Welcome to My Blog.

Welcome to My Blog.
My Blog serves the information and consultation concerning to Law and Infrastructure Development in Indonesia.
Have a nice day.
Regards, Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
Lecturer & Researcher

Senin, 27 Agustus 2012

Kerangka kerja hukum, regulasi, dan kelembagaan KPS


Konsesi selalu memerlukan hukum yang khusus terkait dengan suatu proyek, atau memerlukan kerangka hukum terkait konsesi secara umum, untuk memperkenankan perusahaan-perusahaan swasta membayar atau mengumpulkan pendapatan dari para pengguna, dalam rangka menyediakan jasa layanan publik. Di beberapa negara, khususnya negara-negara common-law (yaitu dimana sistem hukumnya berasal dari Inggris) KPS model kontrak inisiatif pembiayaan swasta (PFI) diperlakukan sebagai variasi pengadaan Pemerintah, untuk mana tidak ada pengaturan hukum yang khusus yang dibutuhkan. Dilain pihak, utamanya di negara-negara civil-law (yaitu dimana sistem hukumnya berasal dari kitab undang-undang hukum Perancis), hukum-hukum KPS yang khusus diperlukan untuk suatu kerangka kontrak tipe ini, hal yang sama juga pada hukum-hukum konsesi. Negara-negara civil-law juga sering memiliki kerangka-kerangka hukum yang terpisah dan pengadilan-pengadilan untuk hukum administrasi publik, termasuk KPS. Dengan demikian perlu untuk negara Perancis, sebagai contoh, untuk menghasilkan suatu undang-undang KPS yang khusus untuk mengatasi hambatan-hambatan hukum pada KPS model PFI, seperti:[1]
(a). Ketentuan untuk mengatur pengadaan investasi yang terpisah untuk konstruksi dan pekerjaan pengoperasian dan pemeliharaan jangka panjang lebih baik dari pada mengkombinasikannya dalam KPS (the requirement to conduct separate tenders for  construction and long-term operation and maintenance works, rather then combinig them as in a PPP);
(b). Larangan penundaan pembayaran-pembayaran untuk pekerjaan publik - berdasarkan kewajiban terhadap anggaran yang akan datang yang secara hukum harus disetujui dengan basis tahunan, dan tidak dapat diikat terlebih dulu (prohibition of deferred payments for public works - on the grounds that this was an obligation against future budgets which legally have to be agreed on an anuual basis, and cannot be committed in advance);
(c). Pembatasan pengalihan kontrol infrastruktur publik (limitations on transfer of control of public-sector infrastructure);
(d).      Ketentuan-ketentuan jaminan pemberi pinjaman (lenders’ security requirements);
Banyak pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam pembiayaan swasta untuk penyediaan jasa-jasa layanan publik yang dikenal sebagai KPS. Konsesi (concessions) merupakan model yang paling panjang sejarahnya, kemudian berkembang model-model kontrak KPS seperti model perjanjian penjualan energi atau power purchase agreement (PPA), model inisiatif pembiayaan swasta atau private finance inisiative (PFI), juga alternatif-alternatif model lain seperti model pengadaan sektor publik (public-sector procurement), model pengambilalihan paska konstruksi (post-construction take-out), model pendanaan sektor publik (public-sector debt funding), model kerjasama usaha patungan permodalan (joint-venture), dan model struktur non-profit (not-for-profit structures).[2]       
Banyak jasa layanan infrastruktur akan menjadi monopoli, apakah dalam tangan publik atau swasta. Dengan demikian, fungsi regulasi muncul apakah dengan melibatkan ketentuan swasta atau tidak. Sebagaimana yang telah dijelaskan, konflik-konflik kepentingan yang mendasar memberikan pengertian bahwa Pemerintah umumnya dengan cara yang buruk melakukan pekerjaan mengkombinasikan regulasi dengan kepemilikan dari ketentuan jasa layanan.[3]           
            Di negara-negara dengan kapasitas relatif kecil, banyak fungsi-fungsi teknis regulasi dapat diserahkan pada pihak lain (contracted out). Kontrak-kontrak khusus banyak disediakan pada para investor, namun penyesuaian-penyesuaian harus dibuat melalui renegosiasi-renegosiasi, yang akan melibatknan biaya-biaya yang signifikan. Meningkatnya kebijakan dalam sistem-sistem regulasi dan memfasilitasi penyesuaian untuk hal-hal baru, namun membuka para investor ke risiko-risko politik dan regulasi. Pada akhirnya, bagaimanapun juga, tidak terhindarkan kebutuhan untuk beberapa bentuk kebijakan, yang tidak dapat siap diserahkan keluar. Keputusan-keputusan kebijakan mungkin lebih baik ditangani oleh suatu badan Pemerintah (agencies) yang secara teknis berkompeten dan menyekat tekanan-tekanan politis dalam jangka pendek.[4]
            Dalam pengalaman penerapan badan-badan pengatur (regulatory agencies) dan kerangka regulasi, masalah-masalah legitimasi adalah hal penting khususnya dalam bagaimana mereka mengalokasikan risiko-risiko dan  pemberian hak (rewards). Regim Pemerintah dengan kekuatan insentif tinggi seperti mematok harga (price caps) diadvokasi karena, dengan menempatkan risiko-risko yang lebih banyak pada swasta, mereka akan memberikan insentif-insentif yang kuat untuk mengurangi biaya-biaya. Hal ini akan memberi manfaat pada pengguna (consumers) selama badan pengatur dapat melampaui penghematan biaya pada para pengguna (consumers) sampai review regulasi dikemudian hari. Namun hal ini memunculkan masalah-masalah legitimasi secara politis: penghematan efisiensi hanya timbul apabila perusahaan-perusahaan membuat keuntungan yang substansial yang dapat kemudian melampaui sebagai biaya-biaya yang lebih rendah. Kehadiran keuntungan-keuntungan ini bisa mengurangi kepercayaan publik dalam sistem regulasi.[5] 
            Regulasi yang dikeluarkan oleh badan-badan pengatur tersebut berperan secara sentral dalam persaingan usaha dalam jaringan fasilitas. Pemerintah juga memiliki peran permanen dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan anti-monopoly dan anti-trust, yang menjamin persaingan usaha tidak ditekan oleh kekuatan monopoli swasta atau oleh kolusi diantara atau kombinasi para pesaing. Dalam penelitian World Bank, banyak badan pengatur yang baru (new regulatory agencies) tidak independen dan tidak dipisahkan dari kondisi-kondisi kontrol politik apabila swastanisasi ditujukan untuk mencapai kepentingan publik. Untuk efektifnya suatu regulasi, maka badan-badan pengatur tersebut haruslah bersifat:[6]
(a). Coherence: berarti regulasi untuk masing-masing sektor infrastruktur harus saling melengkapi dan mendukung secara bersama, kegiatan regulasi baik pusat maupun daerah haruslah harmonis dan dengan jelas mendefinisikan tanggungjawabnya.
(b). Independence: berarti regulasi yang efektif memerlukan suatu hal dimana regulator secara luas bebas dari pengaruh politik, khususnya atas dasar kegiatan harian atau keputusan-keputusan. Badan tersebut harus objektif, tanpa tekanan politik dalam mengatur aturan.
(c). Accountability: berarti regulator yang independen harus sejalan dengan akuntabilitas, artinya, mengizinkan regulator menetapkan harga dan standar kualitas yang akan memberikannya kekuasaan yang besar untuk membagi sewa (rents).
(d).      Transparency: berarti regulasi infrastruktur adalah suatu masalah kebijakan yang penting, dan dalam negara demokrasi semua orang membutuhkan transparansi informasi untuk mengevaluasi kinerja Pemerintah.
(e). Predictability: berarti badan regulasi dapat diperkirakan apabila mereka mengikuti aturan hukum, khususnya dalam hal keputusan-keputusan hukum sebelumnya (precedent) dan kasus-kasus yang sama faktanya diputuskan dengan cara yang sama setiap saat (the principle of stare decisis).
(f). Capacity: berarti tanggungjawab badan pengatur harus sesuai dengan anggaran keuangan dan sumber daya manusianya.
            Beberapa keputusan harus dibuat terkait masalah organisasi tata kelola (governance) regulasi. Bagaimana seharusnya tanggungjawab-tanggungjawab regulasi dilaksanakan diantara pemerintahan (pusat maupun daerah)? Apakah badan pengatur berfokus pada industri-industri yang spesifik, atau apakah mereka mengawasi sektor-sektor yang multipel (banyak)? Bagaimana seharusnya tanggungjawab-tanggungjawab secara fungsional, untuk masalah-masalah: harga, lisensi, kualitas, dan pertimbangan lingkungan dialokasikan? Dan tipe hubungan yang seperti apa badan pengatur dengan sektor kementerian dan dengan persaingan usaha atau otoritas anti-trust?
Merancang regulasi melibatkan banyak tawar-menawar (trade-offs), untuk itu beberapa alternatif bisa dilihat, sebagai berikut:[7]
(a). Desentralisasi dan sentralisasi badan pengatur.
Dalam hal desentralisasi badan pengatur, akan membuat Pemerintah daerah bertanggungjawab untuk mengatur regulasi utilitas, dengan keuntungan-keuntungan: mempermudah kondisi dan persyaratan lokal membentuk regulasi, mengarahkan badan pengatur lebih dekat pada layanan, mempermudah mereka untuk mengumpulkan informasi yang lebih baik atas para pelanggan atau pemakai, mempromosikan diantara badan pengatur Pemerintah daerah untuk menarik investasi swasta, dan bisa memperbaiki pelaksanaan keputusan-keputusan regulasi.
Dalam hal sentralisasi badan pengatur, memiliki keuntungan-keuntungan, seperti pertama, struktur regulasi nasional membuat penggunaan terbaik atas keahlian yang langka dan meminimalkan biaya-biaya regulasi (seperti dalam memelihara kantor-kantor regional). Kedua, sentralisasi juga mengurangi risiko-risiko perlombaan regulasi kebawah, pada saat wilayah-wilayah bersaing untuk investasi dengan risiko keuangan yang tinggi atau standar lingkungan yang lebih rendah. Ketiga, sentralisasi bisa diperlukan apabila wilayah-wilayah terlalu kecil untuk mendukung skala efisiensi atau lingkup pengoperasian untuk industri-industri tertentu.
Dengan demikian masalah-masalah yang timbul dari keliruan regulasi atas sentralisasi atau desentralisasi memangkas lembaga-lembaga yang besar (wide range) dan mencerminkan karakterisktik-karakteristik dan hambatan-hambatan suatu negara. Dalam hal ini, analisa biaya dan manfaat dari kedua pendekatan harus mencerminkan struktur kelembagaan suatu negara dan keutamaan teknologi suatu industri.
(b). Badan pengatur tunggal (umum) atau terpisah (spesifik).
Apabila tanggungjawab-tanggungjawab regulasi dilaksanakan oleh pemerintahan secara tunggal, apakah pemerintahan harus menciptakan beberapa badan pengatur industri yang spesifik, atau suatu badan tunggal dengan mandat atau kewenangan yang lebih luas?
Dalam hal membentuk beberapa badan pengatur secara terpisah (spesifik) memiliki manfaat-manfaat keuntungan. Dia mengakui karakteristik-karakteristik secara ekonomi dan teknologi masing-masing industri infrastruktur dan memungkinkan badan pengatur membangun secara mendalam, keahlian-keahlian khusus industri. Dia juga memindahkan risiko-risiko kegagalan kelembagaan dan mendorong respon-respon inovasi pada tantangan regulasi.
Dalam hal menggunakan satu badan pengatur untuk beberapa industri secara tunggal (umum) juga terdapat manfaat-manfaat keuntungan. Dia memungkinkan untuk berbagi biaya-biaya tetap (fixed costs), keahlian yang terbatas (scarce talent), dan sumber-sumber lainnya. Konsolidasi juga membangun keahlian dalam masalah-masalah regulasi yang bertentangan atau tumpang tindih: meng-adminitrasikan aturan-aturan penyesuaian tarif, memperkenalkan persaingan usaha dalam indusrti-industri monopolistik, dan mengatur hubungan-hubungan dengan para pemangku kepentingan (stakeholders), serta tanggungjawab-tanggungjawab yang lebih luas dari badan pengatur multi-industri mengurangi ketergantungannya atas salah satu industri. Dengan demikian membantu melindungi terhadap permasalahannya. Badan pengatur multi-industri bisa lebih baik dalam independensi yang lebih besar dari sektor kementerian-kementerian di departemen.

Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
 
 











[1] Yescombe, 31-33. Sejumlah negara telah membuat atau secara substansial mengubah hukum-hukum KPS (khususnya terkait model kontrak PFI) akhir-akhir ini, seperti di Italy (in 2002), Belgium(Flanders), Portugal, dan Spain (in 2003), Brazil (at both federal and state level) dan France (in 2004), dan Greece, South Korea, Poland dan Rusia (in 2005). Beberapa negara bagian Amerika Serikat juga telah membuat atau mengubah aturan hukum atas konsesi-konsesi jalan bebas hambatan (highway).  Selain melihat hambatan-hambatan hukum KPS perlu juga diperhatikan kerangka kerja legislasi untuk memilih model KPS serta juga memperhatikan pendekatan kontrak.
[2] Yescombe, 4-11.
[3] Harris, 33.
[4]  Ibid., 34.
[5] Ibid. Prosedur-prosedur regulasi harus predictable, accountable, dan tarnsparent. Badan regulasi harus: (a) Have competent, non-political, professional staff-expert in relevant economic, accounting, engineering, and legal principles and familiar with good regulatory practices; (b) Operate in a statutory framework that fosters competition and market-like regulatory practices; (c) Be subject to substantive and procedural requirements that ensure integrity, independence, transparency, and accountability (lihat :  Ioannis N. Kessides, Reforming Infrastructure, 18).
[6] Kessides, 79-91. Dalam penelitian World Bank, banyak negara-negara sedang berkembang dan ekonomi transisi, kurang dalam persyaratan kelembagaan untuk regulasi yang efektif, termasuk: (a) Separation of powers, especially between the executive and the judiciary; (b) Well-functioning, credible political and economic institutions – and an independent judiciary (Bergara, Henisz, and Spiller 1998); (c) A legal system that safeguards private property from state or regulatory seizure without fair compensation and rellies on judicial review to protect against regulatory abuse of basic principles of fairness; (d) Norms and laws – supported by institutions – that delegate authority to a bureaucracy and enable it to act relatively independently; (e) Strong contract laws and mechanism for resolving contract disputes; (f) Sound administrative procedures that provide broad acces to the regulatory process and make it transparent; (f) Sufficient professional staff trained in relevant economic, accounting, and legal principles.  Tentu untuk membangun hal ini membutuhkan waktu. Indonesia termasuk negara yang terburuk kondisi badan pengatur diantara negara-negara di Asia.
[7] Ibid., 95-99. Beberapa negara melakukan “cross-sectoral regulatory frameworks” untuk infrastruktur swasta, termasuk Brazil, Bulgaria, Chile, China, Colombia, Hungary, the Philippines, dan Vietnam. Secara detail sangat beragam ditiap-tiap negara, namun elemen kunci aturan-aturan hukumnya adalah: (a) which infrastructure sectors are open to private participation, (b) which agencies are responsible for approving private projects or contracts, (c) tariff adjustment, (d) contract amendment and termination, (e) competitive bidding, including the scope of exceptions, (f) availability of internatinal arbitration, (g) other issues important to private infrastructure arrangments that are not dealt with adequately in other laws. Examples vary from country to country but include the treatment of security interests in private projects and rules on liquidated damages (that is rules regarding setting in advance of the amount of compensation to be paid in case of certain breaches of obligations). Sumber: Kerf and Smith (1996), lihat:  Michel Kerf, et al., Concessions for Infrastructure, 14.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar