Dari hasil penelitian, terlihat bahwa pada
awalnya konsep Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) dalam kebijakan pembangunan dan penyelenggaraan jalan tol,
timbul ketika Pemerintah selesai membangun jalan bebas hambatan pertama yang
menghubungkan Jakarta dengan Bogor pada tahun 1978. Pada saat itu, dengan
alasan agar pengoperasian dan pemeliharaan ruas jalan tersebut dapat dilakukan
mandiri tanpa membebani anggaran Pemerintah, maka pengoperasian dan
pemeliharaannya diserahkan kepada badan usaha milik negara (BUMN). Hal ini mendasari dibuatnya Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1980 Tentang Jalan, tanggal 29 Desember 1980 (UU No. 13/1980). [1]
Pada tahun 1987, Pemerintah memberi
kesempatan kepada investor swasta untuk dapat mengelola jalan tol. Pada saat itu
terjadi gejala swastanisasi yang melanda dunia.[2] Dalam kasus di Indonesia, swasta harus
membentuk suatu usaha patungan (joint
venture)[3] dengan BUMN yang khusus bergerak dibidang
infrastruktur jalan tol yaitu PT Jasa Marga Persero (Persero) Tbk (Jasa Marga).
Pemerintah kemudian memberikan izin konsesi kepada usaha patungan tersebut.[4]
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1990 Tentang Jalan Tol (PP No.
8/1990), yang merupakan peraturan pelaksana UU No. 13/1980, Pemerintah memberi
kesempatan pada investor swasta untuk ikut membangun infrastruktur jalan tol.
Polanya adalah membentuk kemitraan dengan Jasa Marga.[5]
Dalam kemitraan tersebut biaya pengadaan tanah ditanggung oleh
Pemerintah.[6]
Berdasarkan data dari Badan Pengatur Jalan
Tol (BPJT) pada Juni 2008, investor jalan tol yang berhasil membangun dan
mengoperasikan infrastruktur jalan tol berdasarkan PP No. 8/1990 (hampir 2
dekade – sampai tahun 2004), tercatat total panjang jalan tol sekitar 600 Km.
Dari 600 Km, yang dibangun oleh Jasa Marga sebagai BUMN adalah sekitar 450 Km,
dengan demikian peran investor swasta dalam membangun jalan tol berdasarkan PP
No. 8/1990 tersebut adalah masih sekitar 150 Km.
Dalam pelaksanaan PP No. 8/1990, walaupun
sedikit investor swasta yang berminat, namun, tidak ada hambatan yang berarti
dalam masa pelaksanaan pengadaan investasi jalan tol, masa pelaksanaan
pengadaan tanah, maupun masa pembangunan (konstruksi). Sedikit permasalahan
adalah masalah pendanaan untuk konstruksi yang cukup tinggi nilainya, dimana
perbankan nasional Indonesia belum begitu siap untuk hal ini. Sehingga banyak
investor swasta yang mencari pendanaan luar negeri yang lebih murah melalui
surat hutang jangka menengah, seperti yang dilakukan oleh PT Citra Marga
Nusaphala Persada (CMNP) dengan menggunakan Floating
Rate Note (FRN) dan Eurobond
untuk proyek pembangunan infrastruktur jalan tol.[7]
Pada tahun 2004, saat Pemerintahan era
reformasi, Presiden Megawati Soekarnoputri, mengganti UU No. 13/1980 dan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan (UU No. 38/2004).
Dalam undang-undang tersebut, pengusahaan jalan tol dapat dilakukan oleh badan
usaha, baik oleh BUMN dan/ atau badan usaha milik daerah (BUMD) dan/ atau
swasta.[8]
Dalam implementasi kewajiban Pemerintah
sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang tentang jalan maupun yang disepakati
dalam perjanjian PPJT antara Pemerintah dan investor swasta, pengadaan tanah
dibiayai oleh investor swasta untuk membangun jalan tol. Biaya pengadaan tanah
ini menjadi bagian dari investasi dari investor swasta. Pembebanan biaya tanah
pada investor swasta ini sebenarnya telah dilakukan oleh Pemerintah sebelum
perubahan UU No. 13/1980 menjadi UU No. 38/2004, yaitu dengan dikeluarkannya
kebijakan Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam bentuk Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor
Jl.03.01.Mn/11 tanggal 22 Januari 1997 (SE Men Keu 22 Januari 1997), yang
menyatakan bahwa biaya pengadaan tanah seluruhnya menjadi beban investor
swasta.[9]
Akibat dari kebijakan tersebut, maka pembangunan jalan tol oleh investor swasta
menjadi jalan ditempat (stagnan)
dalam periode tahun 1997 - 2004.
Pemerintah juga mengalami kesulitan dalam
menyediakan tanah bagi investor swasta yang akan membangun jalan tol.
Keterlambatan penyediaan tanah oleh Pemerintah, tidak saja memberikan resiko
investasi bagi pihak investor swasta dengan meningkatnya nilai tanah dan
terjadinya penundaan masa konstruksi, namun juga memberikan dampak kepada
investasi yang ditawarkan Pemerintah menjadi tidak layak dimata investor
swasta.
Aspek hukum yang mengemuka dan menjadi
kendala dalam pengadaan tanah adalah mengenai pengertian tentang “kepentingan
umum” sebagaimana Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Perpres No.
