Konsesi selalu memerlukan
hukum yang khusus terkait dengan suatu proyek, atau memerlukan kerangka hukum
terkait konsesi secara umum, untuk memperkenankan perusahaan-perusahaan swasta
membayar atau mengumpulkan pendapatan dari para pengguna, dalam rangka menyediakan
jasa layanan publik. Di beberapa negara, khususnya negara-negara common-law (yaitu dimana sistem hukumnya
berasal dari Inggris) KPS model kontrak inisiatif pembiayaan swasta (PFI)
diperlakukan sebagai variasi pengadaan Pemerintah, untuk mana tidak ada
pengaturan hukum yang khusus yang dibutuhkan. Dilain pihak, utamanya di
negara-negara civil-law (yaitu dimana
sistem hukumnya berasal dari kitab undang-undang hukum Perancis), hukum-hukum
KPS yang khusus diperlukan untuk suatu kerangka kontrak tipe ini, hal yang sama
juga pada hukum-hukum konsesi. Negara-negara civil-law juga sering memiliki kerangka-kerangka hukum yang
terpisah dan pengadilan-pengadilan untuk hukum administrasi publik, termasuk
KPS. Dengan demikian perlu untuk negara Perancis, sebagai contoh, untuk
menghasilkan suatu undang-undang KPS yang khusus untuk mengatasi
hambatan-hambatan hukum pada KPS model PFI, seperti:[1]
(a). Ketentuan untuk mengatur pengadaan investasi
yang terpisah untuk konstruksi dan pekerjaan pengoperasian dan pemeliharaan
jangka panjang lebih baik dari pada mengkombinasikannya dalam KPS (the requirement to conduct separate tenders
for construction and long-term operation
and maintenance works, rather then combinig them as in a PPP);
(b). Larangan penundaan pembayaran-pembayaran untuk
pekerjaan publik - berdasarkan kewajiban terhadap anggaran yang akan datang yang
secara hukum harus disetujui dengan basis tahunan, dan tidak dapat diikat
terlebih dulu (prohibition of deferred
payments for public works - on the
grounds that this was an obligation against future budgets which legally have
to be agreed on an anuual basis, and cannot be committed in advance);
(c). Pembatasan pengalihan kontrol infrastruktur
publik (limitations on transfer of
control of public-sector infrastructure);
(d). Ketentuan-ketentuan jaminan pemberi pinjaman
(lenders’ security requirements);
Banyak pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam
pembiayaan swasta untuk penyediaan jasa-jasa layanan publik yang dikenal
sebagai KPS. Konsesi (concessions)
merupakan model yang paling panjang sejarahnya, kemudian berkembang model-model
kontrak KPS seperti model perjanjian penjualan energi atau power purchase agreement (PPA), model inisiatif pembiayaan swasta
atau private finance inisiative (PFI),
juga alternatif-alternatif model lain seperti model pengadaan sektor publik (public-sector procurement), model
pengambilalihan paska konstruksi (post-construction
take-out), model pendanaan sektor publik (public-sector debt funding), model kerjasama usaha patungan
permodalan (joint-venture), dan model
struktur non-profit (not-for-profit
structures).[2]
Banyak jasa layanan infrastruktur akan menjadi monopoli,
apakah dalam tangan publik atau swasta. Dengan demikian, fungsi regulasi muncul
apakah dengan melibatkan ketentuan swasta atau tidak. Sebagaimana yang telah
dijelaskan, konflik-konflik kepentingan yang mendasar memberikan pengertian
bahwa Pemerintah umumnya dengan cara yang buruk melakukan pekerjaan
mengkombinasikan regulasi dengan kepemilikan dari ketentuan jasa layanan.[3]
Di
negara-negara dengan kapasitas relatif kecil, banyak fungsi-fungsi teknis
regulasi dapat diserahkan pada pihak lain (contracted
out). Kontrak-kontrak khusus banyak disediakan pada para investor, namun
penyesuaian-penyesuaian harus dibuat melalui renegosiasi-renegosiasi, yang akan
melibatknan biaya-biaya yang signifikan. Meningkatnya kebijakan dalam
sistem-sistem regulasi dan memfasilitasi penyesuaian untuk hal-hal baru, namun
membuka para investor ke risiko-risko politik dan regulasi. Pada akhirnya,
bagaimanapun juga, tidak terhindarkan kebutuhan untuk beberapa bentuk kebijakan,
yang tidak dapat siap diserahkan keluar. Keputusan-keputusan kebijakan mungkin
lebih baik ditangani oleh suatu badan Pemerintah (agencies) yang secara teknis berkompeten dan menyekat
tekanan-tekanan politis dalam jangka pendek.[4]
Dalam
pengalaman penerapan badan-badan pengatur (regulatory
agencies) dan kerangka regulasi, masalah-masalah legitimasi adalah hal
penting khususnya dalam bagaimana mereka mengalokasikan risiko-risiko dan pemberian hak (rewards). Regim Pemerintah dengan kekuatan insentif tinggi seperti
mematok harga (price caps) diadvokasi
karena, dengan menempatkan risiko-risko yang lebih banyak pada swasta, mereka
akan memberikan insentif-insentif yang kuat untuk mengurangi biaya-biaya. Hal
ini akan memberi manfaat pada pengguna (consumers)
selama badan pengatur dapat melampaui penghematan biaya pada para pengguna (consumers) sampai review regulasi dikemudian hari. Namun hal ini memunculkan
masalah-masalah legitimasi secara politis: penghematan efisiensi hanya timbul
apabila perusahaan-perusahaan membuat keuntungan yang substansial yang dapat
kemudian melampaui sebagai biaya-biaya yang lebih rendah. Kehadiran
keuntungan-keuntungan ini bisa mengurangi kepercayaan publik dalam sistem regulasi.[5]
Regulasi
yang dikeluarkan oleh badan-badan pengatur tersebut berperan secara sentral
dalam persaingan usaha dalam jaringan fasilitas. Pemerintah juga memiliki peran
permanen dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan anti-monopoly dan anti-trust,
yang menjamin persaingan usaha tidak ditekan oleh kekuatan monopoli swasta atau
oleh kolusi diantara atau kombinasi para pesaing. Dalam penelitian World Bank, banyak badan pengatur yang
baru (new regulatory agencies) tidak
independen dan tidak dipisahkan dari kondisi-kondisi kontrol politik apabila
swastanisasi ditujukan untuk mencapai kepentingan publik. Untuk efektifnya suatu regulasi, maka badan-badan
pengatur tersebut haruslah bersifat:[6]
(a). Coherence:
berarti regulasi untuk masing-masing sektor infrastruktur harus saling
melengkapi dan mendukung secara bersama, kegiatan regulasi baik pusat maupun
daerah haruslah harmonis dan dengan jelas mendefinisikan tanggungjawabnya.
(b). Independence: berarti regulasi yang efektif
memerlukan suatu hal dimana regulator secara luas bebas dari pengaruh politik,
khususnya atas dasar kegiatan harian atau keputusan-keputusan. Badan tersebut
harus objektif, tanpa tekanan politik dalam mengatur aturan.
(c). Accountability: berarti regulator yang independen harus
sejalan dengan akuntabilitas, artinya, mengizinkan regulator menetapkan harga
dan standar kualitas yang akan memberikannya kekuasaan yang besar untuk membagi
sewa (rents).
(d). Transparency: berarti regulasi infrastruktur adalah
suatu masalah kebijakan yang penting, dan dalam negara demokrasi semua orang
membutuhkan transparansi informasi untuk mengevaluasi kinerja Pemerintah.
(e). Predictability:
berarti badan regulasi dapat diperkirakan apabila mereka mengikuti aturan
hukum, khususnya dalam hal keputusan-keputusan hukum sebelumnya (precedent) dan kasus-kasus yang sama
faktanya diputuskan dengan cara yang sama setiap saat (the principle of stare decisis).
(f). Capacity:
berarti tanggungjawab badan pengatur harus sesuai dengan anggaran keuangan dan
sumber daya manusianya.
Beberapa
keputusan harus dibuat terkait masalah organisasi tata kelola (governance) regulasi. Bagaimana
seharusnya tanggungjawab-tanggungjawab regulasi dilaksanakan diantara
pemerintahan (pusat maupun daerah)? Apakah badan pengatur berfokus pada
industri-industri yang spesifik, atau apakah mereka mengawasi sektor-sektor
yang multipel (banyak)? Bagaimana seharusnya tanggungjawab-tanggungjawab secara
fungsional, untuk masalah-masalah: harga, lisensi, kualitas, dan pertimbangan
lingkungan dialokasikan? Dan tipe hubungan yang seperti apa badan pengatur
dengan sektor kementerian dan dengan persaingan usaha atau otoritas anti-trust?
Merancang regulasi melibatkan banyak
tawar-menawar (trade-offs), untuk itu
beberapa alternatif bisa dilihat, sebagai berikut:[7]
(a). Desentralisasi
dan sentralisasi badan pengatur.
Dalam hal
desentralisasi badan pengatur, akan membuat Pemerintah daerah bertanggungjawab
untuk mengatur regulasi utilitas, dengan keuntungan-keuntungan: mempermudah
kondisi dan persyaratan lokal membentuk regulasi, mengarahkan badan pengatur
lebih dekat pada layanan, mempermudah mereka untuk mengumpulkan informasi yang
lebih baik atas para pelanggan atau pemakai, mempromosikan diantara badan
pengatur Pemerintah daerah untuk menarik investasi swasta, dan bisa memperbaiki
pelaksanaan keputusan-keputusan regulasi.
Dalam hal
sentralisasi badan pengatur, memiliki keuntungan-keuntungan, seperti pertama, struktur regulasi nasional
membuat penggunaan terbaik atas keahlian yang langka dan meminimalkan
biaya-biaya regulasi (seperti dalam memelihara kantor-kantor regional). Kedua, sentralisasi juga mengurangi
risiko-risiko perlombaan regulasi kebawah, pada saat wilayah-wilayah bersaing
untuk investasi dengan risiko keuangan yang tinggi atau standar lingkungan yang
lebih rendah. Ketiga, sentralisasi
bisa diperlukan apabila wilayah-wilayah terlalu kecil untuk mendukung skala
efisiensi atau lingkup pengoperasian untuk industri-industri tertentu.
Dengan
demikian masalah-masalah yang timbul dari keliruan regulasi atas sentralisasi
atau desentralisasi memangkas lembaga-lembaga yang besar (wide range) dan mencerminkan karakterisktik-karakteristik dan
hambatan-hambatan suatu negara. Dalam hal ini, analisa biaya dan manfaat dari
kedua pendekatan harus mencerminkan struktur kelembagaan suatu negara dan
keutamaan teknologi suatu industri.
(b). Badan
pengatur tunggal (umum) atau terpisah (spesifik).
Apabila
tanggungjawab-tanggungjawab regulasi dilaksanakan oleh pemerintahan secara
tunggal, apakah pemerintahan harus menciptakan beberapa badan pengatur industri
yang spesifik, atau suatu badan tunggal dengan mandat atau kewenangan yang
lebih luas?
Dalam hal
membentuk beberapa badan pengatur secara terpisah (spesifik) memiliki
manfaat-manfaat keuntungan. Dia mengakui karakteristik-karakteristik secara
ekonomi dan teknologi masing-masing industri infrastruktur dan memungkinkan
badan pengatur membangun secara mendalam, keahlian-keahlian khusus industri.
Dia juga memindahkan risiko-risiko kegagalan kelembagaan dan mendorong
respon-respon inovasi pada tantangan regulasi.
Dalam hal
menggunakan satu badan pengatur untuk beberapa industri secara tunggal (umum)
juga terdapat manfaat-manfaat keuntungan. Dia memungkinkan untuk berbagi
biaya-biaya tetap (fixed costs),
keahlian yang terbatas (scarce talent),
dan sumber-sumber lainnya. Konsolidasi juga membangun keahlian dalam
masalah-masalah regulasi yang bertentangan atau tumpang tindih:
meng-adminitrasikan aturan-aturan penyesuaian tarif, memperkenalkan persaingan
usaha dalam indusrti-industri monopolistik, dan mengatur hubungan-hubungan
dengan para pemangku kepentingan (stakeholders),
serta tanggungjawab-tanggungjawab yang lebih luas dari badan pengatur
multi-industri mengurangi ketergantungannya atas salah satu industri. Dengan
demikian membantu melindungi terhadap permasalahannya. Badan pengatur
multi-industri bisa lebih baik dalam independensi yang lebih besar dari sektor
kementerian-kementerian di departemen.
Dr.
Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
[1] Yescombe, 31-33. Sejumlah negara
telah membuat atau secara substansial mengubah hukum-hukum KPS (khususnya
terkait model kontrak PFI) akhir-akhir ini, seperti di Italy (in
2002), Belgium(Flanders), Portugal,
dan Spain (in 2003), Brazil (at
both federal and state level) dan France
(in 2004), dan Greece, South
Korea, Poland
dan Rusia (in 2005). Beberapa negara bagian Amerika Serikat
juga telah membuat atau mengubah aturan hukum atas konsesi-konsesi jalan bebas
hambatan (highway). Selain melihat hambatan-hambatan hukum KPS
perlu juga diperhatikan kerangka kerja legislasi untuk memilih model KPS serta
juga memperhatikan pendekatan kontrak.
[2] Yescombe, 4-11.
[3] Harris, 33.
[4] Ibid., 34.
[5] Ibid. Prosedur-prosedur
regulasi harus predictable, accountable, dan
tarnsparent. Badan regulasi harus: (a) Have competent, non-political,
professional staff-expert in relevant economic, accounting, engineering, and
legal principles and familiar with good regulatory practices; (b) Operate in a
statutory framework that fosters competition and market-like regulatory
practices; (c) Be subject to substantive and procedural requirements that
ensure integrity, independence, transparency, and accountability (lihat
: Ioannis N. Kessides, Reforming Infrastructure, 18).
[6] Kessides, 79-91. Dalam penelitian World Bank, banyak negara-negara sedang berkembang dan ekonomi
transisi, kurang dalam persyaratan kelembagaan untuk regulasi yang efektif,
termasuk: (a) Separation of powers,
especially between the executive and the judiciary; (b) Well-functioning,
credible political and economic institutions – and an independent judiciary
(Bergara, Henisz, and Spiller 1998); (c) A legal system that safeguards private
property from state or regulatory seizure without fair compensation and rellies
on judicial review to protect against regulatory abuse of basic principles of
fairness; (d) Norms and laws – supported by institutions – that delegate
authority to a bureaucracy and enable it to act relatively independently; (e)
Strong contract laws and mechanism for resolving contract disputes; (f) Sound
administrative procedures that provide broad acces to the regulatory process
and make it transparent; (f) Sufficient professional staff trained in relevant
economic, accounting, and legal principles. Tentu untuk membangun hal ini membutuhkan
waktu. Indonesia termasuk
negara yang terburuk kondisi badan pengatur diantara negara-negara di Asia.
[7] Ibid., 95-99. Beberapa negara melakukan
“cross-sectoral regulatory frameworks” untuk infrastruktur swasta, termasuk
Brazil, Bulgaria, Chile, China, Colombia, Hungary, the Philippines, dan
Vietnam. Secara detail sangat beragam ditiap-tiap negara, namun elemen kunci
aturan-aturan hukumnya adalah: (a) which
infrastructure sectors are open to private participation, (b) which agencies
are responsible for approving private projects or contracts, (c) tariff
adjustment, (d) contract amendment and termination, (e) competitive bidding,
including the scope of exceptions, (f) availability of internatinal arbitration,
(g) other issues important to private infrastructure arrangments that are not
dealt with adequately in other laws. Examples vary from country to country but
include the treatment of security interests in private projects and rules on
liquidated damages (that is rules regarding setting in advance of the amount of
compensation to be paid in case of certain breaches of obligations). Sumber:
Kerf and Smith (1996), lihat: Michel
Kerf, et al., Concessions for Infrastructure, 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar