E.R. Yescombe mengelompokkan secara umum
model-model kontrak KPS dalam tiga kategori model kontrak, yaitu:
(a). Model
kontrak konsesi
Model kontrak konsesi,
awal perkembangannya adalah di Perancis. Meskipun istilah KPS adalah baru,
konsep penggunaan modal swasta untuk menyediakan fasilitas-fasilitas publik
adalah sudah sangat lama. Pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 grup-grup
perusahaan Inggris membentuk ”turnpike trust”
yang meminjam uang dari para investor swasta untuk memperbaiki jalan-jalan, dan
pinjaman tersebut dibayar kembali dari pungutan uang (tolls). Di Perancis, konstruksi kanal dengan modal sektor swasta
dimulai pada abad ke-17. Model kontrak KPS ini dikenal sebagai model kontrak
konsesi (concession): yaitu model
”user pays” dimana pihak sektor swasta penerima hak konsesi (”the
concessionaire”) diizinkan untuk memungut biaya (fee) jasa layanan umum publik untuk penggunaan fasilitas, sebagai
contoh, pembayaran tol untuk penggunaan jembatan, terowongan atau jalan. Tol
digunakan untuk membayar kembali sektor swasta dalam pembangunan dan
pengoperasian fasilitas, yang biasanya dikembalikan ke sektor publik pada akhir
masa konsesi.
Dalam model kontrak KPS ini (model kontrak
konsesi), berdasarkan klasifikasi yang dibuat E.R. Yescombe masuk dalam
klasifikasi model kontrak KPS berdasarkan pengguna dimana tol dibayar oleh
pengguna (usage-based). Dalam hal
ini, biaya penggunaan untuk fasilitas seperti jalan-jalan, jembatan-jembatan,
terowongan-terowongan, juga fasilitas-fasilitas transportasi lain seperti
pelabuhan-pelabuhan, tram dan jaringan kereta ringan, serta risiko penggunaan
dialihkan ke swasta.
(b). Model
kontrak penjualan energi (PPA)
Model kontrak penjualan energi atau power purchase agreement (PPA), awal
perkembangannya adalah di Amerika Serikat. Pada tahun 1980-an di Amerika
Serikat berkembang suatu model kontrak KPS modern yang dikenal sebagai model
kontrak penjualan energi (PPA). Dalam hal ini perusahaan yang membangun dan
mengoperasikan stasiun pembangkit tidak menanggung risiko atas listrik yang
dibangkitkan sesuai yang dibutuhkan, risiko tetap melekat pada utilitas, yang
membayar biaya kapasitas, apakah dia menggunakan listrik itu atau tidak.
Perusahaan, bagaimanapun, bertanggungjawab untuk pelaksanaan pengoperasian
stasiun pembangkit, dan apabila ada alasan-alasan tidak cukup untuk
membangkitkan listrik sesuai yang disepakati, pembayaran biaya kapasitas akan
dikurangi. Dengan demikian, perusahaan, tidak menanggung risiko penggunaan,
akan tetapi hanya risiko penyelesaian pembangunan stasiun pembangkit sesuai
waktu dan anggaran. Jadi, risko pengoperasian, tidak seperti konsesi, dimana hanya
dibayar apabila masyarakat menggunakan fasilitas.
Dalam model kontrak KPS ini (model kontrak
penjualan energi), berdasarkan klasifikasi yang dibuat E.R. Yescombe masuk
dalam klasifikasi model kontrak KPS berdasarkan ketersediaan (availability-based). Pemerintah akan
melakukan pembayaran langsung ke investor sebagai kompensasi atas peran
investor dalam membangun infrastruktur dalam bentuk pembelian.
(c). Model
kontrak inisiatif pembiayaan swasta (PFI)
Model kontrak inisiatif pembiayaan swasta
(PFI), awal perkembangannya adalah di Inggris. Pada tahun 1992 Pemerintah
Inggris mengumumkan PFI dengan tujuan membawa pembiayaan proyek dalam
ketentuan-ketentuan peraturan infrastruktur publik. Hal ini merupakan
dimulainya dari penemuan kembali (rediscovery)
konsesi pada tahun 1980-an, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dan
proyek-proyek gelombang pertama, pada tahun 1994, melibatkan konstruksi dan
pengoperasian jalan-jalan baru. Namun, sejak lingkup jalan-jalan tol di Inggris
terbatas, sebagai ganti dari prinsip “user
pays” (dari konsesi sebagaimana tersebut pada butir 1 di atas), model
kontrak PFI memperkenalkan konsep pembayaran oleh Pemerintah. Pembayaran awal (initially payments) dari Pemerintah
masih berdasarkan penggunaan oleh pengendara (usage by drivers), disebut sebagai shadow toll (yaitu pembayaran-pembayaran dengan skedul yang pasti
oleh Pemerintah).
Dalam model kontrak KPS ini (model kontrak
inisiatif pembiayaan swasta),
berdasarkan klasifikasi yang dibuat E.R. Yescombe masuk dalam klasifikasi model
kontrak KPS berdasarkan klasifikasi campuran antara klasifikasi berdasarkan
pengguna (usage-based) dan berdasarkan
ketersedian (availability-based) yang
pembayarannya dilakukan oleh Pemerintah (shadow
toll).
(d). Model
alternatif kontrak KPS
Dalam alternatif model-model kontrak KPS
ini berdasarkan klasifikasi yang dibuat E.R. Yescombe bisa masuk dalam campuran
klasifikasi model kontrak KPS berdasarkan pengguna (usage-based) dan berdasarkan ketersedian (availability-based) yang pembayarannya dilakukan oleh Pemerintah (shadow toll), seperti: (i) model kontrak
pengadaan sektor publik (public-sector
procurement); (ii) model kontrak pengambilalihan paska konstruksi (post-construction take-out); (iii) model kontrak pendanaan sektor publik (public-sector debt funding); (iv) model
kontrak usaha patungan (joint-venture), dan (v) model kontrak non-profit (not-for-profit structures).
Model kontrak KPS penjualan energi atau
PPA pertama kali membentuk kontrak dengan skema pembiayaan BOO antara
pihak-pihak swasta, dimana kepemilikan stasiun pembangkit tetap pada
investor-investor-nya, namun kemudian
menjadi jelas dimana struktur model yang sama dapat digunakan untuk pembangunan
proyek-proyek sektor publik. Konsep kontrak dengan skema pembiayan BOT pertama
kali dibuat di Turki, kontrak ini juga ditujukan untuk pembangkit energi (power generation), namun dengan kunci
perbedaan bahwa pembeli (off taker
atau purchaser) dari energi adalah
Pemerintah, utilitas energi Pemerintah, dan pada akhir kontrak kepemilikan
stasiun pembangkit dapat berlanjut dari investor kepada pembeli (biasanya
dengan harga nominal atau tanpa biaya) dan kemudian ke sektor publik.
Suatu
tahap yang singkat dari model kontrak dengan skema pembiyaan BOT ke model
kontrak dengan skema pembiyaan Build-Transfer-Operate
(BTO) adalah dialihkannya kepemilikan ke Pemerintah pada saat selesainya
konstruksi. Kontrak dengan skema pembiyaan Design-Build-Finance-Operate
(DBFO) adalah suatu kepemilikan secara hukum dimana fasilitas tetap ada pada
Pemerintah melalui kontrak, dengan mana kepentingan sektor swasta dalam proyek
didasarkan semata-mata atas hak-hak kontraktual untuk mengoperasikan fasilitas
dan menerima penghasilan (revenue)
dari pembeli (offtaker) yang membeli,
dari pada kepemilikan aset secara fisik.
Kontrak
dan bahasa kontrak telah digunakan diberbagai area: pengadaan, ketentuan jasa, contracting-out, PFI, perjanjian antara
cabang-cabang pemerintahan, perjanjian-perjanjian jasa publik, perjanjian
antara departemen dan badan eksekutif, kontrol terhadap penyimpangan, jasa-jasa
terhadap pengangguran (unemployment),
dan pendidikan. Banyak bentuk (taxonomies)
kontrak yang bisa digunakan. Suatu standar bisa menjadi suatu hal, apakah
kontrak secara hukum mengikat, dalam arti bisa beberapa kontrak tersebut mengikat
secara hukum dan yang lain tidak mengikat. Dalam kerangka hukum administrasi
negara hal ini merupakan faktor pembeda yang penting. Standar alternatif yang
diusulkan adalah membedakan antara pengadaan publik, perjanjian Pemerintah (government by agreement) dan kontrak
publik baru (new public contracting),
dimana yang terakhir digunakan untuk mencirikan pendelegasian kekuasaan (delegation of powers) kepada badan-badan
publik (public agencies) dalam suatu
pengaturan kontrak. Pemerintah pusat memelihara kontrol dan intervensi
kekuasaan. Dalam hal ini terlihat adanya perubahan atas pertimbangan umum
kontrak sebagai alat kebijakan Pemerintah (contract
as a tool of government policy). Bisa terjadi ide kontraktual mempengaruhi
hubungan antara badan-badan eksekutif dan para sponsor departemen, meskipun
tidak terdapat kontrak yang nyata karena badan-badan tersebut tidak memiliki
badan hukum yang terpisah (no separate
legal personality).
Dr.
Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
Gambar Nomor 2.11
Spektrum Publik dan Swasta Infrastruktur.
|
Public Project | -------------------------------------- PPP ------------------------------ Private Project |
|
Contract
Type
|
Public-sector
procurement
|
Franchise
(Affermage)
|
Design-
Build- Finance- Operate
(DBFO)*
|
Build-
Transfer- Operate (BTO)**
|
Build-
Operate- Transfer (BOT)***
|
Build-
Own- Operate (BOO)
|
Construction
|
Public sector (2)
|
Public sector (2)
|
Private sector
|
Private sector
|
Private sector
|
Private sector
|
Operation
|
Public sector (3)
|
Private sector
|
Private sector
|
Private sector
|
Private sector
|
Private sector
|
Ownership (1)
|
Public sector (4)
|
Public sector
|
Public sector
|
Private sector during construc- tion, then Public sector
|
Private sector during Contract, then Public sector
|
Private sector
|
Who
pays?
|
Public sector
|
Users
|
Public sector or Users
|
Public sector or Users
|
Public sector or Users
|
Private sector offtaker public sector (5), or Users
|
Who
is paid
|
n/a
|
Private sector
|
Private sector
|
Private sector
|
Private sector
|
Private sector
|
* Also known as Design-Construct-Manage-Finance (DCMF) or
Design-Build-Finance Maintain (DBFM);
* * Also known as Build-Transfer-Lease (BTL),
Build-Lease-Operate-Transfer (BLOT) or Build-Lease-Transfer (BLT);
* * * Also known as
Build-Own-Operate-Transfer (BOOT);
(1) In all cases, ownership may be in the form
of joint venture between the public and private sectors;
(2) Public sector normally designs the
facility and engages private-sector contractors to carry out construction
on its behalf (design-bid-build);
(3) Public sector may enter into service
(outsourcing) contracts (for operation and maintenance) with private-sector
contractors;
(4) Ownership may be through an independent
publicly-owned Project Company, i.e. a ‘Public-Public-Partnership’;
(5) The BOO Contract form
applies to PPP’s in the minority of cases where ownership of the Facility
does not revert to Public Authority at the end of PPP Contract.
(Sumber:
Yescombe, E.R., Public Private
Partnerships: Principles of Policy and Finance, 1st Edition,
Oxford:
Elsevier Ltd., 2007, halaman 12)
|
|
Ibid. Perkembangan lebih
lanjut dari konsesi adalah franchise,
atau (untuk menggunakan istilah Perancis yang kurang jelas, affermage). Franchise adalah hak untuk
mengeksploitasi fasilitas yang sudah siap dibangun, sebagai contoh, sama halnya
dengan konsesi namun tanpa tahap awal konstruksi. Penerima hak franchise (franchiese) boleh membayar secara lump-sum (penuh) kepada Pemerintah sebagai imbalan hak tersebut. Franchise tidak dipertimbangkan sebagai
KPS, karena dia tidak melibatkan ketentuan dan peningkatan infrastruktur, akan
tetapi hanya pengoperasian. Meskipun penggunaan konsesi menghilang dibanyak
negara setelah abad ke-19, sejak meningkatnya peran Pemerintah, franchise berlanjut dan menjadi penting,
seperti sektor pengairan di Perancis. Penggunaan konsesi mulai kembali pada
akhir abad ke-20, pada saat kepentingan mulai menumbuhkan model ini dan
tipe-tipe KPS lainnya sebagai alternatif model pendanaan. Tahap selanjutnya
dalam perkembangan model kontrak PFI penuh (’full’ PFI model) adalah penggunaan kontrak-kontrak untuk ketentuan-ketentuan
fasilitas publik dimana risiko penggunaan karena sifatnya melekat tidak dapat
dialihkan ke swasta, seperti sekolah-sekolah dan rumah sakit. Dalam kasus ini
struktur kontrak masih berdasarkan model kontrak PPA, dimana swasta dibayar
oleh Pemerintah untuk ‘ketersediaannya’, seperti, pembangunan fasilitas untuk
spesifikasi yang diminta dan membuatnya tersedia untuk periode kontrak PFI,
juga untuk ketentuan jasa layanan seperti pemeliharaan, pembersihan dan katering.
KPS saat ini dengan demikian didasarkan atas penemuan kembali (rediscovery) atas model kontrak KPS
dengan pendekatan konsesi dan perkembangan model kontrak KPS dengan pendekatan
PFI. Perlu dicatat bahwa di beberapa negara hanya model kontrak PFI yang
disebut sebagai KPS, untuk membedakannya dari model kontrak konsesi.