36/2005).[10] Pengertian tentang kepentingan umum tersebut
masih multi tafsir dan akibatnya menjadi kurang efektif sebagai dasar hukum
dalam membebaskan tanah dalam proses pengadaan tanah. Perpres No. 36/2005
tersebut kemudian direvisi dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Perpres No.
65/2006).[11]
Keterbatasan waktu yang tersedia untuk
melaksanakan musyawarah dengan pemilik tanah dan bentuk ganti rugi yang belum
diatur secara rinci merupakan kendala yang lain. Aspek perencanaan masih lemah
sehingga menyebabkan pengadaan tanah tidak berjalan lancar karena adanya
benturan antara pembangunan infrastruktur yang direncanakan dengan dokumen
rencana tata ruang/ rencana tata ruang wilayah yang sudah ditetapkan. Selain
itu, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan juga dirasakan kurang maksimal.[12]
Aspek kelembagaan yang mengemuka dan
menjadi kendala dalam pengadaan tanah adalah lemahnya koordinasi antar instansi
yang terlibat dalam pertanahan disamping peran Panitia Pengadaan Tanah (P2T)
yang belum optimal. Dalam aspek pendanaan, kendalanya adalah masih ditemukan,
terutamanya adalah ketersediaan dana Pemerintah maupun investor swasta yang terbatas.
Dalam aspek ganti rugi, kendalanya adalah adanya perbedaan harga pasar dan
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang menyebabkan harga ganti rugi yang diminta
masyarakat lebih besar. Dari aspek resettlement[13]
saat ini masih belum lengkap dari segi pengaturannya.[14]
Pengusahaan jalan tol yang dilaksanakan
oleh investor swasta tersebut dituangkan dalam suatu bentuk perjanjian yang
disebut sebagai PPJT.[15] Disini, Pemerintah memberikan hak konsesi[16] kepada investor swasta dalam jangka waktu
30-35 tahun.[17] Konsep yang diterapkan dalam pengusahaan
jalan tol tersebut adalah konsep KPS.[18]
Dalam UU No. 38/2004,[19] Pemerintah melaksanakan pengadaan tanah
untuk pembangunan jalan tol bagi kepentingan umum berdasarkan rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota. Pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dapat
menggunakan dana yang berasal dari Pemerintah dan/atau badan usaha. Dalam PPJT,
disepakati jadwal penyerahan tiap-tiap seksi tanah yang telah dikuasai
Pemerintah kepada investor swasta jalan tol dalam suatu keadaan yang
memungkinkan investor swasta jalan tol memulai pembangunan konstruksi.[20]
Setelah menandatangani PPJT, investor
swasta harus segera memenuhi kewajiban pendanaan sebagaimana yang disepakati
dalam perjanjian, menyiapkan dana pembebasan tanah atas biaya investor sendiri,
membangun fisik jalan tol tersebut dari pendanaan yang didapat dari pihak
perbankan, mengoperasikannya serta memeliharanya dan kemudian pada akhir masa
konsesi, jalan tol tersebut diserahkan pada Pemerintah.
Dengan peraturan perundang-undangan yang
baru, Pemerintah mencoba melakukan pengadaan investasi (tender) jalan tol tahap
pertama. Dari 6 (enam) proyek jalan tol yang ditawarkan Pemerintah kepada
investor swasta pada tanggal 17-18 Januari 2005 sebagai tahap pertama, yang
merupakan bagian dari total program 1600 Km,[21] terdapat 165 investor swasta yang
menyatakan minatnya untuk menggarap proyek infrastruktur jalan tol tersebut[22].
Data dari Direktur Sistem Jaringan
Prasarana Direktorat Jenderal Bina Marga - Kementerian Pekerjaan Umum Republik
Indonesia (Kementerian PU), disebutkan, dari 181 investor swasta yang telah
mengambil formulir penawaran pengadaan investasi, yang dikembalikan sebanyak 36
formulir penawaran dengan membentuk suatu konsorsium[23]. Data Kementerian PU juga mengungkapkan
bahwa sekitar 40 % (empat puluh persen) dari peserta yang mengambil formulir
penawaran atas 6 ruas jalan tol tersebut adalah investor swasta modal asing,
antara lain: Kajima Corporation dari Jepang, China Harbour Engineering dari
China, Plus Express Way Berhard dari Malaysia dan MCA Intergroup. Sedangkan
investor swasta modal dalam negeri yang berjumlah sekitar 60 % (enam puluh
persen), antara lain: PT. Citra Marga Nusaphala Persada Tbk., PT. Bakrie
Brothers dan PT Jakarta Propertindo.[24]
Ke-enam ruas jalan tol yang ditawarkan
dalam tahap pertama oleh Pemerintah kepada investor swasta diperkirakan
bernilai investasi sekitar Rp12 triliun, dan terdiri dari ruas Cikarang –
Tanjung Priok (53 Km), ruas Cileunyi – Sumedang – Dawuan (56 Km), ruas Medan –
Binjai (15,80 Km), ruas Depok – Antasari (18,2 Km), ruas Cinere – Jagorawi (14
Km) dan ruas Makasar Seksi IV (11 Km).[25]
Pada tahap prakualifikasi[26] dalam proses pengadaan investasi tahap
pertama, dari 35 konsorsium yang berminat mengikuti pengadaan investasi atas 6
ruas jalan tol, hanya 18 konsorsium yang berhasil lolos setelah diumumkan oleh
Kementerian PU pada tanggal 21 Maret 2005. Konsorsium lokal murni yang lolos
sebanyak 7 konsorsium, sementara selebihnya merupakan konsorsium yang dibentuk
investor lokal dan swasta asing (Malaysia dan Cina). Dari 6 ruas jalan tol yang
ditawarkan dalam pengadaan investasi jalan tol ternyata hanya 3 ruas jalan tol
yang diminati investor swasta, yaitu ruas Depok – Antasari, ruas Cinere
Jagorawi dan ruas Makasar Seksi IV. Ruas Depok – Antasari sendiri ternyata
hanya ada 2 konsorsium yang mengajukan penawaran pengadaan investasi dari 9
konsorsium yang berminat ditahap prakualifikasi, yaitu: PT Citra Waspphutowa
dan PT Translingkar Kita Jaya[27].
Pada pelaksanaan pengadaan investasi jalan
tol yang pertama setelah keluarnya undang-undang UU No. 38/2004, banyak
investor swasta yang mundur dari pengadaan investasi yang ditawarkan. Keadaan
ini berulang pada pengadaan investasi tahap IV pada 10 Juni 2008 yang dalam
proses prakualifikasi diikuti 87 calon investor yang mengambil dokumen, yang
lolos evaluasi hanya 2-3 untuk setiap ruas. Akhirnya Pemerintah akan melakukan
pengadaan investasi ulang untuk 4 ruas jalan tol, yaitu: ruas Medan-Binjai,
ruas Tegineneng-Babatan, ruas Palembang-Indralaya, dan ruas Pandaan-Batang.[28]
Dengan telah terbentuknya UU No. 38/2004,
membuka kesempatan bagi semua investor
swasta untuk ikut dalam pembangunan jalan tol di Indonesia dengan konsep KPS.[29]
Setelah IIS I 2005, khususnya untuk infrastruktur jalan tol, sebagaimana
data dari BPJT, investor swasta yang memenangkan pengadaan investasi
infrastruktur jalan tol yang diadakan oleh Pemerintah dan telah menandatangani
PPJT tercatat ada 22 ruas jalan tol yang akan dibangun oleh investor swasta
dengan pola BOT. Sedangkan 4 ruas jalan tol lainnya akan dibangun oleh
Pemerintah dengan pola Design-Build-Operate (DBO).[30]
Skedul tahap pengadaan tanah berdasarkan
PPJT, harus selesai dalam waktu 24 (dua puluh empat) bulan sejak tanggal
efektif PPJT.[31] Status data BPJT pada tanggal 19 Mei 2009
atau 24 (dua puluh empat) bulan setelah PPJT
ditandatangani, dari 22 ruas jalan tol yang PPJT-nya sudah
ditandatangani oleh Pemerintah dan investor swasta, hanya 6 investor swasta
yang berhasil sampai pada tahap pembangunan konstruksi dan telah melalui tahap
pengadaan tanah.[32]
Dari data Direktorat Jenderal Bina Marga,
Kementerian PU, hingga tanggal 15 November 2007, untuk pembangunan 40 ruas
jalan tol (Trans-Jawa maupun non Trans-Jawa) dari kebutuhan lahan sekitar
12.209 Ha, baru sekitar 248 Ha yang sudah dibebaskan atau hanya sekitar 2,04 %
(2,04 persen).[33] Berdasarkan data dari BPJT pada bulan
November 2008, dari luas Daerah Milik Jalan (Damija) yang harus dibebaskan
sekitar 6.694,44 Ha, baru terealisasi pembebasannya sekitar 708,81 Ha atau baru
mencapai sekitar 10,59 % (10,59 persen) sejak tahun 2005.[34] Pada realisasi tahun 2010 (April)
tercatat, rekapitulasi pelaksanaan pengadaan tanah jalan tol trans jawa seksi
prioritas dari 1.580,63 Ha yang sudah terealisasi 1.080,43 Ha (68, 35 %).
Rekapitulasi pelaksanaan pengadaan tanah jalan tol non trans jawa dari 2,874.42
Ha yang sudah terealisasi 333,23 Ha (11.59 %).[35]
Ketua Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI)
Fatchur Rochman mengatakan, dengan kondisi laju pembangunan jalan tol yang
demikian memang sudah saatnya Pemerintah mengevaluasi ulang seluruh jalan tol.
Evaluasi itu tidak hanya menyangkut ruas jalan tol yang PPJT-nya telah
ditandatangani tapi belum dimulai konstruksinya, akan tetapi juga ruas jalan
tol yang PPJT-nya belum ditandatangani dan masih dalam tahap persiapan, atau bahkan
baru akan ditawarkan. Evaluasi
diperlukan guna mencari penyebab lambannya realisasi setiap tahap pembangunan
jalan tol dan solusinya.[36]
Permerintah
dan investor swasta, harus bisa saIing introspeksi. Pemerintah bisa memahami
keinginan investor swasta dan investor swasta tidak hanya sekadar meminta
insentif tanpa memberikan komitmen untuk menyelesaikan pembangunan jalan tol
yang ditanganinya. Dalam kebijakannya, Pemerintah juga harus menjadikan jalan
tol sebagai prioritas, sehingga dalam setiap anggarannya tersedia alokasi
khusus untuk pembangunan jalan tol.[37]
Melihat
adanya perubahan kebijakan pengadaan tanah sebagai salah satu dari
kebijakan-kebijakan Pemerintah untuk pembangunan jalan tol, dapat disimpulkan
bahwa dalam konsep KPS, pelaksanaannya banyak dipengaruhi oleh politik, hukum
dan ekonomi. Untuk itu, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi,
kekuatan politik didalam masyarakat, keadaan kelembagaan negara dan struktur
sosialnya, selain dari institusi hukumnya sendiri.[38] Sehubungan dengan peranan hukum dalam
pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang
teratur, karena baik perubahan maupun ketertiban (keteraturan) merupakan tujuan
kembar daripada masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu alat
yang tak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.[39]
(Dr. Iwan
Erar Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn)
Tabel Nomor 1. 1.
Daftar Investor Yang Sudah Tandatangan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol
(PPJT) sejak diselenggarakannya Infrastructure
Summit 2005 (Januari 2005).
Uraian
|
Panjang
(Km)
|
Nilai Investasi
(Milyar Rupiah)
|
Nilai Tanah
(Milyar Rupiah)
|
|
i
|
Operasi (21 ruas)
|
687,87
|
||
ii
|
PPJT – skema
BOT
sebanyak (22
ruas)
|
784, 35
|
67.571,40
|
10.224,31
|
- Konstruksi (6
ruas)
|
207, 25
|
16.599,18
|
1.593,30
|
|
- Persiapan dan Pembebasan Tanah (16
ruas)
|
577,10
|
50.972,22
|
8.631,01
|
|
iii
|
Dibangun Pemerintah
– skema DBO sebanyak (4 ruas)
|
75,91
|
9.846,70
|
1.978,70
|
iv
|
Persiapan PPJT (4
ruas)
|
154,24
|
10.267,17
|
1.580,80
|
v
|
Persiapan Tender (31
ruas)
|
1.385,51
|
136.799,73
|
11.213,46
|
Total
|
3.087,88
|
224.485,00
|
24.997,27
|
Data per tanggal 19 Mei 2009
(Sumber data didapat langsung dari Badan Pengatur Jalan Tol – Departemen
Pekerjaan Umum Republik Indonesia,
dalam penelitian langsung bulan Juni 2009).
Note:
-
Rencana
pembangunan Jalan Tol sesuai Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.
369/2005 jo Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 280/2006 jo Surat
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 360/2008 tentang Rencana Umum Jaringan
Jalan Nasional sepanjang 3.087,88 Km.
-
Rekapitulasi
progres pembangunan Jalan Tol per 19 Mei 2009.
-
PPJT
: Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol.
-
BOT :
Build-Operate-Transfer.
-
DBO :
Design-Build-Operate.
-
Km :
Kilo meter.
Tabel Nomor 1. 2
Daftar Jalan Tol Dalam Tahap Konstruksi sejak diselenggarakannya Infrastructure Summit 2005 (Januari
2005).
No.
|
Ruas / Kelompok
|
Panjang
(Km) |
Tanda Tangan PPJT
|
Investor
|
Progres Konstruksi
( % )
|
1.
|
Kanci - Pejagan
|
35
|
29-05-2006
|
PT Semesta Marga Raya
|
53 %
|
2.
|
Kertosono - Mojokerto
|
41.65
|
30-06-2006
|
PT Marga Hanurata Intrinsic
|
0.27 %
|
3.
|
Semarang - Solo
|
75.70
|
15-12-2006
|
PT Trans Marga Jateng
|
Seksi 1
Paket 1 : 0.900 %
Paket 2 : 1.179 %
Paket 3 : 0.900 %
|
4.
|
Surabaya - Mojokerto
|
36.27
|
06-04-2006
|
PT Marga Nujyasumo Agung
|
Ruas : 4.672 %
Seksi I A : 24.309 %
|
5.
|
JORR W1
|
9.85
|
02-02-2007
|
PT Jakarta Lingkar Barat Satu
|
40 %
|
6.
|
Bogor Ring Road
|
11.00
|
29-05-2006
|
PT Marga Sarana Jabar
|
22 %
|
TOTAL
|
97.70
|
Data per tanggal 19 Mei 2009
(Sumber data didapat langsung dari Badan Pengatur Jalan Tol – Departemen
Pekerjaan Umum Republik Indonesia,
dalam penelitian langsung bulan Juni 2009).
Note:
-
PPJT
: Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol.
-
JORR
W1 : Jakarta Outer Ring Road seksi West 1.
-
Km :
Kilo meter.
Daftar
Rekapitulasi Realisasi Luas Tanah Yang Dibebaskan sejak diselenggarakannya Infrastructure Summit 2005 (Januari
2005).
A
|
TRANS JAWA
|
||||
No
|
Ruas
|
Panjang
(Km)
|
Kebutuhan Luas PPJT
(Ha)
|
Realisasi Luas PPJT
(Ha)
|
Bobot
( % )
|
1
|
Cikampek – Palimanan
|
116,00
|
788,24
|
142,06
|
16,02
|
2
|
Kanci – Pejagan
|
35,00
|
248,36
|
242,63
|
97,71
|
3
|
Pejagan – Pemalang
|
57,50
|
380,15
|
47,52
|
13,01
|
4
|
Pemalang – Batang
|
39,00
|
239,70
|
-
|
-
|
5
|
Batang – Semarang
|
75,00
|
476,17
|
1,10
|
0,23
|
6
|
Semarang – Solo
|
75,70
|
804,40
|
42,45
|
5,28
|
7
|
Solo – Mantingan
|
57,10
|
368,87
|
18,05
|
4,89
|
8
|
Mantingan – Ngawi –
Kertosono
|
120,01
|
743,10
|
22,67
|
3,05
|
9
|
Kertosono – Mojokerto
|
41,65
|
294,35
|
36,40
|
12,37
|
10
|
Mojokerto – Surabaya
|
34,05
|
365,00
|
31,98
|
9,38
|
Sub Total A
|
651,01
|
4.699,34
|
584,86
|
12,45
|
B
|
NON TRANS JAWA
|
||||
No
|
Ruas
|
Panjang
(Km)
|
Kebutuhan Luas PPJT
(Ha)
|
Realisasi Luas PPJT
(Ha)
|
Bobot
( % )
|
1
|
Makasar Seksi IV
|
11,60
|
3,00
|
2,65
|
88,40
|
2
|
Bogor Ring Road
|
11,00
|
33,00
|
26,46
|
80,18
|
3
|
Cinere – Jagorawi
|
14,70
|
134,70
|
18,91
|
14,04
|
4
|
Gempol – Pasuruan
|
33,75
|
331,71
|
0,84
|
0,25
|
5
|
Gempol – Pandaan
|
13,61
|
100,06
|
73,99
|
73,95
|
6
|
Depok – Antasari
|
21,55
|
180,01
|
0,07
|
0,04
|
7
|
Bekasi – Cawang – Kp
Melayu
|
21,04
|
95,28
|
1,03
|
1,08
|
8
|
Cibitung – Cilincing
|
34,50
|
197,51
|
-
|
-
|
9
|
JORR W2 (Ulujami – Kb
Jeruk)
|
7,00
|
42,00
|
-
|
-
|
10
|
Akses Tanjung Priok
|
12,10
|
26,80
|
-
|
-
|
11
|
Cileunyi – Sumedang –
Dawuan
|
58,50
|
363,00
|
-
|
-
|
12
|
Medan – Kualanamu
|
60,00
|
456,23
|
-
|
-
|
13
|
Pemindahan Gerbang Tol
Pondok Gede Timur
|
1,30
|
12,70
|
-
|
-
|
14
|
Pelebaran Jalan Tol
Prof. Dr. Sedyatmo
|
8,00
|
19,10
|
-
|
-
|
Sub Total B
|
308,65
|
1.995,10
|
123,95
|
6,21
|
|
TOTAL
|
959,66
|
6.694,44
|
708,81
|
10,59
|
Data per tanggal 19 Mei
2009
(Sumber data didapat langsung dari Badan Pengatur
Jalan Tol – Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, dalam penelitian
langsung bulan Juni 2009).
Note:
-
PPJT : Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol.
-
JORR W2 : Jakarta Outer Ring Road seksi West 2.
-
Km : Kilo meter.
-
Ha : Hektar are
[1]http://www.jasamarga.co.id/jsit/index.php?option=com_content&task=view&id=88&Ite18/09/2007.
Setelah ruas jalan yang dibangun padatahun 1973 dan selesai pada tahun 1978,
dibentuklah suatu badan usaha PT Jasa Marga (Persero), dan pada tanggal 9 Maret
1978 Presiden Soeharto meresmikan jalan tol tersebut sebagai jalan tol pertama
di Indonesia yang diberi nama “Jagorawi”. Pada tanggal 29 Desember 1980,
Pemerintah mengundangkan UU No. 13/1980 yang mendefinisikan jalan tol sebagai
jalan umum yang kepada para pemakainya dikenakan kewajiban membayar tol atau
sejumlah uang tertentu (Pasal 1 huruf h dan i). Prinsip jalan tol tersebut
merupakan alternatif lintas jalan umum yang ada (Pasal 15).
[2] Savas, 3-4. Savas
menjelaskan, kesempatan swasta untuk berperan dalam pembangunan seiring dengan
gejala swastanisasi yang melanda dunia, sebagaimana dikatakan oleh Savas: “Privatization is a new word that is rapidly
coming into popular usage despite its awkward sound. The word privatize first
appeared in a dictionary in 1983 and was defined narrowly as ‘to make private,
especially to change (as a business or industry) from public to private control
or ownership’. But the word has already acquired a broader meaning; it has come
to symbolize a new way of looking at society’s needs, and rethingking of the
role of government in fulfilling them. It means relying more on society’s
private institutions and less on government to satisfy the needs of people.
‘Privatization is the act of reducing the role of government, or increasing the
role of the private sector, in an activity or in the ownership of assets’.
[3] Erika P. Schultz, “Joint Venture Agreements: A New Mechanism For
Investing In Colombia”,
World Arbitration and Mediation Report, Perspective, Copyright © 2001 by Juris
Publications, Inc., (July, 2001): 190-191. Model usaha joint venture telah kembali sangat berhasil, khususnya dalam
konstruksi, perminyakan, telekomunikasi dan manufaktur. Dia digunakan sebagai
alternatif untuk menciptakan kerjasama strategis antara perusahaan-perusahaan
untuk jangka waktu yang terbatas, memiliki tujuan tertentu dan tidak
mensyaratkan suatu badan hukum baru (“a
joint venture is a special combination of forces by and between two or more
parties, in which common benefits are sought without constituting a partnership
or corporation”). Dia juga digunakan sebagai alat yang penting bagi
investor asing yang akan melaksanakan kesempatan investasi secara cepat dan
mendapatkan keuntungan yang cepat, dengan meminimalkan dan berbagi resiko.
[4] Iwan Erar Joesoef, Jaminan
Pemerintah (Negara) Atas Kewajiban Hutang Investor Dalam Proyek Infrastruktur-
Studi Kasus Proyek Jalan Tol) (Jakarta:
BP-FHUI, 2005), 1-2. Disebutkan, dalam kasus pemberian izin konsesi pada
perusahaan patungan PT Citra Marga Nusaphala Persada, sebagai investor swasta
pertama yang membangun prasarana jalan tol, izin konsesi diberikan Pemerintah
kepada investor (dalam hal ini usaha patungan PT Citra Marga Nusaphala
Persada), mendahului PP No. 8/1990, dimana pada Pasal 38 ayat (2) mengizinkan
Badan bekerjasama dengan pihak lain (investor), yaitu berdasarkan Keputusan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor: 601/KPTS/1987 Tentang Ijin Menyelenggarakan Jalan Tol
Cawang – Tanjung Priok Kepada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Jasa Marga
Dalam Ikatan Usaha Patungan Dengan PT Citra Marga Nusaphala Persada tanggal 9
Desember 1987. Oleh sebab itu izin
tersebut didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1987 Tentang
Pelaksanaan Sebagian Tugas Penyelenggaraan Jalan Tol Oleh Perusahaan Patungan
tanggal 20 Juli 1987. Dengan mengacu pada teori organ pemerintahan, hal
tersebut (pemberian izin sebelum PP No. 8/1990) dimungkinkan sebagai suatu
kebijakan (policy) dikarenakan
peraturan perundang-undangan belum mengaturnya.
[5] Dikun, 164. PP No. 8/1990 menetapkan seluruh investasi swasta di
jalan tol akan berbentuk kemitraan dengan Jasa Marga. Jenis kemitraan
publik/swasta ini dilaksanakan dengan sistem BOT. Prinsip dasar yang melandasi
kebijakan pemerintahan untuk penyelenggaraan jalan tol adalah: (a) menyediakan
fasilitas jalan di kawasan yang sudah berkembang yang dibiayai melalui dukungan
pengguna jalan (road user), (b) harus
ada jalan alternatif yang disediakan untuk pengguna jalan, (c) tarif tol tidak
lebih dari 70 persen dari penghematan biaya operasional kendaraan (BOK) jika
kendaraan melalui jalan tol.
[6] Pasal 41 PP No. 8/1990, menyebutkan: ”Biaya pra-studi kelayakan dan
pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol ditanggung oleh Pemerintah”.
[7] Joesoef, Jaminan Pemerintah, 78-79.
[8] Indonesia. Undang-Undang Nomor 38 Tahun
2004 Tentang Jalan, disahkan tanggal 18 Oktober 2004, LNRI 2004 Nomor 132,
Tambahan LNRI Nomor.444. (Pasal 50 ayat 4). Dalam Peraturan Presiden Nomor 67
Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dan Badan Usaha Dalam Penyediaan
Infrastruktur (ditetapkan pada tanggal 9 November 2005) yang telah direveisi
dengan Perpres No.13/2010, mendefinisikan badan usaha adalah badan usaha swasta
yang berbentuk perseroan terbatas, badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha
milik daerah (BUMD), dan koperasi (Pasal 1 butir 4). Disini terlihat adanya
dualisme pengaturan badan usaha yaitu yang diatur dalam UU No. 38/2004 dan
Perpres No. 67/2005 yang direvisi dengan Perpres No. 13/2010, serta
menggabungkan peran BUMN/BUMD dan swasta serta koperasi dalam satu regulasi.
[9] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu
Perundang-undangan 1 – Jenis, Fungsi dan Materi Muatan (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2007), 228. Terkesan bahwa Pemerintah seperti “lepas tangan”
dalam masalah pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol. Dalam hirarkhis
peraturan perundang-undangan, peraturan setingkat Menteri tidak dapat secara
substansi menggantikan substansi undang-undang. Eksistensi Peraturan Menteri
tersirat dalam Pedoman Nomor 173 Lampiran Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyebut: “Pendelegasian
kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada Menteri atau Pejabat yang
setingkat dengan Menteri dibatasi untuk pengaturan yang bersifat teknis
administratif”. Tujuh tahun kemudian, beban yang luar biasa ini sedikit
“direduksi” dalam Pasal 61 ayat 2 UU 38/2004 tentang Jalan, yaitu bahwa “Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol
bagi kepentingan umum berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota,
dapat menggunakan dana yang berasal dari Pemerintah dan/atau badan usaha”.
Artinya, tidak lagi harus menjadi beban investor sepenuhnya.
[10] Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam
Pasal 1 butir 5 hanya disebutkan bahwa: “Kepentingan umum adalah kepentingan
sebagian besar lapisan masyarakat”. Pasal 5 menyebutkan: “Pembangunan untuk
kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah ...”.
[11] Republik Indonesia. Peraturan Presiden
Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum. Pasal 5 Perpres No. 36/2005 diubah menjadi: “Pembangunan untuk
kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah ..., yang
selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah,
...”.
[12] Departemen Pekerjaan Umum,
”Memori Akhir Tugas Menteri”, 148.
[13] Dikun, 453. Istilah settlement
adalah yang terkait dengan aspek prasarana dan sarana pendukung yang diperlukan
dalam suatu kawasan permukiman untuk memenuhi fungsinya sebagai kebutuhan dasar
manusia, pengembangan keluarga dan mendorong kegiatan ekonomi.
[14] Departemen Pekerjaan Umum,
”Memori Akhir Tugas Menteri”, 148-149.
[15] UU No. 38/2004, Pasal 51 ayat (3): “Badan usaha yang
mendapatkan hak pengusahaan jalan tol berdasarkan hasil pelelangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengadakan perjanjian pengusahaan jalan tol dengan
Pemerintah”.
[16]
Kerf, 1. Konsesi secara luas mengacu pada beberapa pengaturan dimana
suatu perusahaan memperoleh suatu hak dari Pemerintah untuk menyediakan jasa
layanan tertentu berdasarkan kondisi pasar. Konsesi merupakan alat yang dapat
digunakan untuk menciptakan persaingan usaha di pasar apabila persaingan usaha
tidak berjalan. Konsesi dapat dikatakan sebagai pengaturan hukum untuk
menciptakan persaingan usaha tersebut. Konsesi tidak memerlukan keterlibatan
swasta apabila Pemerintah memberikan konsesi pada perusahaan publik.
[17] Dalam PPJT ruas tol Depok –
Antasari Nomor: 191/PPJT/V/Mn/2006 tanggal 29 Mei 2006, Pasal 2.3 disebutkan:
“Masa konsesi adalah untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun terhitung
sejak Tanggal Efektif”.
[18] KPS, termasuk infrastruktur jalan tol, mengacu
pada Perpres No. 67/2005. Prinsip-prinsip yang
diterapkan dalam peraturan tersebut, disebutkan dalam Pasal 6:
1.
Adil, berarti seluruh badan
usaha yang ikut serta dalam proses pengadaan harus memperoleh perlakukan yang
sama;
2.
Terbuka, berarti seluruh proses
pengadaan bersifat terbuka bagi badan usaha yang memenuhi kualifikasi yang
dipersyaratkan;
3.
Transparan, berarti semua
ketentuan dan informasi yang berkaitan dengan penyediaan infrastruktur termasuk
syarat teknis administrasi pemilihan, tata cara evaluasi, dan penetapan badan
usaha bersifat terbuka bagi seluruh badan usaha serta masyarakat umumnya;
4.
Bersaing, berarti pemilihan
badan usaha melalui proses pelelangan;
5.
Bertanggung-gugat, berarti
hasil pemilihan badan usaha harus dapat dipertanggungjawabkan;
6.
Saling menguntungkan, berarti
kemitraan dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur dilakukan
berdasarkan ketentuan dan persyaratan
yang seimbang sehingga memberi keuntungan bagi kedua belah pihak dan masyarakat
dengan memperhitungkan kebutuhan dasar masyarakat;
7.
Saling membutuhkan, berarti
kemitraan dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur dilalkukan
berdasarkan ketentuan dan persyaratan yang mempertimbangkan kebutuhan kedua
belah pihak;
8.
Saling mendukung, berarti
kemitraan dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur dilakukan dengan
semangat saling mengisi dari kedua belah pihak.
(Lihat
harian Kontan, Senin, tanggal 15 Februari 2010, ”Perpres Telah Terbit, Proyek
Siap Tender”, 1, kolom 2-5).
[19] Lihat UU No. 38/2004 Pasal 61 ayat (1)
dan (2).
[20] Joesoef , Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol, Lampiran VIII (Contoh draft
PPJT), 315-397.
[21]
Dalam rencana pembangunan jalan tol sesuai Surat Keputusan Menteri PU
369/2009 jo Surat Keputusan Menteri PU 280/2006 jo 360/2008 Tentang Rencana
Umum Jaringan Jalan Nasional adalah sepanjang 3.087, 88 km (data diambil dari
BPJT tanggal 19 Mei 2009).
[22] http://www.citra.co.id/default_newsdetail.asp?vnewsid=20050812092310 (diambil dari Investor Daily, “Enam Konsorsium Tawar 4 Ruas
Tol”, Kamis, 11 Agustus 2005, tidak menyebut halaman).
[23] http://www.citra.co.id/default_newsdetail.asp?vnewsid=20050812092310 (diambil dari Bisnis Indonesia, “36
Konsorsium Perebutkan Proyek Enam Ruas Tol”, Selasa, 08 Februari 2005, tidak
menyebeut halaman).
[24] http://www.citra.co.id/default_newsdetail.asp?vnewsid=20050812092310 (diambil dari Bisnis Indonesia, “Asing
Minati Tender Enam Ruas Tol”, Selasa, 01 Februari 2005, tidak menyebut
halaman). Investor yang mengambil formulir ternyata berjumlah 181 investor,
yang melebihi minat investor sebagaimana disebutkan dalam Investor Daily, “Enam
Konsorsium Tawar 4 Ruas Tol”, Kamis, 11 Agustus 2005.
[25] http://www.citra.co.id/default_newsdetail.asp?vnewsid=20050812092310 (diambil dari Bisnis Indonesia, “147
Investor Berminat Ikut Tender Tol”, Rabu, 05 Januari 2005, tidak menyebut
halaman).
[26] Republik Indonesia,
Departemen Pekerjaan Umum, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) (tanpa tahun),
“Dokumen Prakualifikasi Pelelangan Pengusahaan Jalan Tol”. Peminat yang mengikuti prakualifikasi adalah
badan usaha Indonesia baik secara sendiri maupun secara bermitra/ bekerja sama
operasional antar sesama badan usaha Indonesia dalam bentuk konsorsium badan
usaha atau badan usaha asing yang berkonsorsium dengan badan usaha Indonesia
yang berminat mengikuti prakualifikasi. Dokumen prakualifikasi terdiri dari
(dokumen ini ditetapkan dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
27/PRT/M/2006 Tentang Pedoman Pengadaan Pengusahaan Jalan Tol, tanggal 21
November 2006):
1. Pengumuman prakualifikasi.
2. Jadwal waktu prakualifikasi.
3. Ketentuan umum.
4. Formulir isian
prakualifikasi: (a). Formulir A : Surat Permohonan, (b). Formulir B : Data
Peminat, (c). Formulir C : Ringkasan Pengalaman Badan Usaha, (d). Formulir D : Pengalaman
Badan Usaha, (e). Formulir E : Data Keuangan Tahunan, (f). Formulir F : Data Bank dan Akuntan
Publik, (g).
Formulir G : Pakta Integritas.
5. Adendum (bila ada).
[27]http://www.citra.co.id/default_newsdetail.asp?vnewsid=20050812092310 (Diambil dari Investor Daily, “Hanya Dua
Konsorsium Minati Depok – Antasari”, Selasa,
09 Agustus 2005, tidak menyebut halaman).
[28]http://www.citra.co.id/default_newsdetail.asp?vnewsid=20050812092310 (Diambil dari Investor Daily, “4 Ruas Tol
Batch IV Ditender Ulang”, 19, Rabu, 08 Oktober 2008).
[29] Joesoef, Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol, 84.
Dalam pertemuan tersebut Pemerintah Indonesia menawarkan sekitar 91 Proyek
dengan nilai US $ 22.2 miliar atau Rp203 triliun kepada investor dalam maupun
luar negeri, yaitu terdiri dari proyek-proyek jalan tol, rel kereta api,
pelabuhan laut, pelabuhan udara, air bersih, dan pembangkit listrik.
[30]
http://www.bpjt.net/index.php?id=56&status=1&mode=3. Lihat Tabel
Nomor 1.1.
[31] Joesoef, Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol, Lampiran VIII (contoh draft
PPJT).
[32]
http://www.bpjt.net/index.php?id=56&status=1&mode=3. Lihat Tabel
Nomor 1.2.
[33]http://www.citra.co.id/default_newsdetail.asp?vnewsid=20050812092310 (Diambil dari Kompas, “Lahan Tol,
Sengketa Yang Tidak Pernah Berakhir”, Sabtu, 15 Desember 2007, tidak menyebut
halaman).
[34] Lihat Tabel Nomor 1.3. Diambil langsung dari data BPJT tanggal 19 Mei 2009. Praptono Djunaedi
menyebutkan: “Secara garis besar, terdapat tiga hal yang harus segera
diselesaikan Pemerintah”: (1) membentuk kelembagaan baru yang mendukung pelaksanaan
KPS, (2) melakukan harmonisasi, reformasi dan revisi terhadap berbagai aturan
yang saling bertentangan dan yang menghambat masuknya investasi, (3)
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. (lihat:
http://www.fiscal.depkeu.go.id/webbkf/kajian/artikel_PPP_prap.pdf. 12/06/2008
11:47. Praptono Djunaedi, “Implementasi Public-Private
Partnership dan Dampaknya ke APBN”.)
[35] Data penelitian di Sub Direktorat
Pengadaan Tanah, Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum,
status tanggal 30 April 2010.
[36]http://www.citra.co.id/default_newsdetail.asp?vnewsid=20050812092310 (Diambil dari Investor Daily, “Skenario
Percepatan Jalan Tol Mulai Dibahas”, Rabu, 7 Januari 2009, halaman 19). Menurut
ketua ATI, para pelaku usaha yang tergabung dalam ATI mengusulkan dua skenario
terkait percepatan pembangunan jalan tol di tanah air. Pertama, Pemerintah
harus membebaskan seluruh lahan untuk pembangunan jalan tol, baru kemudian ruas
jalan tol itu ditawarkan. Kedua, Pemerintah membebaskan seluruh lahan untuk
pembangunan jalan tol dan mengerjakan konstruksinya, setelah itu baru
pengoperasiannya di tawarkan, seperti berlaku di ruas tol akses Pelabuhan
Tanjung Priok.
[37] http://www.citra.co.id/default_newsdetail.asp?vnewsid=20050812092310 (Diambil dari Investor Daily, “23 Ruas
Tol, Nasibmu Kini…”, 19, Jum’at, 23
Januari 2009).
[38] B.F. Sihombing, “Pergeseran Kebijakan
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Dan Swasta - Studi Kasus
PengaturanPemilikan, Penguasaan Tanah di Provinsi DKI Jakarta”, (Disertasi,
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004)
Mengutip, Daniel S. Lev, Hukum dan
Politik diIndonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3S, cetakan Pertama
(Jakarta:1990), XII.
[39] Ibid. Mengutip, Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan
Nasional, (Bandung: Bina Cipta, 1986), 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar