Welcome to My Blog.

Welcome to My Blog.
My Blog serves the information and consultation concerning to Law and Infrastructure Development in Indonesia.
Have a nice day.
Regards, Dr. Iwan E. Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn
Lecturer & Researcher

Sabtu, 21 Juli 2012

Kondisi Infrastruktur di Indonesia 2005-2009

Di Indonesia, jenis proyek infrastruktur yang akan dan dapat dikerjasamakan dengan investor diatur dalam Perpres No. 67/2005, meliputi:[1]
1.            Infrastruktur transportasi, meliputi pelayanan jasa kebandarudaraan, penyediaan dan/ atau pelayanan jasa kepelabuhanan, sarana dan prasarana perkeretaapian;
2.            Infrastruktur  jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol;
3.            Infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku;
4.         Infrastruktur air minum, meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengelolaan air minum;
5.            Infrastruktur air limbah, meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan;
6.    Infrastruktur telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan telekomunikasi dan infrastruktur e-governemnt;
7.      Infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk pengembangan tenaga listrik yang berasal dari panas bumi, transmisi, atau distribusi tenaga listrik; dan
8.            Infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi transmisi dan/ atau distribusi minyak dan gas bumi.

Kondisi infrastruktur di Indonesia menempati peringkat ke-86 dari 143 negara. Pada tahun sebelumnya, peringkat Indonesia hanya nomor 91 dari 131 negara. Kendati agak membaik, Indonesia masih merupakan negara yang paling tertinggal dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara dalam hal ketersediaan infrastruktur. Infrastruktur penting dibangun karena kehidupan masyarakat tidak dapat terlepas dari kebutuhan infrastruktur yang memadai.[2]
Infrastruktur merupakan fasilitas fisik beserta layanannya, yang diadakan untuk mendukung bekerjanya sistem sosial-ekonomi, agar menjadi lebih berfungsi bagi usaha memenuhi kebutuhan dasar dan memecahkan berbagai masalah. Dari dimensi ekonomi, infrastruktur mencakup infrastruktur transportasi (jalan, rel, pelabuhan, bandara); infrastruktur ekonomi (bank, pasar, mal, pertokoan); infrastruktur pertanian (irigasi, bendungan, pintu-pintu pengambilan, dan distribusi air irigasi); serta infrastruktur sosial (bangunan ibadah, balai pertemuan, dan pelayanan masyarakat); infrastruktur kesehatan (pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, balai pengobatan); infrastruktur energi (pembangkit listrik, jaringan listrik); dan infrastruktur telekomunikasi (jaringan telepon).[3]
Secara tradisional, infrastruktur ekonomi direncanakan, dibangun, dioperasikan, dan dipelihara oleh Pemerintah. Persepsi ini didorong oleh konsep bahwa infrastruktur ekonomi merupakan barang publik (public goods),[4] yaitu adanya konsumsi oleh satu pihak tidak mengurangi konsumsi pihak lainnya, serta semua orang mempunyai akses dan hak yang sama untuk menggunakan infrastruktur, tanpa harus membayar. Oleh karena itu, Pemerintah menjamin pengadaannya dalam tugasnya melancarkan perekonomian negara, memudahkan pergerakan masyarakat, serta melindungi kepentingan dan keselamatan rakyat banyak. Contoh dari barang publik yang dibangun oleh Pemerintah adalah jaringan jalan dan jembatan, jaringan jalan kereta api, serta jaringan primer dan sekunder. Dengan karakteristik seperti itu, penyelenggaraan infrastruktur secara alamiah dimonopoli oleh sektor publik (natural monopoly).[5]
Di sisi lain, teori ekonomi juga menyimpulkan bahwa pasar dimana transaksi terjadi merupakan mekanisme yang efisien untuk melakukan alokasi sumber daya. Pemahaman tentang konsep pasar dan harga ini membawa pada perdebatan tentang peran Pemerintah dalam penyelenggaraan, dan pelayanan infrastruktur di masa kini dan mendatang. Sebagian sektor infrastruktur seperti telekomunikasi, jalan tol, dermaga pelabuhan komersial, dan fasilitas sisi darat bandar udara sudah bergerak menjadi komoditi ekonomi yang komersial dan berubah menjadi barang dan jasa swasta (private goods).[6] Dalam hal ini jasa infrastruktur sudah dapat dianggap sebagai komoditi, dan pendekatan pasar dapat ditempuh untuk meningkatkan efisiensi dan manfaat untuk penggunaannya. Contoh menarik dalam hal infrastruktur sebagai komoditi adalah swastanisasi sektor jalan sering diasosiasikan dengan jalan tol.[7]
Kontribusi investor swasta dalam pendanaan proyek infrastruktur selama 5 tahun terakhir masih belum memuaskan karena dari total kebutuhan dana US$40 Miliar, hanya 10 % (sepuluh persen) yang dapat dipenuhi. Dedy S. Priatna, mengungkapkan selama periode 2005-2009, Indonesia sebenarnya membutuhkan US$65 Miliar untuk mendanai proyek infrastruktur.[8]
Pendanaan pembangunan proyek-proyek infrastruktur merupakan tanggungjawab Pemerintah. Pengalokasian dana diupayakan menyesuaikan penyeimbangan pemenuhan kebutuhan fasilitas infrastruktur dengan laju pertumbuhan penduduk. Akan tetapi, karena Pemerintah tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan pendanaan karena keterbatasan anggaran Pemerintah dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), diharapkan partisipasi dari swasta.[9]
(Dr. Iwan Erar Joesoef, SH., Sp.N., M.Kn)



[1] Pasal 4 ayat (1) Perpres No. 67/2005. Infrastruktur tersebut, dikerjasamakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku disektor bersangkutan (Pasal 4 ayat 2). Perpres No. 67/2005 ini kemudian direvisi dengan Perpres No. 13/2010. Untuk menarik swasta Pemerintah dalam Perpres No. 13/2010 akan memberikan insentif fiskal dan non-fiskal. Dalam insentif non-fiskal misalnya urusan pembebasan lahan menjadi tanggungjawab Pemerintah dan akan dilakukan sebelum tender. Sedangkan insentif fiskal yang diberikan Pemerintah berupa pemotongan dan pembebasan pajak (Lihat harian Kontan, Senin, tanggal 15 Februari 2010, ”Perpres Telah Terbit, Proyek Siap Tender”, 1, kolom 2-5).
[2] Mudrajad Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Gajah Mada, lihat, Seputar Indonesia, “Akselerasi Infrastruktur”, Rabu, 18 Februari 2009, 1.
[3]http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan018023.pdf. 13/02/2009, 2:24. Paul H. Brietzke, dalam tulisannya “Economic Law Reform In Indonesia”, 21 Februari  2000,  menjelaskan bahwa Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) menyebutkan: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Dengan berperannya swasta dalam pembangunan infrastruktur yang berdasarkan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, maka paradigma infrastruktur sebagai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, menjadi bergerser atau berubah. Hal ini juga menjadi dilema bagi Pemerintahan Habibie dalam melakukan reformasi hukum ekonomi yang merupakan permintaan menarik (desakan) dari IMF, ADB dan World Bank, yang jelas tidak sesuai dengan jiwa Pasal 33 ayat (1) UUD 1945,  yang berasaskan kekeluargaan.
[4] Emanuel S. Savas, Privatization - The Key To Better Government (New Jersey: Chatham House Publishers, Inc., 1987), 3-4. Savas menjelaskan bahwa untuk tidak membingungkan apakah perusahaan yang sahamnya dimiliki publik (perusahaan terbuka) merupakan barang publik yang sama dengan gedung kantor pemerintahan, maka ada 3 kondisi yang berbeda yang harus diperhatikan untuk menggambarkan pengertian “publik”: (1) government ownership, (2) widespread ownership, (3) widespread acces.
[5] Michel Kerf, et al., Concessions for Infrastructure - A Guide to Their Design and Award, World Bank Technical Paper No. 399, Finance, Private Sector, and Infrastructure Network (Washington, D.C.: The International Bank for Reconstruction and Development/ World Bank, 1998),  3-5. Pada saat pasar dapat dilayani secara efisien oleh beberapa perusahaan, pada saat mereka secara alamiah berkompetisi (persaingan usaha), maka kompetisi yang luar biasa tersebut biasanya berjalan baik. Namun pada saat mereka merupakan natural monopoly yang luar biasa, maka kompetisi (head-to-head competition) tidak berjalan. Pemberian konsesi dapat digunakan untuk menciptakan kompetisi (persaingan usaha) di pasar. Infrastruktur yang dipertimbangkan sebagai natural monopoly, dan lebih sesuai dengan pemberian konsesi adalah: distribusi air, distribusi dan transmisi energi, distribusi dan transmisi gas, infrastruktur rel kereta api, jalan. Sedangkan infrastruktur yang secara potensial kompetitif, dan konsesi bukan solusi bagi infrastruktur tersebut adalah: pembangkit tenaga, produksi gas, pasokan retail gas dan energi, telekomunikasi, jasa layanan kereta api. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian konsesi adalah cara yang terbaik bagi industri-industri yang natural monopoly.
[6] Savas, 44. Savas mengatakan bahwa dalam konsep private goods, tidak ada masalah  dalam hal supply karena pasar menyediakannya, dimana konsumen memerlukan barang, pengusaha melihat adanya kebutuhan tersebut lalu memproduksi, dan menjual kepada pembeli untuk memenuhi kebutuhannya dengan harga yang memuaskan secara bersama (a mutually satisfactory price).
[7] Dikun, 536 dan 549. Implementasi pendekatan pasar (market-based approach) disektor infrastruktur membutuhkan perubahan radikal dari peran Pemerintah. Dalam koridor ini partisipasi swasta dalam penyelenggaraan dan pelayanan infrastruktur sudah dapat diwujudkan. Bentuk partisipasi swasta yang paling mendasar adalah investasi. Pemerintah dapat saja melakukan intervensi dalam penyelenggaraan infrastruktur yang selama ini sudah dianggap sebagai private goods. Jalan tol adalah contoh dimana pasar tidak berhasil memasok infrastruktur dan pelayanan yang mampu melayani kebutuhan pergerakan uang dan barang (lihat: Dikun, 536). Beberapa pihak bahkan mengatakan bahwa jalan tol adalah private and completely commercial goods, dan oleh karena itu tidak perlu lagi ada campur tangan Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol. Persepsi dan praktek bisnis jalan tol selama ini cenderung menopang teori ini. Jalan tol sebenarnya adalah fenomena skema pembiayaan (financing scheme) dari penyelenggaraan infrastruktur dan pelayanan jalan yang secara fundamental menjadi kewajiban sektor publik. Swastanisasi dan partisipasi sektor swasta dalam pembangunan dan penyelenggaraan infrastruktur sebenarnya merupakan salah satu opsi dalam pembiayaan infrastruktur. Namun ruang perdebatan masih terbuka untuk infrastruktur yang masih menjadi kewajiban Pemerintah, dan masih merupakan public goods seperti jalan, angkutan umum perkotaan, telekomunikasi dan listrik pedesaan, dan saluran irigasi (lihat: Dikun, 549).
[8] Dedy S. Priatna, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas, dalam Bisnis Indonesia, Rabu, 18 Februari 2009,  ”Peran Swasta dalam Proyek Infrastruktur Tak Memuaskan”, hal 2.
[9] Don Wallace, “Private Participation in Infrastructure and the Provision of Public Services – Inevitable and Dificult, Transnational Lawyer 2004, Symposium: Market in Transition: Reconstruction and Development Part Two-Building Up to a Drawdown: International Project Finance and Privatization – Expert Presentations on Lessons to be Learned, 18 Transnat’l Law 117, Copyright © 2004 University of the Pacific, McGeorge School of Law (2004): 118-119. Don Wallace menjelaskan, kebutuhan pendanaan swasta (private finance) hampir bersifat universal. Solusinya bisa bervariasi dari suatu negara ke negara lain, tergantung dari tingkat pembangunan negara tersebut, yang mana dapat menjadi sesuatu yang berasal dari pemerintahan pusat ke provinsi. Partisipasi pendanaan swasta ini berawal dari negara Inggris, kemudian dikembangkan oleh United Nations dan Perancis, sebagaimana dikatakan oleh Don Wallace: The British have given us a great deal of this because the British first nationalized everything, and now they have denationalized, i.e., privatized, everything. They have the greatest number of consultants and many bank, lawyers. Britain used to call it the ‘PFI’ (Private Finance Initiative) and now they call it Public/Private Partnership. In the United Nations, we refer to it as privately financed infrastructure projects. Many of us have also heard the term of ‘BOT’ (Build Operate Transfer), ‘BOO’ (Build Operate Own), or ‘BOOT’(Build Operate Own and Transfer), or ‘ROT’ (Rehabilitate Own Transfer). In the United Nations, we also refer to it as concessions. This is a term Americans resisted, but the French taught us about their concession system. The French system is a little different and deals that derive from their arrangements are called Concession Agreements. Partisipasi swasta tersebut kemudian disebutkan sebagai suatu hal yang tidak dapat dihindarkan namun suatu hal yang sulit  (inevitable but difiicult).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar