Welcome to My Blog.

Welcome to My Blog.
My Blog serves the information and consultation concerning to Law and Infrastructure Development in Indonesia.
Have a nice day.
Regards, Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
Lecturer & Researcher

Kamis, 02 Agustus 2012

Swastanisasi: Public Service Obligation (PSO) dan Subsidi


            Pada saat Pemerintah selesai melakukan swastanisasi atas alat-alat negara kesejahteraannya, timbul pertanyaan apakah perusahaan-perusahaan milik negara tersebut harus terus melanjutkan penyediaan jasa layanan publik untuk memastikan para pengguna layanan dimana jasa-jasa tersebut tidak dibayar secara penuh. Haruskah perusahaan-perusahaan tersebut menyediakan suatu iklim usaha yang bersifat sosial, atau mendistribusikan sumber-sumber non-profit, seperti jasa-jasa pelayanan penduduk yang jauh, penduduk disuatu kampung, penduduk miskin, melarat, dan seterusnya. Jasa-jasa tersebut disebut sebagai kewajiban jasa layanan publik atau public service obligation (PSO), dan harus disediakan oleh perusahaan-perusahaan yang baru di swastanisasi, namun tetap aktifitas tersebut mempengaruhi profit.[1]
Kehadiran PSO diperlukan dalam rangka menjaga agar kegiatan penyediaan barang dan jasa publik, khususnya penyediaan jasa transportasi perhubungan, tersedia dalam jumlah yang cukup sekalipun tidak memberikan keuntungan yang cukup bagi penyedian jasa untuk tetap dapat menjalankan kegiatannya. PSO yang ditawarkan untuk rute-rute yang secara finansial tidak memberikan keuntungan harus tetap disediakan, karena hal tersebut diharapkan akan memberikan efek multi-ganda (multiplier effect) secara ekonomi bagi masyarakat di wilayah yang dilewati oleh rute tersebut.[2]
Terkait dengan penugasan Pemerintah kepada BUMN untuk menyelenggarakan PSO tentunya Pemerintah harus menyediakan sejumlah dana pada pos pengeluarannya dalam APBN. Dana yang dianggarkan tersebut termasuk dalam pos pengeluaran subsidi,[3] untuk bantuan kepada BUMN dalam rangka menjalankan PSO, diluar jenis subsidi yang diberikan Pemerintah berupa subsidi listrik, subsidi bahan bakar minyak, subsidi pupuk, subsidi pos dan subsidi lainnya.[4] Untuk itu, meskipun BUMN didirikan dengan maksud dan tujuan untuk mengejar keuntungan, tidak tertutup kemungkinan untuk hal-hal yang mendesak, BUMN diberikan penugasan khusus oleh Pemerintah. Apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak fisibel, Pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan.[5]
Kewajiban layanan universal atau the universal service obligation (USO) merupakan landasan batu pertama (cornerstone) dari industri dan kebijakan-kebijakan regulasi di jaringan industri-industri utama dikebanyakan negara-negara industri sedang berkembang. Khususnya, dia menempati tempat terhormat dalam perdebatan kebijakan di negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serkat. Bahkan mungkin merupakan blok bangunan utama dari konsep layanan publik (public service) sebagai pusat kebijakan regulasi dibanyak negara-negara Eropa. Dalam banyak contoh, USO secara historis diberikan oleh publik yang monopolistik atau operator yang telah diatur (regulated operator) dan mekanisme pembiayaannya yang telah di-disain. Proses liberalisasi yang masih berlangsung, pada tingkat yang lebih besar, membuat cara tradisional ini menjadi kuno. Sementara kebutuhan perlindungan monopoli telah dipertanyakan, ide pelayanan universal relatif tidak tersaingi. Kebanyakan regulator menyatakan komitmen kuat pada pelayanan universal, yang selalu memotivasi bagian besar dari intervensi regulasi yang ada, bila tidak akan meliberalisasi industri-industri. Konsekuensinya, pertanyaan baru muncul dan otoritas regulasi menghadapi masalah ketentuan organisasi dan keuangan dari pelayanan universal dalam lingkungan persaingan yang kompetitif.[6]

Dr. Iwan Erar Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn

[1] Safri Nugraha, Privatisation of State Enterprises in the 20th Century A Step Forwards or Backwards? (Jakarta: Institute for Law and Economics Studies, Faculty of Law University of Indonesia, 2004), 181. PT Kereta Api yang belum diswastanisasi, adalah contoh yang baik untuk keseimbangan usaha profit dan non-profit, atau “the cross-subsidising scheme”, dalam usaha pengoperasiannya. Sementara melayani yang kaya, dengan membuat keuntungan yang besar, ini adalah dalam posisi untuk memberi jasa-jasa subsidi bagi yaang miskin, dan disebut “loss profits operations”. Dalam pengoperasiannya, kebanyakan jasa-jasa penganguktan dibagi dalam tiga kelas pelayanan jasa. Kelas pertama diperuntukkan untuk pelayanan penumpang-penumpang dengan pendapatan tinggi, kelas kedua, adalah kelas untuk melayani para pengguna jasa dengan pendapatan menengah, dan kelas ketiga, adalah kelas yang diperuntukan untuk melayani para pemegang tiket dengan pendapatan rendah. Contoh lain, dalam penyediaan air, kebijakan Pemerintah adalah menjamin suplai air untuk penduduk daerah yang jauh dan daerah perkotaan adalah dengan harga yang sama. Apabila PSO berpengaruh terhadap keuangan perusahaan, maka adalah tugas Pemerintah menyediakan subsidi untuk menutup pengaruhnya terhadap keuangan.
[2] Makmun Syadullah, “Evaluasi Pelaksanaan Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation) dan Subsidi, Studi Kasus: Bidang Tarnsportasi”, dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan (JEP), Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI), Vol. XV (2), (2007): 52.
[3] Ibid., 59. Pengertian subsidi, dari Mike Crosetti (1999), seperti yang dikutip oleh Kadoatje (2002), mendefinisikan subsidi sebagai berikut:
All measures that keep prices for consumers below the market level, keep prices for producers above the market level, reduce costs for consumers or producers by giving direct or indirect financial support”. Subsidi tersebut dapat berupa uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy).
[4] Ibid., 52-53. Pemberian subsidi tersebut sebenarnya menimbulkan dilema bagi Pemerintah, dimana pada satu sisi pemberian subsidi dan PSO merupakan konsekuensi dan tugas serta tanggungjawab Pemerintah namun disisi lain hal tersebut terkendala oleh terbatasnya anggaran yang tersedia. Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dilakukan kajian serta evaluasi terhadap pelaksanaan PSO dalam kaitannya dengan pemberian subsidi sehingga diharapkan dapat memberikan rekomendasi strategi dan kebijakan sistem pelaksanaan kegiatan PSO dalam kaitannya dengan subsidi.
[5] Penjelasan Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Pada penjelasan Pasal 66 ayat (2) disebutkan bahwa karena penugasan pada prinsipnya mengubah rencana kerja dan anggaran perusahaan yang telah ada, penugasan tersebut harus diketahui dan disetujui pula oleh Rapat Umum Pemegang Saham/Menteri.
[6] Helmut Cremer, Farid Gasmi, Andre Grimaud, and Jean-Jacques Laffont, “The Economics of Universal Service: Theory”, The Economic Development Institute of the World Bank, 1998, Copyright © 1998 by the International for Reconstruction and Development.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar