Welcome to My Blog.

Welcome to My Blog.
My Blog serves the information and consultation concerning to Law and Infrastructure Development in Indonesia.
Have a nice day.
Regards, Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
Lecturer & Researcher

Senin, 06 Agustus 2012

Swastanisasi: Manfaat dan Kegagalan


       Pada abad ke-20 dan dibanyak negara, jaringan utilitas seperti, listrik, telekomunikasi, jalan kereta, penyediaan air, gas alam, secara vertikal dan horisontal terintegrasi dalam monopoli negara dibawah kontrol kementerian negara. Kemudian akhir dekade terjadi perubahan dramatis dalam melihat bagaimana jaringan utilitas  seharusnya dimiliki, diorganisasi dan diatur. Kinerja monopoli BUMN bervariasi ditiap negara. Gelombang dunia swastanisasi dan liberalisasi infrastruktur pada tahun 1990-an adalah awal penting konsensus ekonomi dimana model monopoli Negara tidak lagi diterapkan, dan menerapkan model unbundling (mengurai menjadi beberapa usaha). Swastanisasi adalah cara untuk menerapkan model unbundling tersebut. Namun, beberapa tahun kemudian, swastanisasi ditanggapi secara meragukan. Hal ini terjadi di negara-negara sedang berkembang dan ekonomi transisi terutama di negara-negara Amerika Latin, masyarakat tidak puas dengan swastanisasi. Ketidakpuasan masyarakat dengan swastanisasi telah dibakar dengan berkurangnya pekerjaan, dan masalah kunci atas pendapatan yang tidak sesuai. Efisiensi dan persaingan usaha berakibat pengurangan pekerjaan yang berlebihan, dan terakhir peran lembaga-lembaga melemah dan butuh waktu panjang untuk berkembang. [1]
            Sangat sulit dan memerlukan biaya yang mahal untuk mengubah struktur kelembagaan, baik secara vertikal maupun horisontal setelah swastanisasi. Kemudian, ketiadaan regulasi yang menjelaskan permasalahan aturan main untuk investor potensial bisa menyebabkan peningkatan risiko yang akan menghantam swastanisasi. Dengan demikian, seharusnya restrukturisasi yang memperkenalkan persaingan harus terjadi sebelum swastanisasi, dan regulasi seharusnya berada untuk menjamin pembeli potensial, baik untuk elemen persaingan dan monopoli.[2]
            Gejala ini seperti roda yang berputar. Banyak utilitas publik yang diswastanisasi dalam tahun 1980-an dan 1990-an. Sebagai contoh, swastanisasi di Inggris dan sebagian Amerika Latin, di mulai setelah periode perang dunia kedua.  Dalam kasus-kasus Brazil dan Argentina, kemudian telah dilakukan nasionalisasi pada tahun 1960-an dan 1970-an. Usaha-usaha infrastruktur menjadi di atur lebih ketat sejak saat itu dengan berbagai alasan. Hal ini membawa akibat berkurangnya pendapatan, dan kemudian berkurangnya investasi dan jasa layanan dengan kualitas rendah. Dibanyak negara hal ini kadang-kadang membawa akibat pengambilalihan oleh sektor publik. Ketidakefisienan dan harga yang lebih populis mengurangi sumber-sumber investasi, dan dengan pemerintahan yang tidak mampu untuk mendukung ini dengan pajak pendapatan, kemudian mendorong kembali ke ketentuan swasta. [3]
            Strategi yang harus dilakukan Pemerintah dalam reformasi dan swastanisasi adalah harus diterimanya kenyataan mengenai akibat dan manfaat tipe-tipe skema partisipasi swasta. Meskipun demikian, kontrak-kontrak manajemen yang dirancang dengan baik dan sewa guna (leasing) telah menghasilkan hasil positif dan membawa perbaikan dalam ketentuan-ketentuan infrastruktur, dan untuk itu akan berlanjut memainkan peran. [4]
            Dalam konteks komersialisasi, maka apabila sektor swasta berperan lebih besar dalam ketentuan jasa-jasa layanan infrastruktur, dia akan memberikan modal atau manajemen, atau keduanya. Apabila dia memberikan baik modal maupun manajemen, maka kemudian struktur yang ada atas kontrol dan manajemen sektor publik harus diubah untuk regulasi sistem yang lebih tegas dan untuk memonitor badan-badan swasta oleh badan-badan publik (public agencies). Apabila tidak demikian, maka ide-ide dan pemikiran swasta perlu dipinjam sebagai gantinya. Ada tiga cara dimana infrastruktur berorientasi komersial: Pertama, pada kebanyakan tingkat dasar, sektor publik dapat dioperasikan dengan suatu cara dimana mirip dengan cara kerja sektor swasta. Kedua, Pemerintah dapat mencari pemasok swasta secara terbatas melalui berbagai bentuk KPS. Terakhir, alternatif ketiga, Pemerintah dapat memilih swastanisasi penuh atas beberapa jasa-jasa layanan publik.[5]
            Swastanisasi biasanya memiliki tugas yang kompleks, dia tidak hanya masalah pencapaian penjualan aset-aset atau mengizinkan pemain baru. Selain adanya keberhasilan swastanisasi, kegagalan swastanisasi banyak terjadi di beberapa negara. Keberhasilan yang signifikan dari swastanisasi adalah seperti para pendukung swastanisasi federal di Amerika Serikat masa kepemerintahan Presiden Reagan tahun 1980-an, yaitu penjualan ”Conrail” pada tahun 1987 yang merupakan perusahaan ”freight railroad” milik Pemerintah yang sangat buruk kondisinya.[6]
            Dalam sejarah, Inggris diakui sebagai pemimpin (leader) kebijakan-kebijakan swastanisasi. Pada pemilihan Pemerintahan konservatif tahun 1979, swastanisasi muncul sebagai isu kebijakan yang penting dan kontroversial. Banyak rencana dan tindakan swastanisasi yang diterbitkan Pemerintahan Thatcher di Ingrris Sejas tahun 1979 dan melanda keseluruh dunia.[7] .Namun dalam catatan Sheperd pada tahun itu juga, swastanisasi menyembunyikan (has shrunk) serangkaian kegagalan preusan-perusahaan pada awal penyelamatannya. Beberapa perusahaan yang diswastanisasi benar-benar menghadapi kompetisi yang kuat: contohnya adalah British Rail Hotels dan Jaguar (automobiles). Perusahaan gas Inggris juga menghadapi pengalaman yang sama, dimana kompetisi tidak efektif. Bis travel dalam kota ”National Express” yang merupakan monopoli tidak dijual, namun pemain baru dibuka pada tahun 1980 untuk jalur yang sama sehingga mengurangi porsi jalur. Penjualan British Airways juga telah gagal untuk membangkitkan kompetisi yang efektif atau pemain baru. Pengalaman kegagalan swastanisasi Inggris tersebut memperlihatkan bahwa kompetisi yang efektif tidak mungkin berkembang dalam pasar yang monopolistik, sehingga swastanisasi yang sudah ada dapat mempertahankan perilaku monopoli. Dengan demikian swastanisasi diperlukan keseimbangan kepemilikan secara berhati-hati, ”entry support” dan regulasi, dibawah kondisi-kondisi yang baik.[8]
            Setelah menjadi model oleh Inggris pada tahun 1980-an, swastanisasi sekarang menjadi tidak jelas di seluruh dunia. Sebagian disebabkan karena tekanan yang lebih besar pada pasar bebas (on free markets), dan maksud swastanisasi agar pasar bekerja lebih baik, kedua hal tersebut menempati pusat pemikiran masyarakat internasional dan yang memberi dukungan pembiyaan untuk melakukan pengaturan kembali secara struktural. Keberhasilan negara-negara industri tidak berbagi secara universal. Diakui telah menjadi permasalahan dalam kasus-kasus (seperti di Argentina, Chilie dan Mexico). Di negara-negara sedang berkembang keberhasilan tersebut belum membuahkan hasil.[9]
            Progres swastanisasi di tujuh negara (Jamaica, Kenya, Malawi, Malaysia, Papua New Guinea, Sri Lanka, Trinidad and Tobago) berjalan lambat. Dari ketujuh negara yang diteliti hanya 98 perusahaan (BUMN) yang telah diswastanisasi (baik secara total atau sebagian) melalui penjualan atau leasing (sale or leasing) dari sekitar 2,000 BUMN. Proses swastanisasi cenderung terkonsentrasi pada perusahaan (BUMN) kecil sehingga swastanisasi hanya menyaring permukaan dari ”state sector holdings”.[10]
            Banyak permasalahan yang timbul dari swastanisasi sperti masalah kerangka regulasi, apakah swastanisasi dapat memperbaiki kinerja BUMN, apa peran Pemerintah yang sesuai dengan masa swastanisasi, dan apakah swastanisasi adalah suatu perencanaan yang mahal.[11] Namun, program-program swastanisasi dibanyak negara baik negara berkembang maupun negara sedang berkembang tercatat banyak keberhasilan.[12] Sebagai contoh program swastanisasi di Indonesia apda tahun 1998-1999 telah memberikan sekitar US $ 1,5 billion sebagai sumber anggaran Pemerintah.[13] Namun dari manfaat keberhasilan swastanisasi di Indonesia tersebut terdapat juga kegagalan yang harus dicatat, yaitu seperti swastanisasi Bank BNI 1946 mencatat kerugian pada tahun fiskal 1998-1999 akibat masalah mis-management, juga Indosat pada tahun 1999 mengalami kesulitan finansial akibat tindakan direksi.[14]
            Sebagai contoh keberhasilan swastanisasi yang dapat dipelajari adalah swastanisasi PT Telkom di Indonesia. Pemerintah melakukan restrukturisasi perusahaan sebelum dilakukan swastanisasi penuh. PT Telkom juga melakukan skema joint-operation dengan perusahaan-perusahaan telekomunikasi asing, seperti Singtel of Singapore, Cabel et Radio SA of  France, dan Japanese company NTT, serta juga perusahaan-perusahaan lokal. Denga skema tersebut PT Telkom telah melakukan ”transfer of technology  and management schemes”.[15]
            Dapat disimpulkan dari swastanisasi, bahwa dari beberapa contoh, swastanisasi dapat memperbaiki kondisi dan ketentuan sosial (social provision). Bahakan adalah memungkinkan  untuk mengkombinasikan swastanisasi dengan peningkatan kesamaan atau kesedarajatn (equality). Apabila kebanyakan swastanisasi tidak sederajat (inegalitarian) dalam praktik, hal ini adalah bukan hasil dari kualitas yang melekat dalam semua ketentuan struktur swastanisasi, akan tetapi disebabkan karena nilai-nilai social dan politik yang menimbulkan tekanan swastanisasi.[16] 

Dr. Iwan Erar Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn


[1] Kessides, 1-7. Unbundling: adalah mempromosikan persaingan, menjamin perusahaan menyediakan jasa layanan dengan harga yang efisien, dia dapat mengurangi regulasi dengan mengisolasi segmen monopoli dan mengganti regulasi dengan kompetisi atau persaingan. Untuk mendapatkan manfaat unbundling ini, kebijakan-kebijakan perlu mengharmonisasikan kekeliruan regulasi dari kegiatan monopoli dengan meningkatkan persaingan. Dengan demikian, unbundling membuat tugas regulasi semakin kompleks dan akan terkendala dengan lemahnya kapasitas kelembagaan. Sangat sulit untuk menciptakan lembaga-lembaga dalam masyarakat yang tidak memiliki tradisi konstitusional, politik dan hukum yang diperlukan. Dengan demikian untuk mencapai tujuan kepentingan publik atas swastanisasi akan butuh waktu panjang sejak reformasi tersebut diperkenalkan.
[2] Ibid., 7-8.
[3] Harris, 39-40. 
[4] Ibid.  Perlu waktu untuk memperbaiki sentimen pasar, memperbaiki tidak efisiennya badan usaha publik dan membuatnya lebih menarik bagi penawar potensial. Permasalahan ini timbul karena Pemerintah terlalu cepat memperkenalkan sektor swasta, dan bahwa ketentuan komersialisasi dalam sektor publik untuk beberapa periode sebelum reformasi secara mendalam akan membawa perubahan besar untuk kesuksesan ketentuan swasta. Dari pengalaman ada beberapa kekurangan. Pertama, sering terbukti sulit untuk memperbaiki kinerja badan-badan usaha publik dan juga hal khususnya adalah tidak efisien yang sangat tinggi. Kedua, sejak sektor swasta tidak ingin menempatkan modalnya dalam risiko proyek-proyek infrastruktur di negara-negara sedang berkembang, Pemerintah mempertimbangkan konsesi atau divestitures akan mengganti pilihan-pilihan seperti kontrak-kontrak ”lease and management” sebagai ganti. Terakhir, karena sektor swasta tidak membiayai investasi, pendekatan-pendekatan seperti kontrak-kontrak manajemen memberikan lebih sedikit tekanan untuk terikat pada ”cost-covering tariffs”. Dengan demikian, perbaikan mobilisasi sumber internal bisa lebih dibatasi dan pendekatan-pendekatan ini juga akan menyandarkan pada suatu tingkat pertimbangan atas pembiayaan publik, yang juga mungkin terbatas.
[5]Grimsey and Lewis, 33. Perjalanan KPS telah memberikan tanda perubahan yang berarti dalam kebijakan infrastruktur. Kebijakan infrastruktur dengan demikian dapat dipikirkan mencakup tiga tingkat: (1) network planning (this means long-term planning of infrastructure at central and regional levels), (2) financing, (3) operation (construction, operations, maintenance, and so on).
[6] Donahue, John D. The Privatization Decision (USA: Basic Books, 1989), 5.
[7] Nugraha, 19.
[8] Shepherd, 515-516.
[9] Adam, Christoper, et al. Adjusting Privatization (London: James Currey Ltd.,  1992), ix.
[10] Ibid., 39.
[11] Nugraha, 96-97.
[12] Ibid., 154.
[13] Ibid., 105.
[14] Ibid., 152.
[15] Ibid., 164-165.
[16]  Michael O’Higgins, Social Welfare and Privatization: The British Experience, 176, (dalam buku Kamerman, Sheila B., and Kahn, Alfred J., ed. Privatization and the Welfare State. New Jersey: Princeton University Press, 1989).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar