhan pendanaan karena keterbatasan anggaran Pemerintah dalam
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), diharapkan partisipasi dari
swasta.[9]
(Dr. Iwan Erar Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn)
[1] Pasal 4 ayat (1) Perpres No. 67/2005. Infrastruktur tersebut,
dikerjasamakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku disektor
bersangkutan (Pasal 4 ayat 2). Perpres No. 67/2005 ini kemudian direvisi dengan
Perpres No. 13/2010. Untuk menarik swasta Pemerintah dalam Perpres No. 13/2010
akan memberikan insentif fiskal dan non-fiskal. Dalam insentif non-fiskal
misalnya urusan pembebasan lahan menjadi tanggungjawab Pemerintah dan akan
dilakukan sebelum tender. Sedangkan insentif fiskal yang diberikan Pemerintah
berupa pemotongan dan pembebasan pajak (Lihat harian Kontan, Senin, tanggal 15
Februari 2010, ”Perpres Telah Terbit, Proyek Siap Tender”, 1, kolom 2-5).
[2] Mudrajad Kuncoro, Guru Besar Fakultas
Ekonomi & Bisnis Universitas Gajah Mada, lihat, Seputar Indonesia,
“Akselerasi Infrastruktur”, Rabu, 18 Februari 2009, 1.
[3]http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan018023.pdf. 13/02/2009, 2:24. Paul H. Brietzke,
dalam tulisannya “Economic Law Reform In
Indonesia”, 21 Februari 2000, menjelaskan bahwa Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) menyebutkan: “Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara”. Dengan berperannya swasta dalam pembangunan infrastruktur yang
berdasarkan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, maka paradigma infrastruktur sebagai
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara, menjadi bergerser atau berubah. Hal ini juga
menjadi dilema bagi Pemerintahan Habibie dalam melakukan reformasi hukum
ekonomi yang merupakan permintaan menarik (desakan) dari IMF, ADB dan World
Bank, yang jelas tidak sesuai dengan jiwa Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yang berasaskan kekeluargaan.
[4] Emanuel S. Savas, Privatization
- The Key To Better Government (New
Jersey: Chatham House Publishers, Inc., 1987), 3-4.
Savas menjelaskan bahwa untuk tidak membingungkan apakah perusahaan yang
sahamnya dimiliki publik (perusahaan terbuka) merupakan barang publik yang sama
dengan gedung kantor pemerintahan, maka ada 3 kondisi yang berbeda yang harus
diperhatikan untuk menggambarkan pengertian “publik”: (1) government ownership, (2) widespread
ownership, (3) widespread acces.
[5] Michel Kerf, et al., Concessions for Infrastructure - A Guide to
Their Design and Award, World Bank Technical Paper No. 399, Finance,
Private Sector, and Infrastructure Network (Washington, D.C.:
The International Bank for Reconstruction and Development/ World Bank,
1998), 3-5. Pada saat pasar dapat
dilayani secara efisien oleh beberapa perusahaan, pada saat mereka secara
alamiah berkompetisi (persaingan usaha), maka kompetisi yang luar biasa
tersebut biasanya berjalan baik. Namun pada saat mereka merupakan natural monopoly yang luar biasa, maka
kompetisi (head-to-head competition)
tidak berjalan. Pemberian konsesi dapat digunakan untuk menciptakan kompetisi
(persaingan usaha) di pasar. Infrastruktur yang dipertimbangkan sebagai natural monopoly, dan lebih sesuai
dengan pemberian konsesi adalah: distribusi air, distribusi dan transmisi
energi, distribusi dan transmisi gas, infrastruktur rel kereta api, jalan.
Sedangkan infrastruktur yang secara potensial kompetitif, dan konsesi bukan
solusi bagi infrastruktur tersebut adalah: pembangkit tenaga, produksi gas,
pasokan retail gas dan energi, telekomunikasi, jasa layanan kereta api. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pemberian konsesi adalah cara yang terbaik bagi
industri-industri yang natural monopoly.
[6] Savas, 44. Savas
mengatakan bahwa dalam konsep private
goods, tidak ada masalah dalam hal supply karena pasar menyediakannya,
dimana konsumen memerlukan barang, pengusaha melihat adanya kebutuhan tersebut
lalu memproduksi, dan menjual kepada pembeli untuk memenuhi kebutuhannya dengan
harga yang memuaskan secara bersama (a
mutually satisfactory price).
[7] Dikun, 536 dan 549. Implementasi pendekatan
pasar (market-based approach)
disektor infrastruktur membutuhkan perubahan radikal dari peran Pemerintah.
Dalam koridor ini partisipasi swasta dalam penyelenggaraan dan pelayanan
infrastruktur sudah dapat diwujudkan. Bentuk partisipasi swasta yang paling
mendasar adalah investasi. Pemerintah dapat saja melakukan intervensi dalam
penyelenggaraan infrastruktur yang selama ini sudah dianggap sebagai private goods. Jalan tol adalah contoh
dimana pasar tidak berhasil memasok infrastruktur dan pelayanan yang mampu
melayani kebutuhan pergerakan uang dan barang (lihat: Dikun, 536). Beberapa
pihak bahkan mengatakan bahwa jalan tol adalah private and completely commercial goods, dan oleh karena itu tidak
perlu lagi ada campur tangan Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol.
Persepsi dan praktek bisnis jalan tol selama ini cenderung menopang teori ini.
Jalan tol sebenarnya adalah fenomena skema pembiayaan (financing scheme) dari penyelenggaraan infrastruktur dan pelayanan
jalan yang secara fundamental menjadi kewajiban sektor publik. Swastanisasi dan
partisipasi sektor swasta dalam pembangunan dan penyelenggaraan infrastruktur
sebenarnya merupakan salah satu opsi dalam pembiayaan infrastruktur. Namun
ruang perdebatan masih terbuka untuk infrastruktur yang masih menjadi kewajiban
Pemerintah, dan masih merupakan public
goods seperti jalan, angkutan umum perkotaan, telekomunikasi dan listrik
pedesaan, dan saluran irigasi (lihat: Dikun, 549).
[8] Dedy S. Priatna, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas,
dalam Bisnis Indonesia,
Rabu, 18 Februari 2009, ”Peran Swasta
dalam Proyek Infrastruktur Tak Memuaskan”, hal 2.
[9] Don
Wallace, “Private Participation in
Infrastructure and the Provision of Public Services – Inevitable and Dificult”, Transnational Lawyer 2004, Symposium:
Market in Transition: Reconstruction and Development Part Two-Building Up to a
Drawdown: International Project Finance and Privatization – Expert
Presentations on Lessons to be Learned, 18 Transnat’l Law 117, Copyright © 2004
University of the Pacific, McGeorge School of Law (2004): 118-119. Don Wallace
menjelaskan, kebutuhan pendanaan swasta (private
finance) hampir bersifat universal. Solusinya bisa bervariasi dari suatu
negara ke negara lain, tergantung dari tingkat pembangunan negara tersebut,
yang mana dapat menjadi sesuatu yang berasal dari pemerintahan pusat ke
provinsi. Partisipasi pendanaan
swasta ini berawal dari negara Inggris, kemudian dikembangkan oleh United Nations dan Perancis, sebagaimana
dikatakan oleh Don Wallace: “The British have given us a great deal of this because the British
first nationalized everything, and now they have denationalized, i.e.,
privatized, everything. They have the greatest number of consultants and many
bank, lawyers. Britain
used to call it the ‘PFI’ (Private Finance Initiative) and now they call it
Public/Private Partnership. In the United Nations, we refer to it as privately
financed infrastructure projects. Many of us have also heard the term of ‘BOT’
(Build Operate Transfer), ‘BOO’ (Build Operate Own), or ‘BOOT’(Build Operate
Own and Transfer), or ‘ROT’ (Rehabilitate Own Transfer). In the United Nations,
we also refer to it as concessions. This is a term Americans resisted, but the
French taught us about their concession system. The French system is a little
different and deals that derive from their arrangements are called Concession
Agreements. Partisipasi swasta tersebut kemudian disebutkan sebagai suatu
hal yang tidak dapat dihindarkan namun suatu hal yang sulit (inevitable
but difiicult).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar