Pemerintah dalam pembangunan jalan tol di Indonesia, dalam konteks kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) telah mengeluarkan
kebijakan-kebijakan untuk mendukung risiko-risiko yang timbul dalam membangun
infrastruktur jalan tol (government
support). Sebagai suatu kontrak jangka panjang (long term contract,) dalam pendekatan hukum dan ekonomi disebutkan
bahwa risiko-risiko yang timbul dalam pembangunan jalan tol tersebut disebut sebagai hal-hal yang tidak
terduga (unforeseen contingencies),
dimana Richard A. Posner menyebutnya sebagai kesalahan bersama (mutual mistake),[1]
sedangkan Robert Cooter dan Thomas Ulen
menyebutnya sebagai kesalahan bersama
atas fakta-fakta (mutual mistake about
facts).[2]
Dalam kebijakan Pemerintah untuk mendukung
risiko-risiko tersebut, Pemerintah membaginya dalam tiga kategori risiko,
yaitu, Pertama, risiko politik (political
risk) yaitu risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan/ tindakan/ keputusan
sepihak dari Pemerintah yang secara langsung dan signifikan berdampak pada
kerugian finansial badan usaha, yang meliputi risiko pengambilalihan kepentingan
aset, risiko perubahan peraturan perundang-undangan, dan risiko pembatasan,
konversi mata uang dan larangan repatriasi dana. Kedua, risiko kinerja proyek (project
performance risk) yaitu risiko yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek,
yang antara lain meliputi risiko lokasi dan risiko operasional. Ketiga, risiko permintaan (demand risk) yaitu risiko yang
ditimbulkan akibat lebih rendahnya permintaan atas barang/jasa yang dihasilkan
oleh proyek kerjasama dibandingkan dengan yang diperjanjikan.[3]
Risiko-risiko yang timbul secara tidak
terduga dalam Peraturan Menteri tersebut (unforeseen
contingencies), suatu argumentasi dari Klaus Berger yang dikutip John Y.
Gotanda, menurut Penulis dapat menjadi suatu solusi atau suatu kajian lebih lanjut dalam menyelesaikan
perselisihan atas tanggungjawab pengelolaan risiko yang tidak secara jelas
diatur dalam perjanjian, yaitu perlunya suatu lembaga arbitrase dan renegosiasi
yang harus dicantumkan dalam klausula perjanjian.[4]
Untuk pelaksanaan kebijakan ini, Pemerintah sebelumnya juga telah membentuk
Komite Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur.[5]
Dalam risiko
kenaikan harga tanah dalam investasi jalan tol, Pemerintah saat ini memiliki
dua mekanisme pengadaan tanah yaitu, pertama
dengan cara mematok kenaikan harga tanah (land capping)[6]
dan kedua dengan cara memberikan
fasilitas dana bergulir dari BLU,[7]
untuk mengurangi risiko investor swasta. Dalam mekanisme land capping, Pemerintah
akan menanggung kelebihan harga tanah jika lebih dari 110 persen nilai tanah dalam
rencana bisnis atau 2 persen dari nilai investasi. Dukungan ini hanya diberikan
hingga batas tingkat pengembalian investasi atau internal rate of return (IRR)[8]
finansial atau standar kelayakan finansial.[9]
Penyebab timbulnya
risiko kenaikan harga tanah tersebut adalah nilai tanah yang ditawarkan
Pemerintah pada waktu melakukan pengadaan investasi jalan tol pada investor swasta, dalam pelaksanaannya, setelah
menandatangani PPJT, nilai tanah yang diperkirakan oleh investor jauh diatas
nilai tanah yang ditetapkan Pemerintah. Dalam masalah ini, Bouckaert yang
mengutip George G. Traintis, menyebutkan masalah kenaikan harga tanah tersebut
sebagai adanya suatu informasi yang tidak seimbang antara Pemerintah dan
investor (asymmetric information).[10]
Seharusnya pengadaan
tanah untuk kepentingan infrastruktur merupakan kewajiban Pemerintah. Namun,
karena keterbatasan dana, Pemerintah menyerahkan kepada investor swasta dengan
memperhitungkan biaya pengadaan tanah dalam masa konsesi jalan tol atau masuk
dalam investasi. Kebijakan menambah masa konsesi ini dalam praktik tidak banyak
disukai oleh investor swasta. Penalaran investor swasta adalah bagaimana
mendapatkan pengembalian investasi dan keuntungan dalam waktu singkat.
Perbedaan paradigma investor swasta dan Pemerintah dalam hal ini bisa saja
menjadi masalah dalam KPS. Untuk resiko pelaksanaan pengadaan tanah tersebut,
Pemerintah telah memberikan dukungannya berupa penggunaan dana bergulir BLU.
Transparansi Pemerintah terhadap masterplan jalan maupun jumlah traffic atau lalu-lintas harian (LHR)
serta nilai tanah yang ditawarkan dalam dokumen pengadaan investasi jalan tol
juga sangat berpengaruh terhadap perhitungan investasi oleh investor swasta
dalam rencana usaha (business plan).
Perubahan masterplan jalan dan tidak
akuratnya nilai tanah dan LHR menyebabkan meningkatnya nilai konstruksi dan
tanah serta tidak tercapainya pendapatan yang diharapkan (revenue) dari LHR yang tidak sesuai rencana usaha. Hal ini dapat
dilihat dari kasus PT Citra Margatama Surabaya (CMS).[11]
Akibat dari hal ini CMS tidak mampu menutupi pengembalian pinjaman bank (construction loan) dari pendapatan yang
diharapkan karena tidak tercapainya LHR yang diharapkan sebagaimana rencana
usaha.[12]
Untuk kasus ini CMS melakukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Sementara (PKPU) ke Pengadilan Negeri Surabaya dalam perkara PKPU No.
01/PKPU/2009/PN-Niaga Surabaya pada tanggal 29 Januari 2009.[13]
Dalam hal ini, bagaimana Pemerintah
merealisasikan dukungannya dalam kebijakan-kebijakan yang akan dan telah
dikeluarkan sendiri dalam UU No. 38/2004 dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
15 Tahun 2005 Tentang Jalan Tol (PP No. 15/2005), maupun dalam PPJT,[14]
serta kebijakan-kebijakan pendukung lainnya. Khususnya dalam penelitian ini
adalah bagaimana implementasi regulasi hukumnya berdasarkan konsep KPS.[15]
Dukungan
Pemerintah tersebut berdasarkan kebijakan Pemerintah, adalah melalui suatu
Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI) yang dibentuk
Pemerintah dengan suatu Peraturan Presiden Republik Indonesia (PP).[16] Dalam hal ini, akan dijabarkan bagaimana
regulasi hukum realisasi kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur
tersebut oleh Pemerintah sendiri dalam mendukung penerapan konsep KPS khususnya
untuk pengusahaan jalan tol oleh badan usaha. BPJT sendiri terlah berusaha
mengidentifikasi masalah-masalah dalam industri jalan tol. Dalam Laporan BPJT
“Pengembangan Jalan Tol Di Indonesia”,
diidentifikasi permasalahan industri jalan tol adalah:[17]
(a). Biaya pengadaan tanah menjadi beban investor dan waktu pengadaan dan
biaya pengadaan tanah tidak pasti.
(b). Waktu konsesi berkurang (terbuang percuma) akibat dari lamanya
proses pengadaan tanah (ketidak pastian waktu) sehingga menurunkan tingkat
kelayakan finansial.
(c). Berbagai masalah dalam pelaksanaan pengadaan tanah antara lain
faktor: tim P2T, sengketa tanah, aturan-aturan yang multi tafsir, Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang
mendasari pengadaan tanah secara musyawarah.
(d). Kemampuan badan usaha jalan tol dalam menyediakan modal
(ekuitas).
(Dr. Iwan Erar
Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn)
[1] Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, fifth edition
(New York: Aspen Law & Business A Division of Aspen Publishers, Inc, 1998),
114-115. Kasus ”the sale of the cow Rose 2d of Aberlone”
(Sherwood v. Walker, 66 Mich. 568, 33 N.W. 919 (1887). Dalam contoh kasus jual-beli sapi yang dijelaskan Posner, penjual
dan pembeli yakin bahwa sapi tersebut mandul dan harga sudah ditetapkan.
Kenyataannya sapi tersebut hamil dan harga menjadi 10 kali lipat harga yang
disepakati. Kekeliruan
tersebut ditemukan sebelum penyerahan pada pembeli, dan penjual membatalkan
jual-beli. Posner dalam kasus
tersebut menjelaskan: ”The seller had
made a reasonable – indeed, an unavoidable (at reasonable cost) – mistake.
Because the parties had a different understanding of what the contract was,
there was no basis for thinking that enforcing the contract would maximize
value (i.e., that the cow plus calf were worth more to the buyer than to the
seller); unless the seller was careless, there was no reason to “punish” him by
enforcing the contract. Posner kemudian juga menjelaskan dalam suatu
pendekatan lain yang lebih bermanfaat dengan mengamati bahwa: “an unforeseen contingency had occurred and
asking how the parties would have allocated the risk of this occurrence had
they foreseen it”.
[2] Robert Cooter and Thomas Ulen, Law
and Economics, third edition (New
York: Addison-Wesley Longman, Inc, 2000), 270. Cooter
dan Ulen menjelaskan mutual mistake about
facts sebagai: “a contingency that
materializes after the parties sign the contract and makes performance of a
contract pointless. Another possibility is that the contingency materialize
before the parties sign the contract, without them knowing it”.
[3] Peraturan Menteri Keuangan Nomor
38/PMK.01/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian Dan Pengelolaan Risiko
Atas Penyediaan Infrastruktur, tanggal 19 Mei 2006.
[4] John Y. Gotanda, “Renegotiation And Adaptation Clauses In
Investment Contracts Revisited”, Vanderbilt Journal of Transnational Law,
International Commercial Arbitration, A Symposium Sponsored By Vanderbilt
University Law and Business Program and Vanderbilt Journal of Transnational
Law, March 2003, (October, 2003): 1462.
[5] Lihat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 518/KMK.01/2005 Tentang
Pembentukan Komite Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur, tanggal 31
Oktober 2005.
[6] Kementerian PU menerapkan kebijakan land capping melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12
Tahun 2008, sebagai jaminan Pemerintah atas contingent
liabilities pengadaan tanah (lihat Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat
Jenderal Bina Marga (tanpa tahun). Jaringan
Jalan Nasional di Indonesia 2008, 124). Land
capping merupakan biaya yang harus ditanggung Pemerintah karena kenaikan
harga tanah. Menurut konsep ini investor membayar biaya pembebasan tanah hingga
110 persen dari alokasi dana untuk tanah yang telah diperhitungkannya,
sedangkan sisanya dibayar Pemerintah (Lihat Kompas, “IRR Jadi Patokan ‘Landcapping’
Tol, Sabtu tanggal 22 Desember 2007, 18, kolom 2-4).
[7] Untuk mengurangi resiko investasi badan usaha sehubungan dengan
ketidakpastian pelaksanaan pengadaan tanah, Pemerintah memberikan dana talangan
melalui dana bergulir (revolving fund) yang dikelola oleh badan
layan umum (BLU). Melalui mekanisme ini, Pemerintah akan melakukan pembayaran
dan pembebasan tanah pada seksi tertentu dan setelah tanah bebas, badan usaha
melakukan pembayaran kepada BLU (lihat Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat
Jenderal Bina Marga (tanpa tahun). Jaringan
Jalan Nasional di Indonesia 2008, 123).
[8] Bryan A.
Garner, Black’s Law Dictionary”,7th
Edition (St. Paul, Minn: West Group, 1999), 1268. Dalam Black’s Law Dictionary
disebutkan, “internal rate of return:
(Accounting). A discounted-cashflow method of evaluating a long-term project, used to
determine the actual return on an investment – Abbr. IRR”.
[9]http://www.citra.co.id/default_newsdetail.asp?vnewsid=20050812092310 (Diambil dari Koran Tempo, ”Pemerintah Berlakukan Bagi Hasil Proyek Tol
Kerugian Investor Tak Ditanggung”, Jum'at, 04 Juli 2008, tidak menyebut
halaman). Pemerintah kemudian juga akan memberlakukan pembagian imbal hasil (clawback)
terhadap investor jalan tol yang menggunakan fasilitas land capping.
Namun, ketua ATI mengatakan Pemerintah seharusnya tidak memaksa soal clawback,
sebab, land capping bukan fasilitas Pemerintah, melainkan
konskuensi logis dari kenaikan harga yang tak bisa diprediksi investor.
Direktur Utama Jasa Marga Frans S. Sunito, juga mempertanyakan atas dukungan
Pemerintah atas fasilitas land capping
dikaitkan dengan IRR dan mempertanyakan mengapa Pemerintah tidak langsung
mematok besaran persentase bagi kewajibannya membayar kelebihan harga untuk
pembebasan tanah misalnya 200 persen, atau 300 persen, atau 400 persen, yang
lebih sederhana dari pada menghitung nilai IRR (Kompas, “IRR Jadi Patokan Landcapping Tol, Sabtu tanggal 22 Desember 2007, 18, kolom 2-4).
[10] Morten Hviid, dalam Bouckaert, Boudewijn and De Geest, Gerrit
(eds.), Encyclopedia of Law and Economics,
Volume III. The Regulation of Contracts, Cheltenham, Edward Elgar, 200, 1205 p.
ISBN 185898 986 8, IV General Contract Law, 4200 (Long-Term Contracts and Relational Contracts, by: Morten Hvidd, University of Warwick,
Department of Economics), 4500 (Unforeseen
Contingencies, Risk Allocation in
Contracts, by: George G. Traintis, University
of Virginia School of Law),
Chapter 4200 A2-3, 1205. Disebutkan, bahwa doktrin asymmetric information adalah: “Consider
a dynamic contract between a principal and an agent, where initially the
productivity of the agent is not known to the principal. In any separating
equilibrium, productivity of the agent will be known to the principal after the
first period. For the ‘bad’ type of agent , separation of involves a distortion
leading to a lower utility in every period of the contract than would be the
case if his true type was known. If the true type is really the bad type, the
distortion can be removed after the first period when the agent’s type is known
for sure. Hence if renegotiation is possible, it wil take place – the contract
is not robust against renegotiation. Moreover, since both parties want to
renegotiate, it is difficult to see how the legal system can prevent this
happening.”
[11] Lihat: (a) PT Cipta Strada, Engineering
Consultants (September 2008), “Laporan Akhir Audit Teknis Terhadap Konstruksi
Dan Pengadaan Lahan Proyek Jalan Tol Waru – Juanda”. Dalam laporan disimpulkan
bahwa: kewajiban Pemerintah dalam membebaskan tanah menjadi resiko penuh
investor. Seperti lambatnya kinerja P2T menyebabkan investor melakukan operasi
pasar untuk percepatan proyek, sehingga berakibat nilai ganti rugi yang lebih
tinggi dari yang ditetapkan P2T, dan (b) PT Pamintori Cipta, Engeneering & Management Consultant
(Desember 2008). Laporan Akhir Kajian
Review Traffic Ruas Jalan Tol Waru – Juanda. Dalam laporan disimpulkan
bahwa: jumlah transaksi harian rata-rata (27 April s/d 16 November 2008)
pengguna Jalan Tol Waru – Juanda (Tol WARJU) saat ini hanya mencapai sekitar
12.515 kendaraan/hari (dengan revenue rata-rata Rp65 Juta/hari) atau 15,7 %
dari 79.778 kendaraan/hari target demand
pada review traffic CMS Desember
2007, atau 23 % dari 53.462 kendaraan/hari target
demand pada business plan CMS
Januari 2007.
[12] Investor Daily, Jum'at, 06 Februari
2009, 9. Disebutkan: Utang
senilai Rp 951 miliar dengan bunga 14 % per tahun itu sebelumnya dikucurkan BCA
bersama PT Bank Mega Tbk (MEGA) untuk pembangunan jalan tol WARJU di Surabaya
(12,8 km). Tahun ini, CMS seharusnya membayar cicilan sebesar Rp 11-12 miliar
per bulan. Namun, CMS tidak sanggup membayar, apalagi jatuh temponya masih
sekitar 10 tahun lagi Kewajiban itu tidak sebanding dengan pendapatan
perusahaan yang hanya Pp 1,8-2 miliar per bulan.
[13]http://www.citra.co.id/default_newsdetail.asp?vnewsid=20050812092310 (Diambil dari Seputar Indonesia,
”Pengumuman Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara”, 40, Kamis , 05
Februari 2009).
[14] PPJT tersebut merupakan
bentuk baru kerjasama Pemerintah dan badan usaha swasta dalam penyediaan
infrastruktur setelah diterbitkannya UU No. 38/2004. Sebelumnya berdasarkan UU
No. 13/1980 dan PP No. 8/1980, badan usaha swasta bekerjasama dengan BUMN jalan
tol.
[15] Dalam Forum Bersama Ekonomi
Indonesia-Jepang di Jakarta, Senin, 11-01-2010, disebutkan bahwa Indonesia
memiliki tiga kendala yang menghambat dunia usaha, yakni ketiadaan
infrastruktur yang memadai, keterbatasan energi, dan masih buruknya regulasi,
menjadi sorotan utama dalam peningkatan investasi. Kusuma AM (Ketua Kamar
Dagang dan Industri Komite Indonesia-Jepang), menyebutkan, regulasi dalam
pembangunan infrastruktur perlu perbaikan. Misalnya, jangka waktu pemanfaatan
lahan, tidak ada kepastian hukum. Dalam memenuhi kebutuhan energi, perlu
dukungan regulasi dengan tarif memadai atau sesuai dengan nilai keekonomian
(lihat Kompas, “Tiga Kendala Investasi”, Selasa tanggal 12-01-2010, 17, kolom
3-6).
[16] Republik Indonesia. Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2005 Tentang Komite Kebijakan Percepatan
Penyediaan Infrastruktur (Perpres No. 42/2005).
[17] Departemen Pekerjaan Umum, Badan Pengatur
Jalan Tol (22 Februari 2010). “Pengembangan Jalan Tol Di Indonesia”, 15
(laporan tidak dipublikasikan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar