Pada
saat Pemerintah selesai melakukan swastanisasi atas alat-alat negara
kesejahteraannya, timbul pertanyaan apakah perusahaan-perusahaan milik negara
tersebut harus terus melanjutkan penyediaan jasa layanan publik untuk
memastikan para pengguna layanan dimana jasa-jasa tersebut tidak dibayar secara
penuh. Haruskah perusahaan-perusahaan tersebut menyediakan suatu iklim usaha
yang bersifat sosial, atau mendistribusikan sumber-sumber non-profit, seperti
jasa-jasa pelayanan penduduk yang jauh, penduduk disuatu kampung, penduduk
miskin, melarat, dan seterusnya. Jasa-jasa tersebut disebut sebagai kewajiban
jasa layanan publik atau public service
obligation (PSO), dan harus disediakan oleh perusahaan-perusahaan yang baru
di swastanisasi, namun tetap aktifitas tersebut mempengaruhi profit.[1]
Kehadiran PSO diperlukan dalam rangka
menjaga agar kegiatan penyediaan barang dan jasa publik, khususnya penyediaan
jasa transportasi perhubungan, tersedia dalam jumlah yang cukup sekalipun tidak
memberikan keuntungan yang cukup bagi penyedian jasa untuk tetap dapat
menjalankan kegiatannya. PSO yang ditawarkan untuk rute-rute yang secara
finansial tidak memberikan keuntungan harus tetap disediakan, karena hal
tersebut diharapkan akan memberikan efek multi-ganda (multiplier effect) secara ekonomi bagi masyarakat di wilayah yang
dilewati oleh rute tersebut.[2]
Terkait dengan penugasan Pemerintah kepada
BUMN untuk menyelenggarakan PSO tentunya Pemerintah harus menyediakan sejumlah
dana pada pos pengeluarannya dalam APBN. Dana yang dianggarkan tersebut
termasuk dalam pos pengeluaran subsidi,[3] untuk bantuan kepada BUMN dalam rangka
menjalankan PSO, diluar jenis subsidi yang diberikan Pemerintah berupa subsidi
listrik, subsidi bahan bakar minyak, subsidi pupuk, subsidi pos dan subsidi
lainnya.[4] Untuk itu, meskipun BUMN didirikan
dengan maksud dan tujuan untuk mengejar keuntungan, tidak tertutup kemungkinan
untuk hal-hal yang mendesak, BUMN diberikan penugasan khusus oleh Pemerintah.
Apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak fisibel,
Pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan
oleh BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan.[5]
Kewajiban layanan universal atau the universal service obligation (USO)
merupakan landasan batu pertama (cornerstone)
dari industri dan kebijakan-kebijakan regulasi di jaringan industri-industri
utama dikebanyakan negara-negara industri sedang berkembang. Khususnya, dia
menempati tempat terhormat dalam perdebatan kebijakan di negara-negara Uni
Eropa dan Amerika Serkat. Bahkan mungkin merupakan blok bangunan utama dari
konsep layanan publik (public service)
sebagai pusat kebijakan regulasi dibanyak negara-negara Eropa. Dalam banyak
contoh, USO secara historis diberikan oleh publik yang monopolistik atau
operator yang telah diatur (regulated
operator) dan mekanisme pembiayaannya yang telah di-disain. Proses
liberalisasi yang masih berlangsung, pada tingkat yang lebih besar, membuat
cara tradisional ini menjadi kuno. Sementara kebutuhan perlindungan monopoli
telah dipertanyakan, ide pelayanan universal relatif tidak tersaingi.
Kebanyakan regulator menyatakan komitmen kuat pada pelayanan universal, yang
selalu memotivasi bagian besar dari intervensi regulasi yang ada, bila tidak
akan meliberalisasi industri-industri. Konsekuensinya, pertanyaan baru muncul
dan otoritas regulasi menghadapi masalah ketentuan organisasi dan keuangan dari
pelayanan universal dalam lingkungan persaingan yang kompetitif.[6]
Dr. Iwan Erar Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
[1] Safri Nugraha, Privatisation of State Enterprises in the
20th Century A Step Forwards or Backwards? (Jakarta:
Institute for Law and Economics Studies, Faculty of Law
University of Indonesia, 2004), 181. PT Kereta
Api yang belum diswastanisasi, adalah contoh yang baik untuk keseimbangan usaha
profit dan non-profit, atau “the cross-subsidising scheme”, dalam usaha
pengoperasiannya. Sementara melayani yang kaya, dengan membuat keuntungan yang
besar, ini adalah dalam posisi untuk memberi jasa-jasa subsidi bagi yaang
miskin, dan disebut “loss profits operations”. Dalam pengoperasiannya,
kebanyakan jasa-jasa penganguktan dibagi dalam tiga kelas pelayanan jasa. Kelas
pertama diperuntukkan untuk pelayanan penumpang-penumpang dengan pendapatan
tinggi, kelas kedua, adalah kelas untuk melayani para pengguna jasa dengan
pendapatan menengah, dan kelas ketiga, adalah kelas yang diperuntukan untuk
melayani para pemegang tiket dengan pendapatan rendah. Contoh lain, dalam
penyediaan air, kebijakan Pemerintah adalah menjamin suplai air untuk penduduk
daerah yang jauh dan daerah perkotaan adalah dengan harga yang sama. Apabila
PSO berpengaruh terhadap keuangan perusahaan, maka adalah tugas Pemerintah
menyediakan subsidi untuk menutup pengaruhnya terhadap keuangan.
[2] Makmun Syadullah, “Evaluasi Pelaksanaan Kewajiban Pelayanan Publik
(Public Service Obligation) dan
Subsidi, Studi Kasus: Bidang Tarnsportasi”,
dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan (JEP), Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI), Vol. XV (2), (2007):
52.
[3] Ibid., 59. Pengertian subsidi, dari Mike Crosetti (1999), seperti yang
dikutip oleh Kadoatje (2002), mendefinisikan subsidi sebagai berikut:
“All measures that keep prices for consumers
below the market level, keep prices for producers above the market level,
reduce costs for consumers or producers by giving direct or indirect financial
support”. Subsidi tersebut dapat berupa uang (cash transfer) dan subsidi
dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in
kind subsidy).
[4] Ibid., 52-53. Pemberian
subsidi tersebut sebenarnya menimbulkan dilema bagi Pemerintah, dimana pada
satu sisi pemberian subsidi dan PSO merupakan konsekuensi dan tugas serta
tanggungjawab Pemerintah namun disisi lain hal tersebut terkendala oleh
terbatasnya anggaran yang tersedia. Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu
dilakukan kajian serta evaluasi terhadap pelaksanaan PSO dalam kaitannya dengan
pemberian subsidi sehingga diharapkan dapat memberikan rekomendasi strategi dan
kebijakan sistem pelaksanaan kegiatan PSO dalam kaitannya dengan subsidi.
[5] Penjelasan Pasal 66 ayat (1)
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Pada
penjelasan Pasal 66 ayat (2) disebutkan bahwa karena penugasan pada prinsipnya
mengubah rencana kerja dan anggaran perusahaan yang telah ada, penugasan
tersebut harus diketahui dan disetujui pula oleh Rapat Umum Pemegang
Saham/Menteri.
[6] Helmut Cremer, Farid Gasmi, Andre Grimaud, and Jean-Jacques
Laffont, “The Economics of Universal Service: Theory”, The Economic Development
Institute of the World Bank, 1998, Copyright © 1998 by the International for
Reconstruction and Development.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar