Hubungan swastanisasi dan negara sejahtera
telah banyak ditulis dan dibahas oleh para ahli. Hasilnya paling tidak adalah bersifat paradoks.
Satu sisi, para penulis, bersimpati atas ide swastanisasi. Mereka yang
bersimpati atas ide swastanisasi ini menerima sebagai hal yang tidak dapat
dihindari dalam ekonomi, yang bercampur dan rumit dan mereka percaya beberapa
hal dari swastanisasi tidak dapat dihindari dengan alasan historis. Mereka
mengakui ide swastanisasi pada suatu saat akan mengklaim keuntungan-keuntungan
efisiensi dan kelenturan yang lebih besar. Di sisi lain, mereka juga melihat kebutuhan untuk
terus mempertahankan suatu peran untuk jasa layanan publik. Mereka melihat
bahwa untuk menjamin keuntungan-keuntungan potensial swastanisasi hanya dapat
dicapai apabila swastanisasi dilaksanakan secara benar dan tidak sembarangan.[1]
Pengertian negara sejahtera (welfare state) telah diberikan oleh
banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu. Pertama,
kebanyakan secara umum diterima pengertian negara sejahtera sebagai suatu hal
dimana Pemerintah memainkan suatu peran yang positif dalam mempromosikan
kesejahteraan sosial. Negara sejahtera juga suatu hal yang memberikan persamaan
yang penuh bagi semua orang. Negara sejahtera harus menghilangkan rintangan
yang mencegah persamaan yang penuh dan merupakan visi dan dorongan kuat
disamping proses melembagakan negara sejahtera. Kedua, negara sejahtera juga diartikan sebagai standar minimal
kesejahteraan sosial. Dibanyak Negara, hakekat negara sejahtera terletak pada
standar minimal Pemerintah yang dilindungi: pendapatan, nutrisi, kesehatan,
perumahan dan pendidikan. Ketiga,
negara sejahtera terkait pemindahan pembayaran-pembayaran dan ketentuan
langsung dari jasa-jasa layanan sosial. Keempat,
negara sejahtera adalah dimana setiap komunitas politik prinsipnya menyediakan
atau mencoba menyediakan kebutuhan anggotanya sesuai yang diinginkan
anggotanya. Kelima, sebagai suatu
model untuk masyarakat.[2]
Dengan demikian negara sejahtera banyak
melibatkan aktivitas Pemerintah, konsep negara sejahtera menjadi berkembang
secara ekstensif dimana-mana. Banyak penerapan-penerapan yang dicoba
negara-negara dalam pelaksanaan negara sejahtera. Selama akhir tahun 1980-an,
suatu keyakinan kuat dalam pengecekan kekuatan bangsa-bangsa negara sejahtera
dan penguatan sektor swasta yang ada muncul dibanyak negara. Suatu gambaran
bagaimana masyarakat di negara-negara tersebut percaya bahwa:[3]
Unless
the welfare state is tempered and the role of private sector is strengthened,
poverty and dependency will increase, not diminish, and the role of government
will grow increasingly intrusive and produce further unforeseen negative
consequences.
Dalam hubungannya dengan negara sejahtera, Paul
Starr mengatakan bahwa swastanisasi merupakan suatu konsep yang tidak jelas:[4]
Privatization
is a fuzzy concept that evokes sharp political reactions. It covers a great
range of ideas and policies, varying from the eminently reasonable to the
wildly impractical. Yet however varied and at times unclear in its meaning,
privatization has unambiguous political origins and objectives.
Swastanisasi tersebut muncul dari perlawanan
terhadap perkembangan Pemerintah di barat dan mewakili kebanyakan usaha-usaha
konservatif yang serius dari waktu kita untuk menyusun suatu alternatif yang
positif. Usulan swastanisasi tidak bertujuan hanya untuk mengembalikan
jasa-jasa layanan pada lokasi awal mereka di ruang swasta. Beberapa usulan
mencari untuk menciptakan bentuk baru hubungan pasar dan menjanjikan
hasil-hasil yang dapat diperbandingkan atau melebihi dari program-program publik
yang konvensional. Dengan demikian adalah suatu kesalahan untuk memberikan
pengertian dan melepas pergerakan secara sederhana yang mengulang perlawanan
secara tradisional pada intervensi negara dan pengeluaran negara. Gelombang swastanisasi
saat ini mulai membuka babak baru dalam konflik terhadap kesimbangan publik dan
swasta.[5]
Pengertian
swastanisasi tidak mendapat sirkulasi yang luas dalam politik sampai akhir
tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an. Dengan bangkitnya
pemerintahan-pemerintahan konservatif di Inggris dan Amerika Serikat,
swastanisasi datang terutama dalam dua arti:[6]
(a). Setiap pemindahan aktifitas-aktifitas atau
fungsi-fungsi Negara ke sektor swasta (any
shift of activities or functions from the state to the private sector);
(b). Lebih khusus lagi, setiap pemindahan dari
publik ke swasta atas produksi barang dan jasa (more specifically, any shift from public to private of the production
of goods and services).
Disamping menghasilkan jasa-jasa layanan secara
langsung, Pemerintah membentuk kerangka kerja hukum (legal framework) masyarakat dan mengatur kehidupan sosial dan
ekonomi, dan mereka membiayai jasa-jasa layanan dimana secara swasta dihasilkan
dan dikonsumsi.[7] Swastanisasi juga tidak harus secara otomatis dipersamakan dengan
peningkatan persaingan. Dua proses terkait, yaitu swastanisasi dan liberalisasi,
dengan demikian perlu secara hati-hati dibedakan. Liberalisasi secara umum
berarti pengurangan kontrol Pemerintah. Dalam konteks ini, dia mengacu pada
membuka suatu industri pada tekanan-tekanan yang kompetitif. Menerapkan
deregulasi dari monopoli publik adalah suatu bentuk swastanisasi yang juga suatu
proses liberalisasi.[8]
Dimungkinkan melakukan swastanisasi tanpa
melakukan liberalisasi. Sebaliknya,
dimungkinkan juga, melakukan liberalisasi tanpa swastanisasi, dengan
memperkenalkan persaingan dalam sektor publik tanpa mengalihkan kepemilikan.
Dengan demikian, dimungkinkan melakukan nasionalisasi dan liberalisasi pada
saat yang bersamaan, sebagaimana negara sosialis Perancis melaksanakannya pada
tahun 1980-an saat mereka terlebih dulu melakukan nasionalisasi bank-bank dan
kemudian melakukan liberalisasi pasar finansial.[9]
Dapat diambil kesimpulan bahwa Pemerintah
dan sektor swasta beroperasi secara terpisah dan bersama dalam banyak cara
untuk menyediakan jasa-jasa layanan kesejahteraan sosial. Negara boleh mendapat
hak khusus atau semua bidang, mendominasi, atau secara damai berdampingan
dengan pelaku-pelaku pembangunan lainnya, bekerja secara aktif dalam suatu
model kolaborasi atau persaingan, atau memindahkan inisiatif administrasi dan
kebijakan. Apakah Pemerintah dominan atau pasif, peran regulasinya
memperbolehkannya yang secara potensial selalu menjadi faktor utama.
Kesejahtreraan sosial swasta tentu akan tetap ada tanpa Pemerintah, namun
alat-alat pemerintahan mempengaruhi ukuran dan bentuk dari bangunan
kesejahteraan sosial tersebut.[10] Apabila satu dari banyak komponen dari
tindakan yang direncanakan (planned
action) yaitu swastanisasi diperlakukan sebagaimana halnya anak sapi emas (a golden calf), maka keputusan nasional
dapat rusak.[11]
Dr. Iwan Erar Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
[1] Kamerman and Kahn, ed., 261.
[2] Safri Nugraha, Privatization, 44-50. Briggs memberikan pengertian negara sejahtera sebagai:“…in which organised power is
deliberately used (through politics and administration) in an effort to modify
the play of the market forces in at least three directions – first, by
guaranteeing individuals and families a minimum income irrespective of the
market value of their property; second, by narrowing the extent of insecurity
by enabling individuals and families to meet certain ‘social contingencies’
(for example, sickness, old age and unemployment) which otherwise lead to
individual and family crises; and third, by ensuring that all citizens without
distinction of statusor class are offered the best standars available in
relation to a certain agreed range of social services’.
[3] Ibid. Mengutip Kaufmann,
yang mencoba mengklasifikasi persepsi dominan negara sejahtera sebagai berikut:
1.
A state that provides economic security and social services for
certain categories (or all) of its citizens;
2.
A state that takes care of a substantial redistribution of resources
from the wealthier to the poor;
3.
A state that has instituted social rights as part of citizenship;
4.
A state that aims at security for all and equality among its
citizens;
5.
A state that it is assumed explicitly responsible for the basic
well-being of all its members.
[4] Kamerman and Kahn, ed., 15. Dalam tulisan Paul Starr, “The Meaning of Privatization”.
[5] Ibid.
[6] Ibid., 21-22.
[7] Ibid. Dalam hal menghasilkan jasa-jasa layanan, ada empat tipe
kebijakan-kebijakan Pemerintah yang akan membawa pengalihan dari sektor publik
ke sektor swasta:
a. The cessation of public
programs and disengagement of government from specific kinds of
responsibilities (“implicit privatization”) or, at a less drastic level, the
restriction of publicly produced services in volume, availability, or quality,
leading to a shift by consumers toward privately produced and purchased
substitutes (also called “privatization by attribution”);
b. The transfer to private
ownership of public asset, including sales of public land, infrastructure, and
enterprises;
c.
The financing of private services, for example, through contarcting
out or vouchers;
d. The deregulation of entry
by private firms into activities that were previously treated as a public
monopoly.
[8] Ibid., 25.
[9] Ibid., 26 Pertama, contoh
swastanisasi tanpa melakukan liberalisasi. Pada saat pemerintahan Thatcher
menjual saham-saham British Telcom dan British Gas, dia mengganti monopoli
swasta menjadi publik dan memperkenalkan badan-badan regulasi baru untuk
melaksanakan beberapa fungsi yang sebelumnya dilakukan melalui kepemilikan
publik. Dalam hal pilihan untuk melakukan liberalisasi terlebih dulu (sebelum
swastanisasi), adalah, mendorong persaingan yang lebih besar, yang secara nyata
ditolak, mungkin karena ada ketakutan bahwa hal tersebut akan mengurangi harga
saham perusahaan. Kedua, kebalikanya,
contoh liberalisasi tanpa melakukan swastanisasi. Dalam hal ini, dia
memperkenalkan kompetisi pada sektor publik tanpa pengalihan kepemilikan saham
kepada swasta. Contohnya,
Pemerintah bisa mengalokasikan dana untuk sekolah sesuai dengan pendaftaran
pelajar dimana keluarga-keluarga bebas untuk memilih diantara sekolah-sekolah
publik yang bersaing, atau mereka bisa memaksa perusahaan-perusahaan publik
atau badan-badan pelaksana untuk bersaing dalam hal modal atau kontrak dari
otoritas pada tingkat yang lebih tinggi.
[10] Ibid., 67-68. Tujuan dari melihat hubungan antara swastanisasi dan
negara sejahtera adalah untuk membentuk suatu masyarakat yang responsif yang
membantu orang dan semua orang sehingga puas dengan kebutuhan mereka dan
melindungi hak-hak mereka. Perubahan politik, ekonomi, dan hubungan
internasional menimbulkan penyesuaian dan adaptasi yang terus menerus.
[11] Ibid., 270.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar