Pada
abad ke-20 dan dibanyak negara, jaringan utilitas seperti, listrik,
telekomunikasi, jalan kereta, penyediaan air, gas alam, secara vertikal dan
horisontal terintegrasi dalam monopoli negara dibawah kontrol kementerian negara.
Kemudian akhir dekade terjadi perubahan dramatis dalam melihat bagaimana
jaringan utilitas seharusnya dimiliki,
diorganisasi dan diatur. Kinerja monopoli BUMN bervariasi ditiap negara.
Gelombang dunia swastanisasi dan liberalisasi infrastruktur pada tahun 1990-an
adalah awal penting konsensus ekonomi dimana model monopoli Negara tidak lagi
diterapkan, dan menerapkan model unbundling
(mengurai menjadi beberapa usaha). Swastanisasi adalah cara untuk menerapkan
model unbundling tersebut. Namun,
beberapa tahun kemudian, swastanisasi ditanggapi secara meragukan. Hal ini
terjadi di negara-negara sedang berkembang dan ekonomi transisi terutama di
negara-negara Amerika Latin, masyarakat tidak puas dengan swastanisasi.
Ketidakpuasan masyarakat dengan swastanisasi telah dibakar dengan berkurangnya
pekerjaan, dan masalah kunci atas pendapatan yang tidak sesuai. Efisiensi dan
persaingan usaha berakibat pengurangan pekerjaan yang berlebihan, dan terakhir
peran lembaga-lembaga melemah dan butuh waktu panjang untuk berkembang. [1]
Sangat
sulit dan memerlukan biaya yang mahal untuk mengubah struktur kelembagaan, baik
secara vertikal maupun horisontal setelah swastanisasi. Kemudian, ketiadaan
regulasi yang menjelaskan permasalahan aturan main untuk investor potensial
bisa menyebabkan peningkatan risiko yang akan menghantam swastanisasi. Dengan
demikian, seharusnya restrukturisasi yang memperkenalkan persaingan harus
terjadi sebelum swastanisasi, dan regulasi seharusnya berada untuk menjamin
pembeli potensial, baik untuk elemen persaingan dan monopoli.[2]
Gejala
ini seperti roda yang berputar. Banyak utilitas publik yang diswastanisasi dalam
tahun 1980-an dan 1990-an. Sebagai contoh, swastanisasi di Inggris dan sebagian
Amerika Latin, di mulai setelah periode perang dunia kedua. Dalam kasus-kasus Brazil dan Argentina, kemudian
telah dilakukan nasionalisasi pada tahun 1960-an dan 1970-an. Usaha-usaha infrastruktur menjadi di atur
lebih ketat sejak saat itu dengan berbagai alasan. Hal ini membawa akibat
berkurangnya pendapatan, dan kemudian berkurangnya investasi dan jasa layanan
dengan kualitas rendah. Dibanyak negara hal ini kadang-kadang membawa akibat
pengambilalihan oleh sektor publik. Ketidakefisienan dan harga yang lebih
populis mengurangi sumber-sumber investasi, dan dengan pemerintahan yang tidak
mampu untuk mendukung ini dengan pajak pendapatan, kemudian mendorong kembali
ke ketentuan swasta. [3]
Strategi
yang harus dilakukan Pemerintah dalam reformasi dan swastanisasi adalah harus
diterimanya kenyataan mengenai akibat dan manfaat tipe-tipe skema partisipasi
swasta. Meskipun demikian, kontrak-kontrak manajemen yang dirancang dengan baik
dan sewa guna (leasing) telah
menghasilkan hasil positif dan membawa perbaikan dalam ketentuan-ketentuan
infrastruktur, dan untuk itu akan berlanjut memainkan peran. [4]
Dalam
konteks komersialisasi, maka apabila sektor swasta berperan lebih besar dalam
ketentuan jasa-jasa layanan infrastruktur, dia akan memberikan modal atau
manajemen, atau keduanya. Apabila dia memberikan baik modal maupun manajemen,
maka kemudian struktur yang ada atas kontrol dan manajemen sektor publik harus
diubah untuk regulasi sistem yang lebih tegas dan untuk memonitor badan-badan
swasta oleh badan-badan publik (public
agencies). Apabila tidak demikian, maka ide-ide dan pemikiran swasta perlu
dipinjam sebagai gantinya. Ada tiga cara dimana infrastruktur berorientasi
komersial: Pertama, pada kebanyakan
tingkat dasar, sektor publik dapat dioperasikan dengan suatu cara dimana mirip
dengan cara kerja sektor swasta. Kedua,
Pemerintah dapat mencari pemasok swasta secara terbatas melalui berbagai bentuk
KPS. Terakhir, alternatif ketiga,
Pemerintah dapat memilih swastanisasi penuh atas beberapa jasa-jasa layanan
publik.[5]
Swastanisasi
biasanya memiliki tugas yang kompleks, dia tidak hanya masalah pencapaian
penjualan aset-aset atau mengizinkan pemain baru. Selain adanya keberhasilan swastanisasi,
kegagalan swastanisasi banyak terjadi di beberapa negara. Keberhasilan yang
signifikan dari swastanisasi adalah seperti para pendukung swastanisasi federal
di Amerika Serikat masa kepemerintahan Presiden Reagan tahun 1980-an, yaitu
penjualan ”Conrail” pada tahun 1987 yang merupakan perusahaan ”freight
railroad” milik Pemerintah yang sangat buruk kondisinya.[6]
Dalam
sejarah, Inggris diakui sebagai pemimpin (leader) kebijakan-kebijakan
swastanisasi. Pada pemilihan Pemerintahan konservatif tahun 1979, swastanisasi
muncul sebagai isu kebijakan yang penting dan kontroversial. Banyak rencana dan
tindakan swastanisasi yang diterbitkan Pemerintahan Thatcher di Ingrris Sejas
tahun 1979 dan melanda keseluruh dunia.[7]
.Namun dalam catatan Sheperd pada tahun itu juga, swastanisasi menyembunyikan (has shrunk) serangkaian kegagalan
preusan-perusahaan pada awal penyelamatannya. Beberapa perusahaan yang diswastanisasi
benar-benar menghadapi kompetisi yang kuat: contohnya adalah British Rail
Hotels dan Jaguar (automobiles).
Perusahaan gas Inggris juga menghadapi pengalaman yang sama, dimana kompetisi
tidak efektif. Bis travel dalam kota ”National Express” yang merupakan monopoli
tidak dijual, namun pemain baru dibuka pada tahun 1980 untuk jalur yang sama
sehingga mengurangi porsi jalur. Penjualan British Airways juga telah gagal
untuk membangkitkan kompetisi yang efektif atau pemain baru. Pengalaman
kegagalan swastanisasi Inggris tersebut memperlihatkan bahwa kompetisi yang
efektif tidak mungkin berkembang dalam pasar yang monopolistik, sehingga
swastanisasi yang sudah ada dapat mempertahankan perilaku monopoli. Dengan
demikian swastanisasi diperlukan keseimbangan kepemilikan secara berhati-hati,
”entry support” dan regulasi, dibawah kondisi-kondisi yang baik.[8]
Setelah
menjadi model oleh Inggris pada tahun 1980-an, swastanisasi sekarang menjadi
tidak jelas di seluruh dunia. Sebagian disebabkan karena tekanan yang lebih
besar pada pasar bebas (on free markets),
dan maksud swastanisasi agar pasar bekerja lebih baik, kedua hal tersebut
menempati pusat pemikiran masyarakat internasional dan yang memberi dukungan
pembiyaan untuk melakukan pengaturan kembali secara struktural. Keberhasilan
negara-negara industri tidak berbagi secara universal. Diakui telah menjadi
permasalahan dalam kasus-kasus (seperti di Argentina, Chilie dan Mexico). Di
negara-negara sedang berkembang keberhasilan tersebut belum membuahkan hasil.[9]
Progres
swastanisasi di tujuh negara (Jamaica, Kenya, Malawi, Malaysia, Papua New Guinea,
Sri Lanka, Trinidad and Tobago) berjalan lambat. Dari ketujuh negara yang
diteliti hanya 98 perusahaan (BUMN) yang telah diswastanisasi (baik secara
total atau sebagian) melalui penjualan atau leasing (sale or leasing) dari sekitar 2,000 BUMN. Proses swastanisasi
cenderung terkonsentrasi pada perusahaan (BUMN) kecil sehingga swastanisasi
hanya menyaring permukaan dari ”state sector holdings”.[10]
Banyak
permasalahan yang timbul dari swastanisasi sperti masalah kerangka regulasi,
apakah swastanisasi dapat memperbaiki kinerja BUMN, apa peran Pemerintah yang
sesuai dengan masa swastanisasi, dan apakah swastanisasi adalah suatu
perencanaan yang mahal.[11]
Namun, program-program swastanisasi dibanyak negara baik negara berkembang
maupun negara sedang berkembang tercatat banyak keberhasilan.[12]
Sebagai contoh program swastanisasi di Indonesia apda tahun 1998-1999 telah
memberikan sekitar US $ 1,5 billion sebagai sumber anggaran Pemerintah.[13]
Namun dari manfaat keberhasilan swastanisasi di Indonesia tersebut terdapat
juga kegagalan yang harus dicatat, yaitu seperti swastanisasi Bank BNI 1946
mencatat kerugian pada tahun fiskal 1998-1999 akibat masalah mis-management,
juga Indosat pada tahun 1999 mengalami kesulitan finansial akibat tindakan
direksi.[14]
Sebagai
contoh keberhasilan swastanisasi yang dapat dipelajari adalah swastanisasi PT
Telkom di Indonesia. Pemerintah melakukan restrukturisasi perusahaan sebelum
dilakukan swastanisasi penuh. PT Telkom juga melakukan skema joint-operation dengan
perusahaan-perusahaan telekomunikasi asing, seperti Singtel of Singapore, Cabel
et Radio SA of France, dan Japanese
company NTT, serta juga perusahaan-perusahaan lokal. Denga skema tersebut PT Telkom telah melakukan
”transfer of technology and management
schemes”.[15]
Dapat
disimpulkan dari swastanisasi, bahwa dari beberapa contoh, swastanisasi dapat
memperbaiki kondisi dan ketentuan sosial (social
provision). Bahakan adalah memungkinkan
untuk mengkombinasikan swastanisasi dengan peningkatan kesamaan atau
kesedarajatn (equality). Apabila
kebanyakan swastanisasi tidak sederajat (inegalitarian)
dalam praktik, hal ini adalah bukan hasil dari kualitas yang melekat dalam
semua ketentuan struktur swastanisasi, akan tetapi disebabkan karena
nilai-nilai social dan politik yang menimbulkan tekanan swastanisasi.[16]
[1] Kessides, 1-7. Unbundling: adalah
mempromosikan persaingan, menjamin perusahaan menyediakan jasa layanan dengan
harga yang efisien, dia dapat mengurangi regulasi dengan mengisolasi segmen
monopoli dan mengganti regulasi dengan kompetisi atau persaingan. Untuk
mendapatkan manfaat unbundling ini,
kebijakan-kebijakan perlu mengharmonisasikan kekeliruan regulasi dari kegiatan
monopoli dengan meningkatkan persaingan. Dengan demikian, unbundling membuat tugas regulasi semakin kompleks dan akan
terkendala dengan lemahnya kapasitas kelembagaan. Sangat sulit untuk
menciptakan lembaga-lembaga dalam masyarakat yang tidak memiliki tradisi
konstitusional, politik dan hukum yang diperlukan. Dengan demikian untuk
mencapai tujuan kepentingan publik atas swastanisasi akan butuh waktu panjang
sejak reformasi tersebut diperkenalkan.
[2] Ibid., 7-8.
[3] Harris, 39-40.
[4] Ibid. Perlu waktu untuk
memperbaiki sentimen pasar, memperbaiki tidak efisiennya badan usaha publik dan
membuatnya lebih menarik bagi penawar potensial. Permasalahan ini timbul karena
Pemerintah terlalu cepat memperkenalkan sektor swasta, dan bahwa ketentuan
komersialisasi dalam sektor publik untuk beberapa periode sebelum reformasi
secara mendalam akan membawa perubahan besar untuk kesuksesan ketentuan swasta.
Dari pengalaman ada beberapa kekurangan. Pertama,
sering terbukti sulit untuk memperbaiki kinerja badan-badan usaha publik dan
juga hal khususnya adalah tidak efisien yang sangat tinggi. Kedua, sejak sektor swasta tidak ingin
menempatkan modalnya dalam risiko proyek-proyek infrastruktur di negara-negara
sedang berkembang, Pemerintah mempertimbangkan konsesi atau divestitures akan mengganti
pilihan-pilihan seperti kontrak-kontrak ”lease
and management” sebagai ganti. Terakhir,
karena sektor swasta tidak membiayai investasi, pendekatan-pendekatan seperti
kontrak-kontrak manajemen memberikan lebih sedikit tekanan untuk terikat pada ”cost-covering tariffs”. Dengan demikian,
perbaikan mobilisasi sumber internal bisa lebih dibatasi dan
pendekatan-pendekatan ini juga akan menyandarkan pada suatu tingkat
pertimbangan atas pembiayaan publik, yang juga mungkin terbatas.
[5]Grimsey and Lewis, 33. Perjalanan KPS telah
memberikan tanda perubahan yang berarti dalam kebijakan infrastruktur. Kebijakan infrastruktur dengan demikian dapat dipikirkan mencakup
tiga tingkat: (1) network planning (this
means long-term planning of infrastructure at central and regional levels), (2)
financing, (3) operation (construction, operations, maintenance, and so on).
[6] Donahue, John D. The Privatization Decision (USA:
Basic Books, 1989), 5.
[7] Nugraha, 19.
[8] Shepherd, 515-516.
[9] Adam, Christoper, et al. Adjusting Privatization (London:
James Currey Ltd., 1992), ix.
[10] Ibid., 39.
[11] Nugraha, 96-97.
[12] Ibid., 154.
[13] Ibid., 105.
[14] Ibid., 152.
[15] Ibid., 164-165.
[16] Michael O’Higgins, Social Welfare and Privatization: The British
Experience, 176, (dalam buku Kamerman, Sheila B., and Kahn, Alfred J.,
ed. Privatization and the Welfare State. New Jersey: Princeton
University Press, 1989).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar